Opini

Bencana Datang Tanpa Izin

Bencana Datang Tanpa Izin
Kecil Besar
14px

Oleh: Farid Wajdi

Banjir selalu datang seperti seorang penyair yang tak percaya pada jadwal. Ia mengetuk pintu malam-malam, memecahkan kaca jendela, menyeret perabot, merampok rasa aman, lalu pergi tanpa meninggalkan maaf.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Air bah tak peduli pada struktur komando, tak menunggu rapat koordinasi, tak tunduk pada SK dan prosedur administratif. Ia hadir spontan, tanpa panduan teknis, sementara lembaga publik berjalan pelan seperti biro mesin ketik yang tak pernah di-upgrade.

Fenomena itu menggambarkan ketegangan laten antara realitas bencana dan ritme negara. Respons publik bergerak seperti denyut darah; respons birokrasi menyerupai langkah pejabat yang sibuk menanti tanda tangan.

Ironi ini berkali-kali dikritik pakar hukum kebencanaan. Eko Teguh Paripurno (2018) merumuskan problemnya secara telak: “Bencana menuntut kecepatan, sedangkan prosedur administratif berdiri tegak sebagai tembok.”

Kalimat itu menampar logika pemerintahan yang gemar memuja regulasi, tapi sering gagal membaca detik-detik genting yang menentukan hidup atau mati korban.

Dalam konteks global, kritik lebih tajam muncul dari Michael Barnett (2011), ilmuwan politik sekaligus peneliti kemanusiaan. Ia menyebut sistem bantuan modern sebagai “teater kepatuhan”: setiap aktor berlomba menunjukkan legalitas, bukan menolong sesegera mungkin.

Saat banjir menyapu desa, teater itu tampil dalam bentuk berkas verifikasi, rapat koordinasi, peninjauan lokasi, hingga sesi konferensi pers yang seolah lebih penting daripada menyelamatkan tubuh-tubuh yang terjebak arus.

Bergerak Tanpa Regulasi

Di lapangan, warga yang kehilangan rumah bergerak melalui jalur paling lama: menunggu bantuan resmi. Para pejabat justru menempuh jalur paling cepat: menyiapkan narasi keberhasilan. Dua realitas ini tak pernah bertemu dalam garis yang utuh.

Saat relawan mengangkat perahu karet, operator lembaga pemerintah memeriksa kembali daftar logistik. Ketika warga mendorong dapur umum seadanya, institusi resmi menimbang ulang mekanisme pertanggungjawaban barang.

Hu & Kapucu (2016) pernah menekankan efektivitas jejaring warga sebagai motor awal penanganan bencana. Relawan, komunitas muda, jaringan filantropi, donatur anonim: semua bergerak tanpa menunggu regulasi formal.

Mereka tak punya struktur berjenjang; mereka hanya punya intuisi kemanusiaan. Energi itu sering menutup celah lambannya intervensi negara. Namun fenomena ini tak selalu dipahami pemerintah sebagai peluang, melainkan ancaman terhadap kontrol.

Struktur kekuasaan sering merasa donasi publik mesti diarahkan melalui kanal resmi. Setiap bantuan perlu dicatat, setiap relawan wajib terkoordinasi, setiap paket logistik harus melewati posko pemerintah.

Padahal Lester Salamon (2012) menegaskan filantropi bekerja paling efektif ketika diberi ruang, bukan ketika diborgol oleh struktur birokrasi. Energi memberi tak membutuhkan stempel; solidaritas tak menunggu arahan.

Di tengah ketegangan itu, muncul narasi klasik yang biasanya diulang pejabat: situasi terkendali. Frasa ini mengalun dalam setiap konferensi pers seakan banjir tunduk pada kharisma pejabat publik.

Kenyataannya berbeda. Warga terjebak di atap rumah, relawan kewalahan, aliran listrik padam, jalur logistik terputus. Adapun para pengambil kebijakan tengah sibuk menyusun laporan berjenjang. Situasi terkendali hanya berlaku di ruangan ber-AC, bukan di tepian sungai yang mendidih oleh arus.

Satu aspek lain yang jarang dibedah secara kritis: politik anggaran kebencanaan. Dana penanggulangan bencana sering terdistribusi lambat akibat mekanisme pengesahan yang berlapis.

Padahal banjir tak menunggu notulensi rapat. Bantuan darurat memerlukan fleksibilitas, bukan keengganan struktural. Sangat ironis ketika warga berpegangan pada batang pohon, sementara pejabat berpegangan pada Undang-Undang atau Peraturan Menteri yang memerlukan interpretasi berulang.

Menguji Moralitas Negara

Lebih ironis lagi, pejabat sering bersandar pada retorika kesiapsiagaan ketika air sedang surut. Setelah banjir berlalu, panggung publik kembali dipenuhi kata-kata yang enak didengar: mitigasi, sinergi, koordinasi lintas sektor.

Semua terdengar elegan seperti daftar ceklis yang ditulis jauh setelah bencana selesai menelan korban. Warga mengingat hal lain: momen mereka menunggu perahu penyelamat yang tak kunjung datang.

Dalam konteks filosofis, bencana selalu menguji moralitas negara. Hannah Arendt pernah menyatakan pada 1963, “Kapasitas bertindak mendahului perangkat organisasi.” Kalimat itu terasa relevan bagi pejabat yang kerap terjebak dalam struktur formal.

Ketika air naik cepat, pilihan moral justru menuntut keberanian melampaui batas regulasi. Setiap detik lamban adalah detik yang mengorbankan tubuh rapuh di tengah arus.

Filosofi kemanusiaan tak pernah membutuhkan paraf pejabat. Ia menuntut tindakan konkret. Bencana adalah momentum yang memaksa negara keluar dari zona nyaman administratif.

Ketika banjir mengalir deras, perdebatan mengenai kewenangan hanya terdengar seperti parodi. Banjir menertawakan siapa pun yang sibuk mengutip aturan sementara warga terjerat lumpur.

Dalam konteks politis, bencana kerap menjadi panggung pencitraan. Setiap pejabat ingin terlihat sebagai penyelamat, bukan penghambat. Namun publik sudah terlalu sering menyaksikan skenario yang berulang: kamera datang lebih cepat daripada bantuan.

Pada titik itu, simpati berubah menjadi sinisme. Masyarakat menilai komitmen bukan dari pernyataan resmi, melainkan dari kehadiran nyata di medan sulit.

Politik Lamban

Banjir sebetulnya tak pernah menawarkan ruang bagi politik lamban. Bencana menuntut keputusan yang tegas, cepat, dan manusiawi.

Prosedur yang menunda justru menciptakan korban baru. Di titik tersebut, perdebatan mengenai legalitas tak lagi menjadi prioritas. Kehidupan warga jauh lebih berharga dibanding rapat evaluasi yang tak kunjung tuntas.

Setiap banjir menghadirkan cermin untuk negara. Cermin itu memantulkan watak asli lembaga publik: apakah sigap atau sekadar cekatan berkata-kata. Apakah hadir di lokasi atau hanya rajin mengirim laporan. Apakah memimpin atau hanya mengikuti alur.

Pada akhirnya, esensi kemanusiaan bukan terletak pada regulasi, melainkan keberanian memutus birokrasi yang memperlambat penyelamatan hidup. Bencana datang tanpa permisi. Bantuan seharusnya bergerak dengan spontanitas yang sama.

Negara wajib menunjukkan empati melalui tindakan, bukan seremonial. Ketika perahu karet meluncur lebih cepat daripada surat dinas, publik baru percaya pemerintahan bekerja sungguh-sungguh.

Air bah boleh datang tiba-tiba, namun kelambanan tak pantas dipelihara. Solusi terbaik selalu lahir dari kehadiran cepat, keluasan hati, serta kemampuan menanggalkan ambisi struktural.

Banjir tak membutuhkan pejabat yang pandai berbicara, melainkan pemimpin yang mampu melampaui tembok birokrasi demi nyawa yang harus diselamatkan.

Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE