Oleh: Muhammad Khalil
Dalam beberapa tahun terakhir, kecerdasan buatan, seperti ChatGPT, Gemini, Perplexity, DeepSeek, hingga berbagai aplikasi berbasis AI, telah menjadi bagian dari keseharian belajar. Banyak siswa dan mahasiswa menggunakannya untuk ringkasan materi, penjelasan konsep, hingga menyusun argumen. Namun muncul pertanyaan penting: ketika AI memudahkan hampir semua proses belajar, apakah otak kita tetap bekerja sebagaimana mestinya, atau justru mulai “beristirahat terlalu lama”?
Ketika Otak Mulai Mendelegasikan Tugasnya
Salah satu fenomena paling menarik dalam interaksi manusia–AI adalah kecenderungan cognitive offloading, yaitu ketika otak mendelegasikan sebagian tugas berpikir kepada mesin. Penelitian terbaru menemukan bahwa pengguna cenderung lebih mengandalkan AI ketika tingkat kepercayaan diri menurun, atau ketika AI tampak sangat yakin pada jawabannya. Dalam kondisi ini, otak memilih jalan pintas: mengikuti AI tanpa proses analisis mendalam.
Penelitian dalam bidang pengambilan keputusan berbantuan AI menunjukkan pola yang konsisten. Ketika manusia diberi kesempatan melihat saran AI, mereka sering menyesuaikan jawabannya bukan berdasarkan penalaran, melainkan berdasarkan perbandingan tingkat keyakinan. Secara kognitif, otak menghemat energi dengan memilih opsi yang “tampak lebih pasti”, meski tidak selalu benar.
Pengaruhnya pada Critical Thinking: Membantu atau Melemahkan?
Beberapa studi menunjukkan hasil yang beragam mengenai bagaimana AI memengaruhi kemampuan berpikir kritis. Pada sebagian mahasiswa, penggunaan AI tanpa bimbingan justru menurunkan kemampuan analitis. Ketergantungan jangka panjang pada AI terbukti berkaitan dengan melemahnya keterampilan seperti critical thinking, problem solving, dan kreativitas.
Sebuah studi melibatkan ratusan mahasiswa menemukan bahwa semakin tinggi ketergantungan pada AI, semakin besar pula penurunan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kelelahan kognitif menjadi faktor penengah: ketika otak merasa terlalu sering “memeriksa” atau “mengoreksi” AI, muncul fatigue yang akhirnya menggerus ketajaman berpikir.
Namun, hasil berbeda muncul ketika AI digunakan dalam kerangka pembelajaran yang terstruktur. Penelitian lain menunjukkan bahwa ketika mahasiswa diwajibkan berdialog dengan AI, membandingkan jawaban, menilai kualitasnya, lalu menulis refleksi kritis, kemampuan berpikir mereka justru meningkat. Artinya, bukan AI-nya yang menentukan kualitas berpikir, melainkan bagaimana kita berinteraksi dengannya.
Ketika AI Mengubah Cara Otak Memproses Informasi
Untuk memahami bagaimana AI mengubah cara kita belajar, kita harus melihat bagaimana otak memproses informasi. Otak manusia bekerja melalui jaringan kompleks yang bertugas mengatur atensi, pengambilan keputusan, dan pembentukan memori jangka panjang. Proses belajar yang sehat membutuhkan tindakan aktif: memprediksi, menguji, menghubungkan, serta memantau pemahaman.
Tetapi AI memberi jawaban terlalu cepat, terlalu rapi, dan terlalu “jadi”. Akibatnya, otak kehilangan kesempatan melakukan proses yang disebut effortful thinking, upaya kognitif yang justru menumbuhkan koneksi neural baru. Jika proses ini berkurang, otak akan lebih jarang mengaktifkan sistem kontrol eksekutif, yang berperan penting dalam penalaran dan regulasi diri.
Dalam jangka panjang, risiko utamanya bukan penurunan kecerdasan, tetapi penurunan kebiasaan berpikir mendalam. Otak tetap mampu berpikir kritis, tetapi tidak lagi terbiasa melakukannya karena lebih sering memilih solusi instan dari AI.
Ketika Kreativitas Tergelincir Menjadi Peniruan
Salah satu harapan besar dari penggunaan AI adalah meningkatnya kreativitas. Namun studi mengenai pola berpikir kreatif dalam interaksi manusia–ChatGPT menunjukkan sesuatu yang berbeda. Ketika mahasiswa diminta menghasilkan ide kreatif bersama AI, sebagian besar tidak benar-benar menciptakan ide baru, melainkan hanya memodifikasi atau bahkan mengulang apa yang diusulkan AI.
Ini menunjukkan terjadinya fenomena anchoring—otak “terkunci” pada contoh yang diberikan AI, lalu kesulitan mengeksplorasi alternatif. Secara neurologis, ini mirip dengan mekanisme cognitive fixation, kondisi ketika otak gagal melepaskan diri dari pola yang sudah ada. Kreativitas justru menurun, bukan meningkat, ketika strategi pengguna tidak diarahkan dengan benar.
Pola Ketergantungan yang Tidak Kita Sadari
Yang menarik, ketergantungan pada AI sering kali tidak terasa seperti ketergantungan. Pengguna yang merasa paling ahli justru sering menunjukkan tingkat reliance tertinggi. Hal ini terjadi karena AI tampak sangat logis dan meyakinkan, sehingga otak cenderung menganggapnya sebagai sumber kebenaran objektif.
Fenomena ini dikenal sebagai algorithm appreciation, yaitu kecenderungan mempercayai mesin lebih daripada diri sendiri. Jika tidak dikelola, perilaku ini dapat menggeser cara otak bekerja dari pencipta informasi menjadi sekadar pengevaluasi informasi, dan ini mengurangi kualitas kapasitas kognitif pengguna.
AI sebagai Mitra Epistemik: Ketika Pembelajaran Menjadi Kolaboratif
Namun penggunaan AI tidak selalu berdampak negatif. Studi lain menunjukkan bahwa ketika AI ditempatkan dalam desain pembelajaran yang tepat, ia dapat menjadi mitra epistemic, teman diskusi yang memicu eksplorasi, pertanyaan, dan integrasi ide.
Dalam pembelajaran yang memanfaatkan kerangka reflektif, siswa didorong untuk:
- Mengajukan pertanyaan kritis
- Membandingkan jawaban AI dengan literatur
- Mengidentifikasi bias atau error
- Mengintegrasikan hasil diskusi ke dalam solusi
- Mengambil keputusan berdasarkan penilaian diri
Hasilnya, otak tetap melakukan proses pengolahan informasi yang mendalam, termasuk aktivasi sirkuit reasoning dan planning di korteks prefrontal. Ini menunjukkan bahwa AI dapat memperkuat, bukan menggantikan, fungsi berpikir manusia jika digunakan secara aktif, bukan pasif.
Di Mana Peran Neurosains dalam Semua Ini?
Dari sudut pandang neuroscience, penggunaan AI dalam belajar dapat dianalisis dari beberapa aspek:
- Beban Kognitif (Cognitif Load)
Ketika AI membantu tugas yang berat, beban kognitif menurun. Ini bermanfaat, tetapi jika terlalu sering, otak tidak lagi berlatih mengelola kompleksitas.
- Sistem Reward
AI memberikan jawaban cepat yang sering “memuaskan”. Otak mendapat dopamin instan dan mulai menghindari proses berpikir yang lambat dan membosankan.
- Penguatan Jalur Neural
Proses belajar yang mendalam memperkuat koneksi neural jangka panjang. Ketika AI mengambil alih proses tersebut, jalur neural menjadi kurang terstimulasi.
- Regulasi Diri
Penggunaan AI yang tidak diarahkan dapat menurunkan kemampuan mengelola fokus, merencanakan langkah, dan memonitor kesalahan, fungsi inti dari eksekutif otak.
Jadi, Apakah Kita Masih Benar-Benar Belajar?
Jawabannya bukan “iya”, bukan juga “tidak”. Pertanyaannya seharusnya: Apakah kita menggunakan AI untuk memperluas kapasitas berpikir, atau untuk menggantikannya?
Penelitian menunjukkan bahwa:
Jika AI digunakan pasif → kemampuan berpikir menurun
Jika AI digunakan aktif & reflektif → kemampuan justru meningkat
Jika AI tidak diarahkan → kreativitas stagnan & kognisi melemah
Jika pembelajaran didesain dengan baik → AI memperkuat reasoning, integrasi, dan eksplorasi ide
Dengan kata lain, AI bisa membuat kita lebih pintar, tetapi hanya jika otak kita tetap bekerja.
Menuju Generasi yang Pintar Bersama AI, Bukan Karena AI
Kita sedang berada pada persimpangan sejarah baru, ketika kecerdasan buatan mulai menjadi perpanjangan dari pikiran manusia. Tantangannya bukan pada seberapa canggih AI berkembang, tetapi seberapa bijak kita menggunakannya.
Jika kita ingin generasi masa depan tumbuh sebagai pemikir kritis, inovator, dan pembelajar mandiri, maka AI harus diposisikan sebagai alat bantu, rekan diskusi, pemicu refleksi, dan bukan pengganti usaha kognitif. AI membantu kita belajar, itu benar. Namun agar kita tetap benar-benar belajar, otak kita tidak boleh berhenti bekerja. WASPADA.id
Penulis adalah mahasiswa Program Doktoral Universitas Negeri Malang/ Dosen Pendidikan Biologi, Universitas Samudra












