Opini

Bencana Nasional Dan Tongkat Nabi Musa

Bencana Nasional Dan Tongkat Nabi Musa
Kecil Besar
14px

Oleh: Farid Wajdi

Di tengah puing rumah, lumpur banjir, dan tenda-tenda pengungsian yang berdiri setengah pasrah, sebuah kalimat bergema dari Istana: “Saya tidak punya tongkat Nabi Musa.”

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Kalimat ini, yang berulang kali disampaikan Presiden Prabowo Subianto dalam konteks penanganan bencana dan pembangunan, segera menjadi metafora politik yang menyebar cepat, seperti dikutip media arus utama seperti Kompas.id (2024), diberitakan ulang Okezone (2025), dikritik di berbagai kanal Tribunnews daerah (2024), hingga menjadi potongan video viral di media sosial.

Kalimat itu sederhana, namun daya gaungnya besar. Pernyataan itu memanggil imajinasi teologis, menggugah ekspektasi publik, sekaligus membuka ruang tafsir yang berlapis.

Ada yang memaknainya sebagai kejujuran, ada pula yang melihatnya sebagai dalih. Namun dalam perkara bencana nasional, persoalannya bukan terletak pada siapa benar atau salah secara retoris, melainkan pada bagaimana negara membaca penderitaan warganya dan menjawabnya dengan tindakan nyata.

Secara faktual dan teologis, pernyataan itu tak terbantahkan. Tongkat Nabi Musa bukanlah tongkat biasa. Tongkat itu adalah mukjizat sebagai tanda kenabian yang eksklusif, tidak dapat diwariskan, tidak dapat disubstitusi oleh jabatan, dan tidak mungkin dimiliki oleh seorang presiden, betapapun kuat mandat politiknya.

Mukjizat bekerja di luar hukum sebab-akibat; kekuasaan negara justru tunduk pada hukum, anggaran, prosedur, dan batas waktu. Dalam arti ini, Presiden Prabowo benar: tidak ada mukjizat dalam pemerintahan modern.

Namun, di situlah justru persoalan bermula. Ketika rakyat berbicara tentang bencana nasional, yang mereka tuntut bukanlah mukjizat dalam arti teologis, melainkan kehadiran negara.

Mereka tidak meminta laut terbelah, tetapi jalan dibuka. Mereka tidak berharap tongkat berubah menjadi ular, tetapi logistik tiba tepat waktu.

Dalam konteks inilah metafora tongkat Nabi Musa menjadi cermin: bukan untuk membenarkan keterbatasan, melainkan untuk menguji kesungguhan kekuasaan.

Sejumlah media daerah, seperti AcehStandar.com (2024) dan Tribunnews Aceh (2024), mencatat kegelisahan publik yang nyata. Bagi korban bencana, waktu adalah luka yang terus menganga. Setiap hari keterlambatan bukan sekadar soal administrasi, melainkan soal martabat.

Karena itu, ketika negara berbicara tentang proses dan kesabaran, publik berhak bertanya: sejauh mana proses itu benar-benar bergerak, dan kesabaran itu tidak berubah menjadi pembiaran?

Di sinilah penting membedakan antara mukjizat dan mandat. Presiden memang tidak memiliki tongkat Nabi Musa, tetapi ia memegang tongkat lain yang jauh lebih relevan dalam negara modern: tongkat komando konstitusional.

Tongkat ini memberi kewenangan untuk menetapkan status bencana nasional, menggerakkan APBN, mengonsolidasikan kementerian dan lembaga, serta memerintahkan seluruh birokrasi bergerak dalam satu irama. Tribunnews Gayo (2024) dengan tepat menyindir: “tak perlu tongkat Nabi Musa, cukup tongkat komando.”

Tongkat komando itulah yang menentukan apakah negara hadir sebagai pengayom atau sekadar penonton yang fasih berpidato. Ia bukan benda magis, tetapi alat politik dan hukum yang nyata. Ia bekerja bukan dengan keajaiban, melainkan dengan keberanian mengambil keputusan, termasuk keputusan yang mahal secara politik.

Karena dalam bencana, yang sering kali paling langka bukan anggaran, melainkan keberanian memotong kerumitan birokrasi.

Media nasional seperti Kompas.id (2024) mengingatkan pemulihan bencana memang tidak bisa sekejap. Itu benar. Tetapi ketidaksekejapan tidak identik dengan kelambanan. Ada perbedaan tipis namun krusial antara kehati-hatian dan keraguan.

Negara yang matang mampu bergerak cepat tanpa ceroboh, tegas tanpa kehilangan akuntabilitas. Di titik inilah kepemimpinan diuji, bukan oleh mukjizat, tetapi oleh konsistensi tindakan.

Metafora tongkat Nabi Musa juga menyimpan kritik kultural yang lebih dalam. Ia seolah menyentil kecenderungan publik yang masih berharap solusi instan atas persoalan struktural.

Padahal, sebagaimana dicatat Line1.News (2024), bencana bukanlah peristiwa tunggal, melainkan akumulasi panjang dari tata ruang yang abai, kerusakan lingkungan, dan pembangunan yang timpang. Menuntut mukjizat sama artinya dengan menolak bercermin.

Namun kritik kepada publik tidak boleh mengaburkan tanggung jawab negara. Justru karena tidak ada mukjizat, maka perencanaan, mitigasi, dan respons cepat menjadi mutlak.

Ketika negara berkata “tidak instan”, publik berhak memastikan yang tidak instan itu adalah proses yang sungguh berjalan, bukan alasan yang diulang. Dalam demokrasi, empati tanpa kebijakan hanyalah retorika; kebijakan tanpa empati adalah kekerasan yang sunyi.

Pernyataan Presiden Prabowo, sebagaimana dikutip Okezone (2025), seharusnya dibaca sebagai pengingat batas, dan bukan sebagai pagar. Batas bahwa negara tidak mahakuasa, tetapi pagar agar kekuasaan tidak larut dalam ilusi keajaiban.

Justru karena tidak ada tongkat Nabi Musa, maka setiap keputusan menjadi lebih bermakna. Setiap keterlambatan menjadi lebih terasa. Dan setiap keberhasilan, sekecil apa pun, lahir dari kerja nyata, bukan legenda.

Pada akhirnya, bencana nasional adalah panggung kejujuran. Status bencana menelanjangi apakah kekuasaan benar-benar hadir ketika rakyat paling membutuhkan.

Tongkat Nabi Musa mungkin hanya metafora, tetapi luka korban adalah kenyataan. Di antara keduanya, sejarah tidak akan mencatat siapa yang paling fasih berbicara tentang mukjizat, melainkan siapa yang paling sungguh menggunakan mandatnya.

Karena dalam negara modern, mukjizat memang tidak ada. Tetapi tanggung jawab, selalu ada. Dari tanggung jawab itu, tongkat komando seharusnya berbunyi.

Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE