Oleh J Kamal Farza
Membaca Analisa Hukum Armilis Ramaini, SH, sejawat Advokat yang menulis di www.waspada.id edisi hari ini Senin (2/6) berjudul “Kemenangan PTPN vs Petani Sawit di PN Bangkinang Potret Buram Penegakan Hukum” langsung terbayangkan, betapa tidak mudah bagi orang kecil mengakses keadilan di negeri ini. Apalagi setelah membaca uraian fakta persidangan dan penanganan perkaranya yang diuraikan secara baik oleh Armalis, kuasa hukum dari para petani sebagai sang tergugat, pasti akan membuat galau para pencari keadilan, terutama bagi rakyat kecil yang tak paham bagaimana rumitnya proses sebuah perkara.
Memang secara umum kita belum bisa mengklaim bahwa kekalahan selalu akan dituai oleh orang lemah atau miskin. Masih banyak juga sengketa hukum antara petani dan perusahaan yang berujung pada kemenangan petani.
Beda ladang beda belalang. Yang harus kita pahami juga, bahwa sengketa hukum antara petani dan perusahaan termasuk tapi tidak terbatas pada perusahaan plat merah, merupakan sebuah proses yang kompleks dan tergantung pada banyak faktor, tergantung pada kekuatan bukti-bukti dan interpretasi hukum yang dilakukan oleh hakim, termasuk di dalamnya yang lebih penting keyakinan subjektif sang pengadil.
Beberapa contoh perkara ini, bisa menjadi penyemangat untuk para petani. Misalnya, perkara petani Kendeng yang memenangkan peninjauan kembali di Mahkamah Agung melawan PT Semen Indonesia, kemenangan petani di Rembang dan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang membatalkan izin lingkungan perusahaan semen, perkara lima petani di Desa Teluk Bakung, Kalimantan Barat, yang menang menggugat perusahaan sawit atas wanprestasi, dan beberapa perkara lainnya.
Tentu hal ini tergantung pada kasus dan bukti-bukti yang disajikan. Beberapa faktor yang mempengaruhi hasil dari sebuah perkara, adalah kualitas dokumen dan bukti yang disajikan di persidangan, kualitas saksi juga sangat memiliki pengaruh dalam menentukan hasil sengketa.
Ketentuan Hukum yang relevan terkait dengan sengketa tersebut, seperti hukum agraria, hukum perdata, atau hukum lingkungan, akan menjadi dasar keputusan hakim. Tetapi, ada juga hukum yang terkadang dilupakan oleh seorang kuasa, adalah hukum hak asasi manusia. Terkadang, memasang ketentuan tentang Hak Asasi Manusia, sering juga membuat menang sebuah perkara, tentu tergantung pengetahuan dan sensitivitas hakim juga mempengaruhi.
Seterusnya, keterlibatan pihak ketiga yang mumpuni dalam mediasi atau upaya penyelesaian damai lainnya dapat membantu mencapai kesepakatan, yang ujung-ujungnya tidak terlalu merugikan petani. Tidak menang tetapi juga tidak kalah.
Affirmanti, non neganti, incumbit probatio
Alat bukti adalah hal yang sangat sangat penting dalam perkara perdata, karena ia sangat membantu hakim untuk membuat keputusan yang adil dan berlandaskan fakta. Tanpa bukti yang cukup, hakim tidak dapat menentukan apakah klaim yang diajukan oleh pihak berperkara benar atau tidak.
Mengapa alat bukti penting? Karena pertama, alat bukti membantu hakim untuk mencapai “kebenaran materiil”, yaitu kebenaran yang sebenarnya terjadi, bukan hanya berdasarkan klaim para pihak. Kedua, alat bukti memberikan dasar bagi hakim untuk membuat keputusan yang tepat dan tidak berdasarkan dugaan atau perkiraan.
Yang sering dilupakan oleh para pihak di persidangan termasuk oleh hakim adalah, prinsip hukum ini, Affirmanti, non neganti, incumbit probation, yang jika kita terjemahkan prinsip itu akan menegaskan: pembuktian bersifat wajib bagi penggugat, bukan tergugat.
Kembali ke perkara Kemenangan PTPN vs Petani Sawit di PN Bangkinang, pasti kuasa petani mengerti apa yang akan dilakukan berikutnya, termasuk menempuh sarana dan fasilitas lain yang dimiliki oleh perkara itu, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali. Tentu jika ada perilaku hakim yang dicurigai sang kuasa, juga bisa menempuh jalur-jalur resmi etik untuk mempersoalkannya.
Jangan lelah berjuang, karena perjuangan seorang advokat bukan sekedar memenangkan perkara, tetapi terus menerus berjuang memberikan akses yang luas terhadap keadilan bagi semua orang, termasuk hamba lemah para petani sawit di Bangkinang.
Penulis adalah Advokat Senior tinggal di Jakarta