Opini

Awas Jebakan Koperasi Merah Putih

Awas Jebakan Koperasi Merah Putih
Kecil Besar
14px

Oleh Inosensius Enryco Mokos, M. I. Kom

Koperasi Merah Putih ibarat pisau bermata dua: di satu sisi, ia menjanjikan percepatan kemandirian ekonomi desa melalui akses modal yang masif; di sisi lain, bisa menjadi jebakan utang yang menggerus kedaulatan finansial…

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Di tengah upaya pemerintah mempercepat pemerataan ekonomi desa, kebijakan Koperasi Merah Putih (KMP) yang mengalokasikan 20 persen dana desa sebagai agunan pinjaman bank senilai 400 triliun menuai harapan sekaligus kekhawatiran. Pertanyaan mendasarnya: apakah skema ini benar-benar menjadi solusi pemberdayaan desa, atau justru berpotensi menjadi “bom waktu” keuangan yang membebani masa depan masyarakat pedesaan?

Dengan anggaran hampir 2,5 kali lipat lebih besar dari program MBG yang bermasalah dan cacat dalam eksekusi, kebijakan KMP tidak hanya dihadapkan pada risiko gagal bayar, tetapi juga ancaman defisit anggaran desa dan ketergantungan pada utang sistemik. Bagaimana sejarah panjang koperasi di Indonesia—yang sarat dengan pasang-surut tata kelola—bisa menjadi cermin untuk menghindari kesalahan serupa? Esai ini akan mengupas kompleksitas kebijakan KMP, menganalisis dampak potensialnya, serta menawarkan jalan keluar agar dana desa tidak berubah menjadi beban yang justru mencekik masyarakat yang ingin dibangun.

Awas Jebakan

Koperasi di Indonesia memiliki akar sejarah sejak era kolonial Belanda, di mana konsep koperasi diperkenalkan untuk menanggulangi praktik rentenir. Setelah kemerdekaan, koperasi dijadikan pilar ekonomi oleh Soekarno melalui UU No. 79/1958 dan program Sentra Kesejahteraan Sosial Nelayan (SJSN). Pada masa Orde Baru, Soeharto mengembangkan KUD (Koperasi Unit Desa) sebagai alat distribusi pupuk dan pangan, meski sering dikritik karena intervensi politik. Pasca-Reformasi, UU No. 25/1992 dan UU No. 17/2012 memperkuat kerangka hukum koperasi, dengan fokus pada otonomi dan partisipasi anggota. Sayangnya, banyak koperasi masih bermasalah dalam tata kelola, seperti kasus defisit Koperasi Simpan Pinjam (KSP) yang merugikan anggota.

KMP dirancang sebagai koperasi sekunder yang mengkonsolidasikan dana dari desa. Mekanismenya meliputi, pertama, alokasi 20 persen dana desa. Setiap desa diwajibkan menyisihkan 20 persen dana desa sebagai modal awal koperasi. Kedua, agunan ke bank. Dana tersebut digunakan sebagai jaminan untuk memperoleh pinjaman bank dengan rasio 1:4 (contoh: 80 triliun dana desa menjadi agunan untuk pinjaman 400 triliun). Ketiga, pembiayaan usaha desa. Pinjaman bank dialirkan ke KMP untuk membiayai UMKM, infrastruktur produktif, atau program padat karya di desa.

Dengan dana KMP yang besar itu, potensi kecurangan dan manipulasi anggaran sangat besar akan terjadi. Terlebih sistem transparansi penggunaan anggaran KMP ini juga dipertanyakan oleh banyak pihak. Dengan sistem agunan dari bank, kecenderungan untuk gagal bayar dan kerugian dari KMP ini juga bisa saja terjadi dan tentunya akan mengganggu stabilitas ekonomi di Indonesia.

Penting bagi kita semua untuk melihat beberapa dampak negatif langsung yang terjadi dari kebijakan KMP ini. Pertama, defisit anggaran desa. Pengalihan 20 persen dana desa berisiko mengurangi anggaran pembangunan infrastruktur dasar seperti air bersih, jalan, atau pendidikan. Kedua, beban utang berantai. Jika KMP gagal mengembalikan pinjaman bank, desa kehilangan dana agunan dan berpotensi terjebak utang akibat klaim bank.

Ketiga, skala anggaran vs kapasitas eksekusi. Anggaran KMP (400 triliun) lebih besar dari program MBG (170 triliun) yang gagal karena eksekusi dan inefisiensi. Tanpa tata kelola ketat, risiko kebocoran dana sangat tinggi. Keempat, ketergantungan pada utang. Skema ini mengubah dana desa (hibah) menjadi utang, membebani generasi mendatang.

Jangan Sampai Terjebak

Jika kita melihat lebih jauh, kebijakan KMP ini sarat akan kebijakan politik dan pemenuhan janji politik Prabowo kepada orang-orang yang telah berjasa kepadanya untuk memenangkan kontestasi pemilihan Presiden. Untuk itu, karena kebijakan ini pada akhirnya menggunakan dana besar yang mana juga merupakan dana masyarakat umum, maka masyarakat umum perlu mendesak agar mekanisme KMP ini bisa diperjelas dan dibuat transparan dan akuntabel sehingga masyarakat bisa menilai dan mengawasi dana KMP digunakan dengan baik.

