Opini

Bencana Tanda Tangan

Bencana Tanda Tangan
Kecil Besar
14px

Oleh: Farid Wajdi

Tanda tangan sering dipandang sederhana. Sebaris lengkung tinta di atas kertas, sering tampak remeh, sering dianggap rutinitas birokrasi.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Namun sejarah kebencanaan di Indonesia memperlihatkan sesuatu yang jauh lebih kelam: tanda tangan dapat berubah menjadi alat pembuka pintu bencana kedua, bencana yang tidak berasal dari gunung, hujan, atau tanah yang retak.

Bencana itu lahir dari meja kerja, dari keputusan tergesa, dari hasrat rakus yang diselipkan di balik stempel dan paraf.

Berbagai laporan lembaga antikorupsi sudah menuliskan pola yang muncul terus-menerus: penyimpangan anggaran bencana meloncat naik pada saat masyarakat paling rentan.

Media nasional menguatkan gambaran tersebut lewat pemberitaan tentang penyalahgunaan dana logistik, fraud dalam pengadaan masa darurat, dan pemotongan anggaran rekonstruksi.

Kasus yang menyeret pejabat penanggulangan bencana di Siak, tuntutan hukum terhadap pejabat Bogor yang merampas dana bantuan, serta laporan-laporan investigasi memperlihatkan bagaimana tanda tangan dapat mengubah niat penyelamatan menjadi ladang pemerasan.

Tidak ada bencana alam yang lebih kejam dibanding bencana korupsi dalam kondisi darurat. Banjir bisa surut, longsor bisa berhenti, namun korupsi meninggalkan kerusakan jauh lebih panjang: kepercayaan publik yang runtuh, infrastruktur yang rapuh, serta nyawa yang lenyap karena bantuan tidak sampai tepat waktu.

Pada berbagai kesempatan, para peneliti kebijakan publik sudah mengingatkan risiko besar pada skema anggaran kebencanaan. Ada masanya peringatan itu hanya terdengar seperti catatan teoretis.

Namun ketika Sumatera kembali dihantam banjir dan longsor, peringatan tersebut berubah menjadi realitas brutal. Kerusakan bukan hanya akibat curah hujan ekstrem.

Kerusakan lahir dari proyek-proyek pencegahan yang ambruk karena materialnya dipreteli, dari jalur evakuasi yang tak layak karena anggarannya dikurangi, dari tebing-tebing yang seharusnya diperkuat namun dibiarkan rapuh karena dipotong untuk “fee”.

Bermula dari Tanda Tangan

Dalam perspektif moral, tindakan ini bukan sekadar penyimpangan administratif. Korupsi anggaran bencana adalah pengk hianatan terang-terangan terhadap hidup orang banyak.

Literatur teologi mengingatkan konsep kerusakan moral yang disebut fasad, bentuk kehancuran yang muncul ketika seseorang merampas hak manusia lain untuk hidup aman.

Tindakan merogoh dana bencana sama dengan menunda bantuan kepada korban yang terjebak di bawah runtuhan, menunda logistik bagi anak-anak yang kedinginan di posko, dan menunda penanganan warga yang terisolasi.

Dalam teks fikih klasik, tindakan merusak harta publik dalam situasi darurat dianggap kezaliman yang paling keras. Pelakunya menanggung dosa sosial karena menghilangkan kemaslahatan umum.

Prinsip penjagaan jiwa (hifz al-nafs) mengikat pejabat publik lebih ketat dari sekadar aturan administrasi.

Setiap rupiah yang hilang dari anggaran penanganan berarti satu nyawa yang dibiarkan lebih dekat pada kematian. Narasi ini bukan hiperbola. Ini fakta yang tersingkap dalam banyak tragedi.

Arah investigasi media tentang “bencana tanda tangan” menguatkan gambaran buruk tersebut: ratusan korban meninggal dalam insiden longsor dan banjir di daerah rawan yang gagal diperkuat struktur mitigasinya.

Ketika dokumen izin pembangunan disahkan secara serampangan, atau proyek penguatan tebing disetujui tanpa pengawasan, bencana alam berubah menjadi bencana buatan manusia.

Beberapa laporan lokal mempertanyakan mengapa izin-izin tertentu tetap keluar meski kawasan tersebut diketahui kritis. Jawabannya selalu berputar pada satu hal: tanda tangan.

Perspektif hukum positif memberikan ancaman sanksi berat untuk tindak korupsi dalam keadaan darurat. Berbagai putusan pengadilan menegaskan pencurian dana kebencanaan masuk dalam kategori pemberatan hukuman.

Namun ancaman hukum sering tidak cukup menakutkan bagi mereka yang sudah terbiasa menjadikan bencana sebagai ladang pemasukan.

Momentum Hari Antikorupsi Sedunia 2025 seharusnya menjadi peringatan terakhir. Tidak ada alasan moral, etis, maupun hukum yang dapat membenarkan penjarahan anggaran di tengah penderitaan warga.

Sampai di sini, masalahnya bukan lagi soal lemahnya regulasi. Masalahnya terletak pada karakter individu yang menganggap jabatan sebagai alat untuk meneguk keuntungan dari kekacauan.

Anggapan ini terbangun lama, tumbuh subur, dan terlindungi jejaring kepentingan. Tindakan semacam ini lebih berbahaya daripada banjir bandang, karena banjir hanya menyapu permukaan. Korupsi menyapu fondasi negara.

Bagi Sumatera yang terus digempur longsor dan banjir akibat perubahan iklim, tindakan ini memiliki konsekuensi yang jauh lebih berbahaya.

Wilayah yang secara ekologis rapuh memerlukan sistem mitigasi yang kuat, pengawasan ketat, dan alokasi anggaran yang tidak boleh diganggu sedikit pun.

Setiap proyek penanggulangan yang dikerjakan asal-asalan dapat memicu runtuhan lebih besar. Setiap penundaan distribusi bantuan dapat meningkatkan jumlah korban. Ketika anggaran kebencanaan diretas oleh individu yang tamak, efeknya menguap ke seluruh rantai penanganan: dari logistik, evakuasi, pembukaan akses darurat, hingga rekontruksi.

Korupsi bencana bukan lagi sekadar pencurian uang. Ini tindakan yang mengirim masyarakat langsung ke mulut kehancuran.

Tanda tangan yang mengubah anggaran publik menjadi keuntungan pribadi sama dengan melempar batu besar ke arah warga yang tengah berusaha menyelamatkan diri dari banjir. Di saat alam sedang menguji daya tahan manusia, para koruptor menambahkan beban lebih besar.

Bencana terbesar tidak selalu berasal dari curah hujan ekstrem. Ada masanya bencana lahir dari ruang kerja berpendingin, dari rapat-rapat tertutup, dari para pejabat yang tersenyum sambil mengesahkan dokumen yang mengalihkan anggaran bantuan.

Di titik itulah, guratan pena menjadi lebih mematikan daripada tanah longsor.

Setiap tanda tangan dapat menghidupkan harapan atau menutupnya rapat-rapat.

Sumatera tidak memerlukan satu tragedi lagi untuk membuka mata semua pihak. Bencana alam tidak bisa dicegah, tetapi bencana moral akibat korupsi dapat dihentikan seketika. Yang diperlukan hanyalah keberanian mengembalikan tanda tangan pada kehormatan aslinya: keputusan yang berpihak pada nyawa manusia.

Jika anggaran bencana kembali dirampok, kerusakan sosial yang muncul akan jauh lebih dahsyat daripada bencana alam.

Jika saat itu terjadi, tinta yang mengalir dari pena pejabat yang korup akan menjadi tinta yang mengalirkan duka banyak negeri. (Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE