Oleh: Marzuki
Desember 2025 mencatat sejarah kelam bagi Pulau Emas. Dari Aceh Utara hingga Singkil, dari Langkat di Sumatera Utara hingga Pesisir Selatan di Sumatera Barat, air bah seolah berlomba menenggelamkan peradaban kita. Ribuan rumah terendam, jalan lintas Sumatera lumpuh, dan sawah-sawah yang seharusnya panen kini berubah menjadi lautan lumpur.
Scroll Untuk Lanjut MembacaIKLAN
Namun, di tengah ratapan warga yang kehilangan harta benda dan dinginnya tenda pengungsian, ada satu kebenaran pahit yang harus kita telan: Bencana ini bukan sekadar amukan Tuhan. Banjir Sumatera 2025 adalah manifestasi dari kegagalan kita mengelola keadilan ruang dan keadilan fiskal. Ini adalah “tagihan” dari alam yang rusak, yang celakanya, uang untuk membayarnya justru lari ke seberang pulau.
Kita sedang menyaksikan sebuah bentuk kolonialisme modern. Jika dahulu kolonialisme bercirikan bedil dan kerja paksa untuk mengangkut rempah ke Eropa, hari ini kolonialisme itu bekerja dalam senyap melalui sistem administrasi perpajakan yang menghisap kekayaan daerah dan menumpuknya di Jakarta.
Jejak Ekstraktif dan Ilusi Domisili
Mari kita jujur melihat bentang alam Sumatera hari ini. Hutan di sepanjang Bukit Barisan telah koyak. Izin perkebunan sawit, pertambangan batu bara, dan penggalian mineral diberikan secara masif atas nama pertumbuhan ekonomi. Aktivitas ini mengubah topografi, menghilangkan daerah resapan air, dan mendangkalkan sungai-sungai purba kita.
Secara logika ekonomi, aktivitas yang merusak lingkungan ini seharusnya memberikan kompensasi (pajak) yang setimpal kepada daerah tempat aktivitas itu terjadi. Dana itu mutlak diperlukan untuk merawat hulu sungai, membangun tanggul raksasa, dan menyiapkan mitigasi bencana.
Namun, di sinilah letak kecacatan fatal Undang-Undang Perpajakan kita. Sistem kita menganut basis domisili. Artinya, Pajak Penghasilan (PPh) Badan dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dibayarkan di tempat kantor pusat perusahaan terdaftar.
Faktanya, hampir semua perusahaan raksasa yang mengeruk bumi Sumatera—baik itu yang beroperasi di pedalaman Aceh, perkebunan luas di Riau, hingga tambang di Sumbar—memiliki kantor pusat di Jakarta. Akibatnya, triliunan rupiah pajak yang dihasilkan dari keringat buruh Sumatera dan dari hilangnya hutan Sumatera, tercatat secara administratif sebagai pendapatan pajak Jakarta (biasanya di KPP Wajib Pajak Besar/Madya di Jakarta).
Inilah yang saya sebut kolonialisme fiskal. Sumatera hanya menjadi “situs produksi” yang mewarisi lubang tambang, sungai keruh, dan banjir tahunan. Sementara Jakarta menikmati status sebagai pusat ekonomi dengan pendapatan pajak selangit, yang kemudian digunakan untuk membangun MRT, stadion megah, dan trotoar marmer
Ketidakadilan yang Melembaga
Ketika banjir besar melanda seperti sekarang, Pemerintah Daerah di Sumatera (Provinsi maupun Kabupaten/Kota) seringkali gagap. Bukan karena tidak peduli, tapi karena tidak berdaya secara fiskal. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kita habis hanya untuk belanja rutin pegawai. Dana Bagi Hasil (DBH) yang ditransfer pusat seringkali tidak sebanding dengan biaya pemulihan kerusakan lingkungan.
Kita dipaksa mengemis bantuan logistik ke Pusat setiap kali air naik. Kita meminta perahu karet dan selimut, padahal uang untuk membeli itu semua berasal dari pajak kekayaan alam yang diambil dari halaman rumah kita sendiri.
Sistem ini melanggengkan kemiskinan struktural. Daerah penghasil sumber daya alam justru menjadi kantong-kantong bencana dan kemiskinan. Sebuah paradoks yang menyakitkan.
Revisi UU: Menghitung Pajak di Titik Keringat Menetes
Solusi untuk menghentikan siklus bencana dan kemiskinan ini bukanlah sekadar menanam satu-dua pohon bakau seremonial. Kita membutuhkan revolusi kebijakan fiskal. Undang-Undang Perpajakan harus direvisi total. Kita harus mendesak penerapan prinsip Pemajakan Berbasis Lokasi Produksi (Site-Based Taxation).
Dalam konsep ini, PPh Badan dan PPN tidak boleh lagi disentralisasi di kantor pusat. Pajak harus dialokasikan secara proporsional menggunakan metode Apportionment. Jika sebuah perusahaan memiliki aset (kebun/pabrik) 70% di Aceh dan 30% staf manajemen di Jakarta, maka 70% dari total pajak perusahaan tersebut harus masuk ke kode penerimaan wilayah Aceh.
Teknologinya sudah ada. Sistem Core Tax milik Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sudah sangat canggih. Tidak ada alasan teknis yang menghalangi pemisahan pembayaran pajak per lokasi ini. Hambatannya murni hanya political will atau kemauan politik. Apakah Jakarta rela berbagi “kue” yang selama ini mereka nikmati sendirian?
Visi Masa Depan: Dana Abadi (Sovereign Wealth Fund) Daerah
Bayangkan jika revisi UU ini sudah dilakukan sepuluh tahun lalu. Triliunan rupiah pajak dari hasil bumi Sumatera tidak akan menguap ke Pusat, tetapi mengendap di kas daerah.
Dengan surplus anggaran tersebut, Provinsi Aceh, Sumut, dan Sumbar bisa membentuk Dana Abadi Daerah (Sovereign Wealth Fund).
Dana Abadi ini berfungsi sebagai tabungan lintas generasi. Bunganya bisa digunakan untuk membiayai hal-hal yang selama ini dianggap “mahal”:
- Infrastruktur Pengendali Banjir Kelas Dunia: Kita bisa membangun sistem kanal modern dan polder seperti di Belanda untuk melindungi Medan atau Banda Aceh, bukan sekadar menumpuk karung pasir.
- Pemulihan Ekosistem: Membeli kembali lahan kritis untuk direhutankan secara permanen, tanpa bergantung pada anggaran Kementerian di Jakarta.
- Asuransi Bencana Semesta: Memberikan ganti rugi penuh kepada rakyat yang rumahnya hancur atau sawahnya gagal panen akibat banjir, sehingga mereka tidak jatuh miskin pasca-bencana.
Tanpa kemandirian fiskal melalui pajak berbasis lokasi, Dana Abadi ini hanya mimpi. Kita akan selamanya terjebak dalam siklus: mengeruk alam, mengirim uang ke Jakarta, lalu tenggelam dalam banjir air mata.
Seruan untuk Bersatu
Banjir Sumatera 2025 harus menjadi titik balik. Ini bukan saatnya saling menyalahkan antar-kabupaten soal kiriman air. Ini saatnya seluruh Gubernur, Bupati, Walikota, serta anggota DPR dan DPD asal Sumatera bersatu padu.
Jangan lagi mau dinina-bobokan dengan janji bantuan bencana sesaat. Tuntutan kita harus jelas: Kembalikan pajak kami ke tempat aktivitas produksi terjadi.
Kepada para pengambil kebijakan di Jakarta, dengarlah jeritan dari Sumatera. Kami tidak meminta sedekah. Kami hanya menuntut keadilan. Jangan biarkan “Negara Kesatuan” hanya menjadi slogan politik, sementara dalam praktik ekonominya terjadi penghisapan daerah oleh pusat.
Jika kolonialisme masa lalu berakhir dengan proklamasi kemerdekaan, maka kolonialisme modern ini harus diakhiri dengan proklamasi keadilan fiskal. Biarkan pajak dari tanah Sumatera digunakan untuk mengeringkan air mata rakyat Sumatera, membangun benteng dari bencana, dan menata masa depan yang lebih bermartabat.
Tanah ini sudah cukup memberi. Jangan biarkan ia tenggelam dalam ketidakadilan.
Penulis adalah insinyur industri dan pemerhati kebijakan publik.











