Oleh: Rahmad Gustin, SE
Tiga provinsi di Pulau Sumatera — Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat — sedang menanggung beban salah satu tragedi paling memilukan dalam sejarah kebencanaan modern Indonesia.
Scroll Untuk Lanjut MembacaIKLAN
Gelombang banjir bandang dan longsor yang melanda wilayah-wilayah ini sejak akhir November 2025 telah merenggut ratusan bahkan hampir seribu jiwa, dengan ribuan lainnya luka, hilang, dan puluhan ribu warga mengungsi. Angka terkini menunjukkan ribuan pengungsi dan kerusakan infrastruktur yang sangat parah.
Namun, ironisnya tragedi ini belum ditetapkan oleh pemerintah pusat sebagai “bencana nasional”. Status ini belum diumumkan meskipun hampir seluruh indikator bencana besar terpenuhi: jumlah korban sangat besar, dampak luas, kebutuhan logistik serius, dan kapasitas daerah terdampak sudah kewalahan.
Eksploitasi Brutal di Wilayah Daerah: Biang Kerok yang Terabaikan
Ribuan korban bukan semata hasil dari hujan deras atau cuaca ekstrem; fenomena alam itu memang menjadi pemicu. Namun kenapa dampaknya begitu menghancurkan? Jawabannya tak bisa dipisahkan dari praktik eksploitasi sumber daya yang brutal di hulu sungai, lereng-lereng perbukitan, dan wilayah hutan tropis di Sumatera.
Kegiatan pertambangan, perkebunan besar, pembalakan, dan pembukaan lahan dalam skala masif telah mengubah sifat alami tanah dan lanskap. Ketika hujan deras turun, air tidak lagi terserap secara natural oleh hutan lebat — karena banyak lahan sudah rusak atau tidak memiliki vegetasi yang memadai — melainkan mengalir deras turun ke lembah dalam bentuk banjir bandang dan longsor. Banyak pihak menyebut kondisi ini sebagai *dosa ekologis* yang dilegitimasi oleh kebijakan pusat yang permisif terhadap korporasi besar.
Pemerintah pusat kerap memberi izin investasi tanpa memperhitungkan kapasitas lingkungan secara jujur, bahkan ketika kajian lingkungan (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan / Amdal) dan aspek sosial-kultural setempat menentang. Hutan ditebang, ekosistem dirusak, dan kearifan lokal tentang cara menjaga lingkungan diabaikan, sementara elit dan oligarki mengejar keuntungan (cuan) dalam skala besar.
Status Bencana Nasional: Kenapa Belum Ditetapkan?
Status bencana nasional diatur dalam peraturan kebencanaan Indonesia untuk memberi ruang mobilisasi sumber daya secara luar biasa: termasuk intervensi anggaran pusat, alih kendali penanganan dari daerah ke pusat, dan bahkan pembukaan bantuan internasional bila diperlukan. Namun status ini hingga kini belum ditetapkan untuk Sumatera.
Pemerintah pusat beralasan bahwa kondisi saat ini masih dapat ditangani dengan status bencana daerah yang sudah ditetapkan masing-masing provinsi dan belum memenuhi kriteria tertentu untuk status nasional. Pernyataan ini menjadi sorotan karena justru menghambat masuknya sumber daya tambahan seperti bantuan asing (internasional financial aid dan disaster relief support) yang dapat mempercepat respon kemanusiaan dan rekonstruksi.
Parahnya lagi, respon pemerintah pusat cenderung monitoring terus, tetapi tidak cepat mengambil langkah administratif yang strategis seperti menaikkan status atau membuka pintu bantuan luar negeri secara formal.
Regulasi dan Ketidakadilan Pelaksanaannya
Dalam ranah hukum dan kebijakan, Indonesia memiliki UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang membedakan antara bencana lokal, provinsi, dan nasional. Penetapan status bencana nasional semestinya tak hanya soal angka, tetapi juga soal kapasitas daerah mengatasi dampak, ketersediaan anggaran, dan kebutuhan perlindungan rakyat.
Namun praktek yang terjadi menunjukkan adanya pelaksanaan yang timpang: ketika bencana terjadi di luar Pulau Jawa — yang biasa mendapat sorotan media nasional dan pusat pemerintahan lebih intensif — respon pemerintah sering terbatas. Sementara itu, daerah luar Jawa yang kaya sumber daya alam justru menjadi “zona ekstraksi” tanpa pengakuan penuh atas risiko ekologis yang ditimbulkannya.
Hal ini memunculkan rasa bahwa kebijakan kita masih sangat Jawa-sentrik, di mana pusat mengambil sumber daya dari luar Jawa, tapi ketika rakyat luar Jawa tertimpa musibah besar, negara lambat hadir dengan kebijakan konkret yang setara.
Ketimpangan Keadilan dan Kesejahteraan
Kita lihat paradoks tragis: kekayaan sumber daya alam Sumatera — minyak, gas, sawit, mineral, hutan — telah memberi keuntungan besar bagi perekonomian nasional, tetapi ketika daerah ini harus menghadapi bencana ekologis yang besar (yang sebagian dipicu oleh praktik ekstraktif nan merusak), tanggapan negara masih setengah hati. Sumatera seolah menjadi wilayah kelas dua dalam hubungan pusat-daerah.
Model pembangunan yang hanya menimbang GDP, investasi, dan ekspor komoditas besar — tetapi mengabaikan keberlanjutan ekologis dan kesejahteraan masyarakat lokal — adalah resep bencana berulang. Kearifan lokal, hak atas lingkungan sehat, dan kapasitas komunitas untuk mengelola risiko harus menjadi bagian dari kebijakan yang benar-benar berpihak pada rakyat.
Waktunya Berpikir Ulang Hubungan Pusat dan Daerah
Tragedi ini adalah alarm besar: bahwa hubungan negara terhadap daerah luar Jawa perlu diredefinisi. Bukan sekadar soal birokrasi atau otonomi, tetapi soal kesejahteraan, keadilan, dan tanggung jawab ekologis. Negara harus hadir secara penuh ketika warganya kehilangan rumah, keluarga, mata pencaharian, dan lingkungannya rusak parah.
Status bencana nasional bukan sekadar label; itu adalah komitmen politik dan moral. Itu adalah pengakuan bahwa rakyat bukan sekadar statistik — mereka adalah subjek negara yang harus dilindungi. Itu adalah langkah awal dalam merubah paradigma pembangunan dari yang eksploitatif menjadi berkelanjutan dan inklusif.
Ketika pemerintah pusat mengabaikan langkah ini, publik berhak mempertanyakan: apakah negara ini benar-benar hadir untuk semua rakyatnya, atau hanya hadir ketika ada keuntungan ekonomi yang bisa diambil?
Penutup
Bencana di Aceh, Sumut, dan Sumbar adalah tragedi besar yang mencerminkan kegagalan kita bersama dalam menjaga lingkungan dan humanitas. Tidak ditetapkannya status bencana nasional sampai hari ini menunjukkan ketimpangan dalam kebijakan negara antara pusat dan daerah, antara ekstraksi materi dan perlindungan manusia, antara keuntungan oligarki dan kesejahteraan rakyat.
Kini saatnya kita berpikir ulang tentang relasi pusat-daerah dalam perspektif negara yang sejati : bukan hanya sebagai pemberi izin investasi, tetapi sebagai penjaga kehidupan, ekologi, dan masa depan bersama.
Penulis adalah Anggota Presidium Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF) Ulama Sumatera Utara