Ada beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan pemerintah untuk memaksimalkan kebijakan KMP ini sehingga dapat membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat di desa. Pertama, penguatan tata kelola dan transparansi. Bentuk badan pengawas independen yang melibatkan akademisi, NGO, dan perwakilan desa. Manfaatkan platform digital untuk memantau aliran dana secara real-time.
Kedua, peningkatan kapasitas SDM. Latih pengurus koperasi dan perangkat desa dalam manajemen risiko dan akuntansi. Libatkan universitas sebagai pendamping teknis. Universitas akan memberikan pendampingan dan pelatihan kepada masyarakat di desa untuk menggunakan dana koperasi dengan baik juga membantu masyarakat melihat peluang dan kesempatan menggunakan dana koperasi untuk menciptakan peluang bisnis yang dapat menguntungkan.

Ketiga, mitigasi risiko keuangan. Alokasikan dana cadangan atau asuransi kredit untuk menanggulangi gagal bayar. Batasi rasio pinjaman terhadap agunan (misal 1:2, bukan 1:4) untuk mengurangi eksposur risiko.

Keempat, pendekatan bertahap. Uji coba KMP di daerah dengan kapasitas keuangan dan SDM memadai sebelum diimplementasikan nasional. Dengan membuat project pilot pemerintah dapat menentukan kekurangan yang perlu diperbaiki juga kekuatan yang perlu dipertahankan sehingga pada akhirnya eksekusi dari kebijakan ini dapat berjalan dengan baik untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat di desa.

Kelima, partisipasi masyarakat. Libatkan masyarakat desa dalam keputusan alokasi dana dan prioritas program untuk menjamin relevansi kebutuhan. Masyarakat juga perlu untuk menjadi pengawas utama dalam mengawasi secara penuh penggunaan dana koperasi untuk tujuan kemaslahatan bersama. Jika ditemukan penyelewengan masyarakat wajib untuk melapor kepada aparat hukum sehingga tindakan curang yang berujung pada kerugian dapat dihindari.

Koperasi Merah Putih ibarat pisau bermata dua: di satu sisi, ia menjanjikan percepatan kemandirian ekonomi desa melalui akses modal yang masif; di sisi lain, kebijakan ini bisa menjadi jebakan utang yang menggerus kedaulatan finansial desa jika dikelola secara ceroboh. Sejarah panjang koperasi di Indonesia mengajarkan bahwa keberhasilan tidak terletak pada besarnya anggaran, melainkan pada integritas tata kelola, partisipasi aktif masyarakat, dan kesesuaian dengan kebutuhan riil.

Pemerintah harus memilih: melanjutkan KMP sebagai proyek mercusuar yang berisiko, atau mengubahnya menjadi program berkelanjutan dengan transparansi, pengawasan ketat, dan pemberdayaan berbasis lokal. Jika langkah ini diambil dengan bijak, KMP bukan sekadar nama, melainkan bukti nyata bahwa koperasi bisa menjadi jantung pemerataan ekonomi. Namun, jika diabaikan, kita hanya akan mengulang kisah pilu “pembangunan” yang justru meninggalkan luka: desa-desa terbebani utang, sementara mimpi kemandirian tetap menjadi ilusi. Semoga!

Penulis adalah Alumni Magister Ilmu Komunikasi Univeristas Bina Nusatra Jakarta, Peneliti Komunikasi Politik, Pendidikan, Publik Dan Budaya.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Respon (12)

  1. Adanya KMP yang baru baru ini marak diperbincangkan dan mulai banyak desa desa yang mendirikan.itu nantinya justru akan menghambat kemajuan desa.
    Dengan adanya koperasi merah putih,secara tidak langsung mengajarkan masyarakat untuk belajar ngutang dan hidup makin terlilit utang.
    Bisa saja itu akan menjadi lahan korupsinya perangkat Desa.
    Apalagi jika benar adanya alokasi 20 % dari dana desa sebagai modal awal.
    Kasian masyarakat sudah susah,adanya koperasi ngutang lagi.
    Saya yakin dan jamin KMP hanya produk politik untuk MONEY LAUNDRY.

  2. Yg jadi masalah UMKM yg sudah ada saja jarang yg beli karena daya beli rendah akibat pengangguran . Masa mau jajan .terus sembako yg ada saja masih ga habis dlm sebulan yg dijual ditoko setempat mungkin karena bansos..lagi pula warung satu desa juga dan banyak apalagi ada koperasi ya mereka bisa tutup .malah mematikan yg sudah ada .padahal yg blm ada blm tentu jalan .dan rawan konflik seperti Alfamart yg sudah mematikan UMKM .tapi apa daya yg dilawan orang besar .ya rakyat tetep kalah

  3. Uraian yang bagus dan mantap. Tapi mirip apalogia.maaf. menurut saya saat ini lebih diperlukan ketegasan dalam mengkritik program2 pemerintah bahkan UU yg TDK menunjukkan keligusan berpikir sesuai dengan pedoman konstitusi. Masyarakat sipil terutama kaum intelektual harus berhenti menyuara kritik bersifatapologia(membela diri pdhal sudah tahu ttp diputus bersalah) Namun menyerukan perubahan mendasar dan menolak dgn tegas secara ilmiah

  4. Koperasi Merah Putih itu uangnya oplosan APBN /APBD dengan uang kloningan OKNUM JENDRAL YANG MENGKLONING UANG RAKYAT…

    Jadi ini adalah modus MONEY LAUNDRY lagi…

  5. Sependapat dengan pembuat opini,
    Masyarakat kita sudah senang dengan gratisan dan hutang, mereka sangat senang dgn gratisan dan hutang, hutang ngak mau bayar, itukan mematikan koperasi. Susah untuk dibina tegaknya sebuah koperasi, koperasi apapun namanya. Mereka senang gratisan saja, kayak bansos dan PKH.

  6. Izin sedikit menyangga,
    1. Dana 20% DD itu dibelanjakan via BUMDes atau KMP yg sekarang focusnya ke KPM krn BUMDes banyak yg tak beres, BUKAN, sekali lagi, BUUUKAN modal awal krn modal awal itu pasti dari simpok dan sinjip anggota. 20% dana Desa utk ketapangan itu hanya dibelanjakan oleh KPM dan dapat sedikit selisih untung yg biasanya didapatkan oleh Pemdes, kan masuk ke KMP. Bisa dipahami?
    2. Koperasi yg dibentuk adalah koperasi primer bukan sekunder. Logikanya, jika nnt sdh bisa membentuk sekunder berarti koperasi2 primer ini sdh baik management dan keuangannya. Logis kan?
    3. Semua program itu pedang bermata dia jika mental anak bangsa bobrok dgn jiwa korupt tanpa dibarengi SDM yg memadai.
    Dalam anak Desa, pengurus KMP yg baru terbentuk
    4. Hutang negara bkn baru tahun ini ko😀 lihat saja Tiongkok😀🙏

  7. Sangat benar👍
    Kedua, itu bkn modal awal krn modal awal tentunya dari simpok dan sinjib. 20% hanya dapat untung belanjaan krn tetap diserahkan BLM kpd masyarakat. Ketiga, KMP itu koperasi SEKUNDER? SALAH kalee😀mungkin akan ada, tapi primer saja blm beres ko mau ke kop sekunder, yg bergabung nnt jadi sekunder ya pasti sdh ok keuangan dan managemennya 🙏

  8. Dahulu ada KUD, harapannya meningkatkan kemampuan perekonomian desa. Modal digelontorkan oleh pemerintah dengan nilai yang terbilang tidak kecil. Akan tetapi KUD tidak bertahan lama. Kalau ada yang masih berjalanpun terseok- seok. Akhirnya modal raib. Sekarang muncul gagasan KMP. Masyarakat tidak banyak berharap perbaikan dengan itu. Yang ada hanya pesimistis dan seribu tanda tanya. KMP untuk siapa? Untuk rakyat staukah hanya untuk sekelompok orang yang duduk dalam lingkaran tersebut.

  9. 20% dana desa itu setahu saya bujan untuk KMP, tapi untuk pelaksanaan program Ketahanan Pangan yang teknis pelaksanaanya dilakukan oleh BUMDesa, ini sesuai dengan kepmendes no 3 tahun 2025, untuk KMP sendiri saat ini masih pada tahapan pendirian saja di tiap desa, belum ada nomenklatur mekanisme pembiayaan dan besaranya seperti apa, kemungkinan nanti akan diatur lebih lanjut oleh permenkeu…

  10. Rencana pendirian koperasi metah putih yang akan didirikan pemerintah tujuannya baik untuk meningkatkan ekonomi mayarakat pedesaan semoga aja pelaksanaa
    nya baik tapi fakta telah membuktian semua program koperasi yang dimotori oleh pemerintah gagal dan failit seperti KUD dan sejenisnya pengurusnya tidak jujur dan akuntabel serta tdk profesional

  11. Ibarat KSP CU Cinta Kasih yg awalnya didirikan warga Katolik Paroki Lingkungan I Pulo Brayan Medan, saat ini tidak jelas, dimana para anggota yg simpanan berkala tahunan (Sisuka) jatuh tempo tidak bisa ditarik dan tidak ada bunga simpanan. Sudah diketahui oleh Kadis Koperasi Bpk Maslindo Sirait namun tidak jelas juga status simpanan penyimpan.

  12. Kalau bicara diwarung kopi kita ambil aja uangnya masalah bayar lunasnya ngak masalah itukan punya pemwrintah ..itulah percakapan warung kopi.jadi soal bayar mereke ngak menjamin.terus dibuatlah usaha abal abal biar uangnya cair hahaha

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE