Opini

Banjir, Pemilu, dan Lagu Ebiet G. Ade

Banjir, Pemilu, dan Lagu Ebiet G. Ade
Ilustrasi
Kecil Besar
14px

Oleh:  Robby Effendi

“Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih…”

Petikan lirik dari suara Ebiet G. Ade ini selalu muncul setiap kali bencana datang di negeri ini. Kita tak perlu melihat gambar atau video — cukup mendengar petikan nadanya, dan kita tahu: ada duka yang sedang mengalir di lini masa. Seakan lagu-lagu itu punya ikatan batin yang tak terputus dengan hujan, lumpur, dan air mata. Dan tahun ini, ikatan batin itu diperpanjang lagi — oleh banjir di Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat.

Hal lain yang menyaingi konsistensi lagu Ebiet hanyalah dua hal: baliho politik dan banjir. Keduanya datang dengan penuh semangat, tepat waktu, dan sulit dihindari. Bedanya, kalau pemilu 5 tahun sekali, banjir datang tanpa masa kampanye. Cukup hujan tiga jam, dan ia langsung muncul — tanpa protokoler, tanpa izin KPU. Apalagi hujan 3 hari tanpa henti. Kita sudah merasakan pesan-pesannya.

Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, air kembali mempertontonkan kesaktiannya. Yang semula rinai jadi rintik, lalu berubah jadi arus. Sungai meluap, jalan jadi kolam, rumah tenggelam separuh, dan berita menayangkan gambar yang sama: warga mengungsi, anak kecil digendong, ibu-ibu menjemur pakaian yang tak akan kering sampai minggu depan. Jalan tol berubah jadi sungai, sungai berubah jadi pekarangan rumah, dan halaman rumah berubah jadi tempat perenungan nasional.

Dari speaker ponsel terdengar lagi lagu Ebiet:
“Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih, suci lahir dan di dalam batin…”

Tapi di antara lagu dan banjir itu, ada suara lain yang tak kalah penting — suara air itu sendiri. Dan barangkali, tahun ini, air sedang ikut pemilu. Ia ingin menyampaikan pendapat: bahwa ia juga punya hak suara. Kalau air bisa bicara, ia tak akan berteriak. Ia hanya akan naik perlahan, menyentuh kaki kita dengan tenang, lalu pelan-pelan menenggelamkan semua yang kita abaikan. Gawat.

27 November yang Basah
Sebagai warga yang saban hari melewati Simpang Kampung Lalang Medan, Jalan Dr Mansyur hingga ke Besitang sana,  pemandangan banjir kemarin membuat saya teringat pada banjir saat pemilu tahun lalu. Lucunya — atau tragisnya — tanggalnya sama persis: 27 November, bertepatan dengan pelaksanaan pilkada serentak nasional.

Tahun 2024, kita sibuk memilih pemimpin. Di Medan dan sekitarnya, hujan turun bersamaan dengan pilkada. Koran Waspada mencatat lebih dari 7.000 warga terdampak banjir di hari pemungutan suara, terutama di sekitar Sungai Deli dan Babura.

DetikSumut menulis bahwa beberapa TPS hanya dihadiri segelintir pemilih, dan Tempo melaporkan ada 110 TPS di Sumut yang harus melakukan pemungutan suara susulan. Saya sendiri ikut memantau prosesnya di Binjai — melihat warga yang tak jadi mencoblos karena air lebih cepat datang daripada petugas KPPS.

Seolah-olah air sedang berkata, “Kalian bicara tentang perubahan, tapi aku yang menanggung akibat dari semua pilihan.”

Dan di latar televisi, Ebiet tetap mengiringi dengan konsistensi spiritualnya:

“Anugerah dan bencana adalah kehendak-Nya, kita mesti tabah menjalani, hanya cambuk kecil agar kita sadar, adalah Dia di atas segalanya…”

Air Berkampanye Sendiri
Setahun berlalu, tapi air rupanya belum puas berbicara. November 2025, Sumatera Utara kembali kebanjiran — lebih dahsyat, lebih liar, dan lebih tak kenal kompromi.

Menurut data Polda Sumut, 86 kejadian bencana terjadi hanya dalam beberapa hari: 24 orang meninggal, 50 lebih hilang, dan 11 kabupaten/kota terdampak — dari Mandailing Natal sampai Nias, dari Sibolga sampai Deli Serdang. (CNN Indonesia, 27 Nov 2025) Ribuan rumah rusak, sawah lenyap, jembatan ambruk, listrik padam. Warga bertahan di atap rumah, menunggu perahu karet yang datang.

BMKG mencatat curah hujan November ini 40 persen lebih tinggi dari rata-rata 5 tahun terakhir. Dan kalau kamu nyalakan TV malam itu, kamu tahu apa yang terdengar: suara Ebiet, lagi-lagi. Kali ini bukan soundtrack, tapi seperti doa: “Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita…”

Dari Pemilu ke Pelestarian
Banjir bukan kutukan. Bukan simsalabim.  Bukan seketika jadi. Ia lahir dari proses dan konsekuensi dari pembangunan yang brutal, dari drainase yang ditutup jadi jalan, dari hutan yang digunduli atas nama kemajuan.

Walhi Sumut dan Global Forest Watch mencatat bahwa dalam 5 tahun terakhir, tutupan hutan di hulu — Mandailing Natal, Dairi, dan Pakpak Bharat — menyusut drastis akibat tambang dan konversi lahan. Sungai kehilangan penjaganya, kota kehilangan ruang napasnya. Sedap.

Pemerintah sering mengklaim banjir sebagai “musibah alam.” Padahal, kalau ditelusuri, banyak yang justru “musibah kebijakan”: izin tambang di kawasan resapan, reklamasi tanpa studi lingkungan, drainase hanya bagus di gambar rancangan. Air pun menagih janji — bukan dari langit, tapi dari manusia yang pandai berjanji tanpa menghitung akibat.

Dan kalau dipikir-pikir, antara pemilu dan pelestarian punya kesamaan: keduanya tentang suara dan tanggung jawab. Kita kampanyekan calon, tapi jarang kampanyekan pohon. Kita sibuk menata baliho di setiap sudut jalan, tapi lupa bahwa di bawah baliho itu ada tanah yang tak lagi bisa menyerap air.

Patut diingat, di tengah kebisingan kampanye yang sering melupakan alam, justru lembaga yang sibuk dengan teknis pemilu dan baliho kampanye, pernah memulai inisiatif kecil: KPU menanam pohon. Saat pelantikan KPPS di Pemilu 2024, gerakan tanam pohon dilakukan serentak di lebih dari 17 ribu titik di seluruh Indonesia — termasuk di Sumatera Utara.

Aksi sederhana itu mungkin tak mampu menghentikan banjir, tapi memberi isyarat: demokrasi ternyata juga bisa menumbuhkan sesuatu selain janji. Pohon kecil yang ditanam itu adalah simbol: bahwa suara manusia tumbuh seiring suara alam, seharusnya. Barangkali, gerakan kecil seperti itu adalah cara sunyi demokrasi meminta maaf pada alam yang sudah terlalu sering ditinggalkan.

Data yang Tak Bisa Ditertawakan
BPBD Sumut mencatat 677 bencana alam terjadi sepanjang 2024, mayoritas banjir dan longsor. Tahun 2025 belum usai, tapi trennya lebih buruk. BMKG melaporkan peningkatan ekstremitas curah hujan hingga 47 persen dibanding 2020–2023.

Data dari berbagai lembaga lingkungan seperti Walhi dan Global Forest Watch menunjukkan adanya tren penurunan tutupan hutan di wilayah Sumatera Utara dalam 5 tahun terakhir. Di sisi lainnya, ekspansi tambang, perkebunan, dan perumahan terus meningkat — mempersempit ruang serapan air dan memperbesar potensi banjir.

Laporan berbagai lembaga lingkungan menunjukkan pola yang sama: hutan di wilayah hulu menyusut, lahan resapan air dialihfungsikan, dan ruang hijau kota perlahan menghilang di bawah beton dan kavling perumahan.

Kita mempercepat perubahan lanskap, sambil berdoa agar bencana mau berjalan pelan. Kita memperluas izin, mengonversi lahan, lalu berharap alam tetap sabar seperti dulu. Sebuah paradoks yang kini semakin sulit disangkal: kita ingin alam bertahan, tapi kita sendiri enggan menahan diri.

Cara Kita Bertahan
Setiap bencana datang, polanya sama: rakyat jadi korban, pejabat jadi pembicara, alam jadi terdakwa. Padahal seharusnya terbalik: rakyat jadi pengingat, pejabat jadi pelaksana, dan alam jadi guru. Alam terkembang menjadi guru!

Tapi yang kita lakukan hanya bergantian menyalahkan — hujan, sungai, atau cuaca. Padahal yang salah barangkali cara kita mengukur kemajuan: dengan tinggi gedung, bukan kedalaman drainase.

Namun tidak semua hilang. Di tengah lumpur dan berita duka, selalu ada tangan-tangan kecil yang menyalakan harapan: relawan muda yang mengantarkan nasi bungkus naik perahu karet, warga kampung yang gotong-royong membersihkan sungai, anak-anak yang menggambar pelangi di tenda pengungsian. Mungkin harapan memang sederhana: cukup niat untuk tak mengulang kesalahan yang sama.

Ajakan Ebiet ini sepertinya perlu untuk kita:
“Kita mesti berjuang dan memerangi diri, bercermin dan perbanyaklah bercermin….”

Air yang Ingin Didengar
Air tak bisa apdet status, tak dapat berorasi, tak ikut pemilu. Tapi ia punya cara bicara meski tak masuk DPT: lewat genangan, longsor, lumpur, dan diam yang mencekam. Kita bisa mengabaikan berita, tapi tidak air yang masuk ke rumah. Kita bisa menyangkal perubahan iklim, tapi tidak suara rinai yang berubah jadi arus.

Air tak pernah salah alamat. Ia hanya datang ke tempat yang lupa cara mendengar. Mungkin sudah waktunya kita berhenti berbicara atas nama alam, dan mulai mendengarkan alam. Karena selama manusia terus memonopoli kata “pembangunan”, banjir akan terus memonopoli kata “peringatan.” Dan ketika air kembali naik, mungkin ia hanya ingin berkata pelan: “Aku pun ingin didengar.”

Dududu-dudu, dududu-du….. Hoo, ho-oo…..

Penulis adalah Anggota KPU Sumut,
Mahasiswa Magister Psikologi UMA

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE