Oleh: Taufiq Abdul Rahim
Pada dasarnya pemahaman serta perkembangan keilmuan politik yang dimuulai dari era klasik kuno dan zaman modern, ini semua tidak terlepas dari pada kondisi serta fenomena yang berlaku secara sosial-politik dan interaksi antar ummat manuisia dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya, berbicara, berdiskusi, berdialektika tentang ilmu politik dan praktik dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan negara, acapkali dikaitkan dengan tema serta momen politik-demokrasi dan atau demokrasi-politik. Hal ini sesungguhnya sangat berhubungan dengan dimensi kepentingan dan kekuasaan politik, sehingga secara rasional berlaku kekuasaan dan kepentingan adakalanya berjalan lurus secara sinergi linear, namun adakalanya akan saling bertolak belakang antar kepentingan dan kekuasaan politik.
Hal yang sangat prinsipil adalah, jika berdiskusi serta berbicara demokrasi politik sebagai landasan serta indikator mendapatkan kekuasaan politik pada era modern ini, seringkali berkaitan perkembangan serta perubahan dengan pesta demokrasi serta partispasi politik rakyat terhadap negara serta interaksi timbal-balik diantara keduanya. Yakni antara hubungan timbal-balik antara negara dan rakyat, dan atau sebaliknya rakyat dan negara. Sesungguhnya ini menunjukkan adanya pengakuan sebuah negara karena ada rakyat, demikian juga sebaliknya pengakuan rakyat karena memiliki negara secara sah dan bertanggung jawab. Karena antara hak, kewajiban dan bertanggung jawab memiliki konsekwensi logis bagi negara dan rakyat dalam aturan hukum dan demokrasi.
Karenanya demokrasi menjadi semakin menarik dengan perkembangan pilihan dan keinginan rakyat untuk mempraktikkannya dan melaksanakananya, dalam praktik politik modern. Sehingga rakyat semakin mampu menentukan pilihannya terhadap pilihan politik yang dapat menentukan perbaikan, perubahan kehidupannya dalam aktivitivas interaksi individu, sosial kemasyarakatan serta komunalnya ditengah modernisasi kehidupan yang sesungguhnya. Pemahaman politik dan demokrasi menurut Schumpeter (1947) yaitu, kekuasaan membatasi dan seimbang yang ada pada rakyat bersifat semusim, ialah melalui proses pemilihan umum yang baiasanya dilaksanakan setiap lima tahun. Hal ini adanya perbedaan terhadap posisi antara pemerintah dengan rakyat sekaligus memberikan dampak rakyat mengawasi, mengotrol perilaku serta tindak tanduk pemerintahan, ini merupakan faktor yang menentukan derajat atau level tahapan demokrasi dalam sistem politik.
Makanya keterkaitan hak serta tanggung jawab rakyat serta pemerintah dengan adanya aktivitas yang popular dengan asumsi yang diperkenalkan oleh Montesquieu yaitu trias politica tentang pembagian kekuasaan kepada eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sehingga rakyat akan menentukan kondisi fenomena politik dengan pilihan rasional, dapat saja memilih dan tidak memilih ini merupakan langkah demokrasi. Dalam pemahaman demokrasi modern, memilih dan atau tidak memilih ini merupakan pilihan politik, demikian juga dari beberapa misalnya dua, tiga, empat dan banyak pilihan, sebagai keputusan politik. Karena gambaran realitas politik selama ini yang sama sekali tidak pro rakyat ataupun rakyat diperlukan pada saat pemilihan umum (Pemilu) selanjutnya kekuasaan politik akan kembali mementingkan politik partainya atau kelompok yang dibangun selama ini dalam sebuah sistem korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), juga dibangun untuk kepentingan politik mereka untuk berkuasa, memperkaya diri dan kelompoknya. Ini merupakan perilaku politik, karena kekuasaan membatasi dan keseimbangan berlaku pada waktu tertentu saja.
Demikian juga demokrasi menurut Jackson dan Jackson (1977) yaitu, demokrasi dan pendemokrasian dapat melibatkan serta mengukur dengan menggunakan dua variable terpenting sistem demokrasi, yakni persaingan dan perwakilan. Hal ini sangat berhubungan dengan sistem demokrasi yang dibangun dengan aturan, ketentuan, perundang-undangan, yang secara empirik dan ternyata aturan sesuai dengan keinginan dan kemauan politik (political will) pemilik serta pemangku kekuasaan. Sehingga sistem dan aturan politik sesuai dengan keinginan dan kehendak kekuasaan, maka semuanya diatur untuk memenangkan kepentingan politik kekuasaan, Sementara itu, keterwakilan rakyat sama sekali tidak berfungsi sebagaimana mestinya sebagai lembaga pengambilan serta penetapan kebijakan politik sepertinya sebagai hak legislasi, pembuat undang-undang dan pengawasan anggaran. Dengan demikian keterwakilan yang merupakan variable penting dalam kekuasaan politik tergerus serta terkooptasi oleh kekuasaan politik eksekutif, dengan berbagai rangkaian jebakan, kelicikan serta kekuasaan yang didominasi, sehingga melemahkan kekuasaan legislatif. Termasuk proses persaingan serta penentuan persaingan keterwakilan yang sangat mencurigakan rakyat dengan aturan serta praktik transaksional politik dan money politics (politik uang) yang demikian terstruktur, sistemik dan masif berlaku, semakin transparan serta mengakangi aturan hukum yang berlaku, juga kepentingan oligarki ekonomi-politik.
Dengan demikian, karena pertimbangan rasional rakyat yang mengalami kekecewaan berulang serta janji politik yang mementingkan kekuasaan piolitik rakyat, aspirasi perubahan kehidupan, ekonomi, kemakmuran serta kesejahteraan yang tidak pernah terpenuhi sebagai tuntutan kehidupan manusia. Karena para elite politik dan kekuasaan berkonspirasi hanya untuk memenuhi kepentingan poilitik kekuasaan diantara sesamanya, baik eksekutif, legislatif dan yudikatif, maka gerakan politik “tusuk sate” dan jika kondisi politik hanya tersedia calon pemimpin melawan kotak kososng. Maka secara rasional politik demokrasi dan gerakan pilihan tusuk sate dan memenangkan kotak kosong menjadi sangat efektif sebagai salah satu gerakan politik demokrasi dalam kondisi “distrusted politics” bagi rakyat yang paham arti penting politik. Hal ini merupakan dampak rasional cara berfikir masyarakat modern yang gerulang kali ditipu, dibohongi serta dimanfaatkan saat pemilihan umum berlangsung saja, karena kekuasaan dan kedaulatan politik tertinggi berada ditangan rakyat.
Sehingga pilihan politik tusuk sate ataupun memilih seluruh calon pemimpin yang mengikuti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ataupun berhadapan dengan kotak kosong, secara rasional politik ini sangat demokratis. Makanya pilihan tusuk sate dan kotak kosong sama sekali tidak ada aturan menyatakan melanggar hukum, mesti dihargai dan dihormati ini merupakan pilihan rakyat yang mesti dihargai secara aturan, hak dan kewajiban yang mesti juga diatur oleh undang-undang Pemilu. Jangan sampai menakut-nakuti rakyat, bahwa pilihan tusuk sate dan kotak kosong menjadi terpidana dan melanggar hukum. Secara eksplisit tidak ada aturan hukum yang mengaturnya, bahwa rakyat berhak menentukan pilihannnya diakrenakan kekecewaan politik yang sudah sangat akumulatif dan sama sekali tidak menjadi perhatian dari kekuasaan politik yang terus menerus memanfaatkan kekuasaannya untuk mermperkaya diri dan kelompoknya dengan berbagai cara di balik kekuasannya.
Karena itu, gerakan pilihan tusuk sate dan kotak kosong merupakan pilihan demokrasi politik yang mesti dihargai semua pihak, baik apparat penegak hukum, penyelenggara, pengawas pemilu, pemerintah, serta seluruh stakeholder yang terlibat dalam Pilkada yang akan segera berlangsung pada 27 Nopember 2024 yang akan datang. Baik dipahami sebagai gerakan perlawanan serta kekecewaan rakyat terhadap sistem, proses, tahapan, ketetepan, serta penentuan calon pemimpin yang selama ini dipertontonkan secara kasat mata. Demikian juga kekecewaan yang sudah sangat akumulatif, bahwa beban hidup rakyat yang sama sekali tidak berubah, terperbaiki, tidak mengalami peningkatan, baik ketidakadilan terhadap ekonomi, politik, sosial-budaya, bahkan antar sektor dan wilayah kehidupan. Sehingga ketimpangan atau gap yang semakin jelas, ini semakin memperkuat fenomerna demokrasi politik tusuk sate dan memilih kotak kosong yang merupakan cerminan demokratisasi di negara demokrasi yang menghargai hak azasi manusia. Dengan demikian pilihan tusuk sate dan kotak kosong sebagai salah satu usaha menjunjung tinggi hak zasi manusia yang tidak dapat semena-mena dilanggar ataupun dipaksakan oleh pemimpin politik. Bahwasanya pengakuan adanya pemimpin karena adanya rakyat dipimpin, bukan dalam lingkungan serta sistem negara otoritarian terpimpin, sehingga kedaulatan dan kekuasaan rakyat tertinggi.
Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah dan Peneliti Senior Political and Economic Research Center/PERC-Aceh