Oleh Armin Nasution
SEJUJURNYA saya adalah fans Sri Mulyani Indrawati (SIM) yang sudah menjadi Menteri Keuangan selama 13 tahun. Era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dia sudah menjadi Menteri Keuangan. Tepatnya 5 Desember 2005.
Caranya menghandle berbagai persoalan fiskal dan moneter dalam beberapa periode membuatnya mendapat penghargaan sebagai Menteri Keuangan Terbaik se-Asia Pasifik sejak 2017-2019 oleh Majalah Global Market.
Saat saya masih jadi wartawan di Harian Waspada pun, dia sudah jadi Menteri Keuangan zaman SBY. Partner di atasnya waktu itu adalah Boediono sebagai Menko Perekonomian. Dan sepanjang jadi wartawan berkali-kali saya coba untuk mewawancarainya secara langsung termasuk dengan jalur keluarga.
Kenapa sampai begitu? Saat kuliah terutama di magister saya berharap bisa menjadi mahasiswanya. Tapi tak kesampaian. Akhirnya momentum mewawancarainya secara singkat pernah saya dapatkan saat meliput annual meeting IMF-WorldBank yang diselenggarakan di Singapura, September 2006 di Suntec Singapore Internasional Convention.
Dalam acara tersebut Sri Mulyani menjadi pembicara di Fullerton Hotel Singapura. Usai jadi narsum saya coba cegat untuk doorstop. Beruntung Sri Mulyani waktu itu mau diwawancara walau sebentar mungkin sekitar 10-an menit. Itupun sudah berjuang keras berpindah dari arena liputan yang terpusat di Suntec Singapura, bergerak cepat ke Fullerton Hotel agar tak kehilangan momentum.
Dedikasinya menjaga ekonomi Indonesia diakui dunia. Hanya saja kebijakan Sri Mulyani ini cenderung ketat. Saya melihatnya begitu, terutama kebijakan sepanjang pemerintahan Jokowi sampai awal periode Prabowo. Kebijakan moneter memang dilakukan dengan dua cara. Pertama kontraktif (mengetatkan likuiditas) dan kedua ekspansif (melonggarkan). Nah Sri Mulyani menjaga ritme ekonomi Indonesia dengan ketat. Berjaga-jaga atas berbagai kondisi yang mungkin terjadi.
Termasuk mengantisipasi munculnya resesi global yang diprediksi menghantam Indonesia. Sehingga potensi dan sumber keuangan negara lebih banyak disiapkan sebagai antisipasi. Sri Mulyani dianggap penjaga stabilitas karena pakem betul dengan defisit APBN yang kemungkinan melebar. Pesannya sangat fundamental bahwa penerimaan harus sejalan dengan pengeluaran. Ortodoksi fiskal ini memastikan keberlanjutan utang, kredibilitas kebijakan dan kepercayaan investor global. Ini yang membuatnya sebagai simbol keandalan ekonomi Indonesia di mata lembaga keuangan internasional.
Tapi kemudian Presiden Prabowo memunculkan figur baru pada pengganti Sri Mulyani. Yaitu Purbaya Yudhi Sadewa. Sosoknya berbeda betul dengan Sri Mulyani. Cara bicaranya lugas dan sigap. Konon begitu diangkat jadi Menkeu, Purbaya sudah dicap sebagai koboi.
Purbaya lebih terbuka dan tidak pelit bicara. Dia akrab dengan media, mau makan di kaki lima bahkan responsif atas berbagai pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Easy going dan very welcome atas pertanyaan apapun. Awalnya mungkin publik underestimate dengan gaya dan rencana kebijakannya.
Langkah cepat yang diambilnya pertamakali adalah menggelorkan Rp200 triliun ke sistem perbankan. Begitu mendengar kebijakan ini, saya mulai menduga-duga arah ekonomi yang diinginkan Purbaya. Apakah kebijakan kontraktif akan berganti dengan ekspansif?
Ketika Rp200 triliun itu ditempatkan di BI yang jadi pertanyaan apakah kemudian pasar siap menyerap kucuran dana itu, karena jika likuiditas berlebih namun tak diserap akan jadi beban perekonomian. Karena kebijakan itu pula ekonom senior Sumut Vincent Wijaya sempat berdiskusi panjang lebar dengan saya. Kami membahas kebijakan itu yang pada akhirnya sampai pada kesimpulan ekonomi Indonesia akan dibawa ke arah lebih dinamis dan terbuka dengan melonggarkan likuiditas.
Saat diskusi saya dan Vincent Wijaya masih sependapat bahwa kucuran dana akan sulit diserap pasar tanpa kebijakan lanjutan. Tak berapa hari dari diskusi itu, kemudian Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan ke angka 4,75 persen. Atau turun 25 basis poin dari sebelumnya.
Artinya, langkah Purbaya mengucurkan Rp200 triliun itu langsung diikuti dengan penurunan suku bunga. Teknis penyerapan dana bisa menjadi lebih leluasa ketika perbankan sudah ikut menurunkan suku bunga kredit. Karena dengan penempatan dana di himpunan bank-bank negara dan penurunan suku bunga akan membuat biaya dana perbankan menjadi lebih murah. Seharusnya ini akan mengucur ke sektor usaha kecil dan konsumtif dengan prinsip prudent (kehati-hatian).
Bukan hanya itu, Purbaya juga mulai mengantisipasi soal kenaikan pajak. Dengan pertumbuhan ekonomi yang masih lambat, dia menganggap bahwa bukan pajak jalan satu-satunya mendorong penerimaan negara. Harusnya ekonomi bisa tumbuh dulu, berputar cepat kemudian menguntungkan pebisnis, maka kenaikan pajak baru bisa dijalankan. Dia berprinsip bukan saatnya mencekik leher pengusaha dengan pajak ketika ekonomi belum bergerak simultan.
Dua langkah ini menjadi pertanda bahwa Menkeu Purbaya lebih pragmatis. “Saya sudah 15 tahun di pasar,” katanya usai dilantik. Biasanya cara pandang orang seperti dia memang lebih mengerti kondisi riil ekonomi. Sebab selain cermat dia juga faham kondisi yang terjadi.
Dengan wacana mendorong ekonomi Indonesia bisa tumbuh lebih tinggi, saya melihat di pundaknya ada beban berat fiskal. Pertama soal pajak, karena sumber penerimaan utama negara saat ini berasal dari pajak. Kedua tentu cicilan bunga utang domestik & luar negeri yang sangat membebani. Di APBN, total cicilan bunga utang ini mencapai Rp552 triliun atau yang tertinggi sepanjang sejarah seiring utang jatuh tempo yang mencapai Rp800 triliun.
Ketiga, makan bergini gratis. Program ini menyandera belanja fiskal sampai Rp1,2 triliun per hari atau lebih dari Rp35 triliun per bulan. Pada konsep awal, makan bergizi gratis ini akan menjadi multiplier effect pada pertumbuhan hingga 1 persen tapi sepertinya Menkeu Purbaya harus berhitung ulang.
Tentang Makan Bergizi Gratis (MBG) akan saya ulas di tulisan lain. Namun konteks pergantian Menkeu dari Sri Mulyani ke Purbaya diharapkan menjadi angin segar pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia karena konsumsi masih menjadi mesin pertumbuhan utama.
Saat satu sesi perkuliahan di kelas saya tanya ke mahasiswa. Apa perbedaan Menkeu Sri Mulyani dengan Purbaya Yudhi Sadewa. Lalu seorang mahasiswi berdiri mengenalkan namanya dan menjawab. Dia memaparkan tentang kebijakan-kebijakan zaman Sri Mulyani dan membandingkannya dengan Purbaya. Lalu di ujung kalimat dia sampaikan seperti ini:
“Bagi saya pak, Bu Sri Mulyani itu sama lah seperti ibu-ibu lainnya. Seperti mamak kita juga. Mamak-mamak kita kan memang irit uang belanja, menjaga pengeluaran dan sebisanya memaksimalkan tetap menabung dari uang belanja yang dikasi bapak kita. Nah kalau Pak Purbaya itu seperti bapak-bapak kita juga. Biasanya laki-laki lebih royal ngeluarkan uang. Coba kalau kita minta uang jajan sama bapak langsung dikasi. Tapi kalau kita minta uang jajan sama mamak pasti dinasehati dulu, direpeti dulu dan ujung-ujungnya malah disuruh minta uang jajan ke bapak,” katanya.
Saya harus mengapresiasi jawaban mahasiswa ini. Tanpa sadar dia sudah menggambarkan kebijakan moneter yang kontraktif dan ekspansif itu.