Scroll Untuk Membaca

Opini

Banjir Medan: Janji Yang Tenggelam Di Selokan Kota

Banjir Medan: Janji Yang Tenggelam Di Selokan Kota
Kecil Besar
14px

Oleh Assoc Prof Dr Farid Wajdi, SH, MHum

Hujan deras turun, dan seperti babak yang terus diulang dalam drama buruk tanpa akhir, Kota Medan kembali tenggelam.

Dari Dr. Mansyur hingga Gatot Subroto, dari Setia Budi sampai Yos Sudarso, genangan air menjadi pemandangan yang lebih akrab ketimbang taman kota.

Ironisnya, ini bukan kejadian luar biasa—ini ritus tahunan yang terus diwariskan dari satu wali kota ke wali kota berikutnya.

Padahal, bukankah janji “mengatasi banjir” selalu menjadi gincu politik di setiap masa kampanye?

Yang paling menyesakkan adalah: publik tidak sedang berbicara tentang kota yang miskin infrastruktur. Medan punya drainase modern, U-Dict, kolam retensi, dan proyek-proyek yang kerap dipamerkan lewat baliho berukuran masif.

Namun, ketika hujan mengguyur sedikit lebih lama, air kembali meluber ke jalan, rumah-rumah tergenang, dan warga kembali menyalahkan takdir. Padahal masalahnya bukan takdir, tetapi tata kelola yang cacat dan visi perkotaan yang dangkal.

Kebijakan kota ini seolah berhenti di beton dan pipa. Pemerintah membangun saluran air tanpa mengubah perilaku, menambal lubang tanpa memperbaiki sistem.

Drainase memang ada, tapi siapa yang menjamin ia dirawat? Siapa yang memastikan kolam retensi tidak berubah fungsi jadi lahan parkir atau tumpukan sampah? Infrastruktur tanpa pemeliharaan hanyalah monumen ketidaksungguhan.

Lelucon Basah

Lebih parah lagi, urbanisasi Medan dibiarkan tumbuh liar tanpa kendali. Daerah resapan air disulap menjadi ruko, halaman beton, dan jalan aspal.

Sungai menyempit, saluran air tersumbat, dan setiap kali hujan deras, kota seolah menagih hutang yang tak pernah dibayar: hutang tata ruang yang diabaikan.

Bila pemerintah kota serius, ia seharusnya berani menegakkan aturan—melarang pembangunan di bantaran sungai, menertibkan bangunan ilegal, dan menegakkan fungsi ruang hijau.

Tapi yang terjadi justru sebaliknya: kepentingan ekonomi jangka pendek kerap lebih menggoda daripada tanggung jawab ekologis jangka panjang.

Janji politik tentang “kota bebas banjir” kini terdengar seperti lelucon basah. Janji yang dulunya diucapkan dengan lantang kini tenggelam bersama air comberan yang naik ke rumah warga.

Setiap kali banjir datang, pemerintah sibuk membagikan bantuan darurat, memotret diri di lokasi, lalu berucap klise: “kita sedang mencari solusi permanen.” Tapi warga sudah bosan menunggu “solusi permanen” yang tak pernah lahir dari birokrasi yang gemuk dan lamban.

Padahal, banjir bukan sekadar urusan hujan dan selokan. Ia cermin dari manajemen kota yang gagal berpikir sistemik.

Tidak ada sinkronisasi antara dinas tata ruang, pekerjaan umum, kebersihan, dan lingkungan hidup. Tidak ada rencana adaptasi iklim yang serius. Tidak ada audit infrastruktur yang transparan.

Pemerintah kota tampak sibuk membangun citra “kota modern”, padahal air yang mengalir di kaki jalan justru memperlihatkan wajah sebenarnya: kota yang rapuh.

Medan butuh keberanian moral untuk berubah. Butuh pemimpin yang berani melawan kebiasaan lama, yang tidak sekadar meresmikan proyek, tapi menjamin air tidak lagi menenggelamkan warganya.

Banjir Medan bukan bencana alam, melainkan bencana tata kelola. Selama pejabat publik lebih peduli pada baliho ketimbang drainase, janji kampanye akan terus hanyut bersama hujan pertama.

Air mungkin surut esok pagi. Tapi rasa percaya publik—itu yang benar-benar tenggelam!

Penulis adalah Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE