SUATU ketika pada sebuah acara rakyat di negeri Demonarki. Seorang calon raja memberi amplop sebagai sumbangan untuk acara tersebut, imbalannya, calon Raja meminta panitia mengumumkan di depan rakyat, kalau ia memberi amplop untuk sumbangan kegiatan.
Tak ayal, semua rakyat bertepuk tangan atas kebaikannya. Walaupun, sebagian tepuk tangan itu “kamuflase”. Tak lama, datang calon Raja lain, mendengar itu, ia tak mau kalah, ia pun dengan lantangnya berpidato di atas mimbar dan memberi sumbangan yang lebih besar dari calon Raja sebelumnya.
Tepuk tangan rakyat riuh kembali, lagi-lagi, tak semuanya juga tulus. Tapi kebanyakan rakyat senang karena amplopnya lebih “tebal”. Dan tak lama dari itu, calon Raja ke tiga, langsung mengumumkan dari balik mimbar, bahwa dia bisa memberi amplop yang jauh lebih besar.
Begitulah adat di negeri itu. Setiap calon Raja harus memberi amplop kepada rakyat jika mau terpilih. Walhasil, sering sekali Raja terpilih, karena sudah banyak mengeluarkan modal, ketika menjadi raja, lebih sibuk mikir balikin modal daripada ngurusin rakyat.
Tradisi ini berlangsung begitu lama, sehingga rencana membangun negeri makmur malah menjadi hancur. Ironisnya, rakyat yang sudah sadar dengan semua itu juga tidak bertobat dari kesalahan.
Amplop “tebal” tetap saja lebih menggoda dari pikiran “Sehat”. Toh, amplop itu hanya bertahan untuk ekonomi sesaat, sedangkan pikiran itu untuk jangka yang lebih lama. Amplop lagi-lagi hampir bisa dipastikan menjadi ukuran elektoral bagi kandidat Raja. Begitulah fenomena politik di negeri itu.
Setiap kandidat tak lagi malu-malu melempar amplop di jalanan, membagi-bagi sembako di halaman istana, hadir ke acara-acara walau tak diundang, masuk ke gorong-gorong untuk pencitraan, rajin sowan sana sini, tak kenal lelah bagi-bagi jatah, membuat kegiatan sosial mengundang semua lapisan masyarakat untuk menarik simpati, dan menjelang pemilihan, “Serangan Fajar” jadi strategi andalan, membosankan.
Sebagian kaum intelektual suci- bebas dari kepentingan pribadi dan sesaat — sudah cukup sering menggaungkan “kesadaran politik”, tetapi tetap saja belum tergoyahkan.
Semua seperti “teler” dengan amplop, tak terkecuali sebagian intelektual, elite, agamawan dan politisi. Melihat negeri di sebelah itu, saya rakyat kecil dari sebuah negeri yang katanya “Gemah Ripah Loh Jinawi” tak ingin nasib serupa.
Seyogyanya, jika itu sudah menjadi tradisi, meskipun kontras dengan sudut pandang agama, tentu sah-sah saja.
Seorang kandidat bagi-bagi “amplop” untuk tujuan elektabilitas. Toh, masih terlalu banyak rakyat yang butuh instant income.
Namun, ada subtansi politis yang selama ini kurang dijamah. Tujuan politik yang sejatinya untuk kebaikan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, cuma menjadi headline kampanye saja.
Sayangnya, akal sehat terkalahkan oleh amplop. Melihat fenomena ini, rakyat harus berani melakukan manuver politik. Berani keluar dari tradisi politik amplop ke politik akal sehat.
Strategi Memilih
Rakyat harus sadar betul, bahwa politik amplop nikmatnya hanya hitungan menit saja, sebaliknya, politik akal sehat dampaknya berkepanjangan.
Rakyat harus menggeser nilai elektabilitas uang, jika ingin politik bertumbuh lebih efektif. Nikmatnya kekuasaan dirasakan oleh semua, bukan sebagian saja.
Jadi filosofi kesetaraan, keadilan, dan persaudaraan menjadi realitas bukan sekedar di alam ide. Setidaknya ada tiga unsur yang menjadi acuan.
Pertama, Aqidah. Bagi umat islam, ini menjadi dasar utama. Karena merupakan teks normatif Islam itu sendiri yang harus dipatuhi.
Kedua, moralitas; Moralitas yang baik menunjukkan perilaku yang berbasis nilai-nilai humanis dan kerakyatan.
Orang seperti ini akan minimal melakukan hal yang berdampak merugikan orang lain.
Moralitas individu sudah pasti berimbas pada moralitas sosial. Pemimpin yang tidak bermoral akan mudah saja berbuat korup, tidak adil, nepotis, cawe-cawe, dinastif, dan lainnya.
Prinsip dasar moralitas adalah kecintaan terhadap nilai-nilai kebaikan daripada keburukan. Hal ini sebagaimana yang digariskan Alquran. Jika ini tidak menjadi referensi, yang rugi, rakyat juga.
Amplop yang sudah dibagi menjadi “basi”. Harapan untuk hidup lebih sejahtera, tinggal asa. Muncul penyesalan. Namun apa daya, “Gegara nila setitik, rusak susu sebelanga”, dosa individu, jama’ah ikut merasakannya.
Kedua, intelektualitas. Seorang pemimpin tentu akan diuji kemampuan intelektualnya. Ia akan dihadapkan pada persoalan-persoalan yang lebih besar dan kompleks.
Tentu, selain kemampuan manajerial, seorang pemimpin harus memiliki kemampuan logika yang baik, nalar kritis, kreatif, inovatif, dan problem solving.
Kemampuannya ini akan memproduksi gagasan-gagasan implementatif bagi kemaslahatan rakyat dan negara, kebjiakan-kebijakannya akan melahirkan filsafat al masawah, al ‘adalah, dan al ikhwah untuk rakyat.
Unsur-unsur inilah yang seharusnya didorong menjadi elektabilitas seorang calon. Tinggi rendahnya elektabilitas bukan berarti ukuran baik tidaknya calon.
Justru, hakikatnya, jika ada seseorang yang secara moralitas dan intelektualitas sangat baik, maka elektabilitasnya harus didorong ke atas agar menjadi lebih kuat. Semua unsur kekuatan politik bersepakat untuk itu.
Tantangan
Gagasan di atas perlu diperjuangkan karena akan berhadapan dengan kepentingan partai dan rakyat itu sendiri.
Pertama, faktanya, hampir setiap partai politik punya kepentingan kekuasaan yang egoistis. Kekuasaan menjadi kue ultah yang bakal dibagi di lingkaran tertentu saja.
Istilah partai sebagai kendaraan politik, sepertinya tidak tepat. Yang sejatinya, rakyatlah yang menjadi kenderaannya.
Sesudah sampai pada tujuan, maka kenderaan akan ditinggalkan, dan akan digunakan kalau diperlukan lagi. Rakyat akan diparkir di luar istana, tidak diajak masuk untuk merasakan kemewahan dan kenikmatan di dalamnya. Karena kepentingan itu, maka filsafat moralitas dan intelektualitas cenderung terabaikan.
Partai lebih tertarik melakukan manuver praktis, yaitu elektabilitas, yang lagi-lagi berbasis amplop. Jadi, berharap kepada partai untuk calon yang sesuai dengan prinsip moralitas dan intelektualitas rasanya sulit, perlu kerja keras dan perjuangan.
Tantangan kedua yaitu kecenderungan rakyat memilih calonnya. Budiardjo mengatakan ada banyak pertimbangan atau alasan mengapa seseorang menetapkan pilihannya kepada calon tertentu.
Antara lain karena alasan ikatan kekerabatan, agama, etnis tertentu, pendidikan, ideologis kepartaian, money politic, dan rasional yang didasarkan pada visi misi calon. Namun, dari semua alasan tersebut, money (politik amplop) masih mendominasi.
Dan pemilih berdasarkan alasan rasional menjadi yang terkecil. Padahal, untuk sampai pada level politik yang menghasilkan pemimpin yang berkualitas, kecenderungan voters harus didasari pada alasan rasional, yang itu merujuk pada moralitas dan intelektualitas.
Penutup
Membangun politik ideal, setidaknya semi-ideal, yang menghasilkan kehidupan masyarakat modern yang berkemanusiaan harus dilalui dengan proses filterisasi pemimpin.
Mereka yang suka tebar pesona dengan amplop harus digagalkan. Sebab, kekhawatiran akan munculnya pemimpin korup lebih terbuka.
Keteladanan politik yang sangat anggun bisa ditemukan pada sejarah perjalanan Rasulullah Saw memimpin.
Wajar jika Michael H. Hart dalam bukunya “The 100: A Ranking of the Most Influential People in History” yang diterbitkan pada tahun 1978, meletakkan Nabi Muhammad di urutan pertama sebagai tokoh paling berpengaruh di dunia. Semoga negeri ini tak bernasib sama dengan negeri Demonarki. Allahu A’lam. (Penulis Pemerhati Sosial)











