Opini

Bendera Putih

Bendera Putih
Kecil Besar
14px

Oleh: Farid Wajdi

Aceh kembali berbicara dengan bahasa yang tidak lahir dari ruang rapat kekuasaan. Ia tidak hadir melalui pidato, siaran pers, atau konferensi media. Ia muncul melalui kain putih yang dikibarkan warga di depan rumah yang terendam banjir, di jalan nasional yang terputus, di halaman masjid, dan di pos pengungsian yang kelelahan.

Bendera putih itu bukan simbol politik. Ia menjadi bahasa terakhir warga saat seluruh saluran resmi terasa jauh dan tidak menjawab kebutuhan mendesak.

Dalam tradisi kemanusiaan internasional, bendera putih dipahami sebagai tanda menyerah atau permohonan perlindungan. Di Aceh hari ini, maknanya jauh lebih telanjang. Ia menandai titik ketika warga tidak lagi sanggup bertahan sendiri di tengah bencana dan merasa negara bergerak terlalu lambat.

BBC Indonesia (2025) mencatat pengibaran bendera putih sebagai ekspresi keputusasaan warga akibat distribusi bantuan yang belum merata dan ketidakpastian arah penanganan.

Pemerintah menafsirkan simbol ini secara administratif. Pernyataan resmi menyebut situasi masih terkendali dan belum memenuhi syarat penetapan bencana nasional.

Tafsir semacam ini hidup di ruang kebijakan, namun tidak selalu bertemu dengan pengalaman warga. Di lapangan, bencana hadir sebagai antrean panjang bantuan, wilayah terisolasi, serta ketidakjelasan masa depan. Bagi warga, bendera putih tidak dimaksudkan untuk mengirim pesan simbolik, melainkan tanda darurat kemanusiaan.

Aceh bukan wilayah asing dalam peta bencana Indonesia. Ingatan kolektif tentang tsunami 2004 dan konflik panjang membentuk sensitivitas sosial tinggi terhadap krisis. Justru karena sejarah itu, ekspektasi kehadiran negara menjadi lebih besar.

Namun respons yang muncul terasa kaku dan prosedural. Tempo (2025) mencatat pernyataan pejabat daerah dan pusat yang masih berkutat pada perdebatan status, sementara kerusakan terus meluas.

Status Bencana Nasional

Di titik ini, kebijakan terlihat terbalik. Status bencana diperlakukan sebagai tujuan akhir, bukan alat kerja. Padahal, menurut Eko Prasojo (2025), status bencana nasional berfungsi sebagai instrumen percepatan koordinasi, anggaran, serta pengambilan keputusan lintas sektor.

Tanpa status itu, negara bergerak dengan batasan yang justru memperlambat respons.

Bagi warga, keterlambatan tidak pernah bersifat abstrak. Ia berwujud keterbatasan pangan, air bersih, layanan kesehatan, dan perlindungan bagi kelompok rentan.

Amnesty International Indonesia (2025) menilai pengibaran bendera putih sebagai indikator kegagalan negara memenuhi kewajiban dasar hak asasi manusia dalam situasi darurat. Penilaian ini menguatkan kesan adanya jarak serius antara narasi kebijakan dan realitas lapangan.

Pemerintah juga menunjukkan kekhawatiran berlebihan terhadap pembukaan bantuan internasional. Narasi kemandirian kembali diangkat seolah bantuan global identik dengan pelemahan kedaulatan.

Padahal, menurut Dwikorita Karnawati (2024), kedaulatan dalam konteks bencana diukur dari kemampuan negara mengelola bantuan secara efektif, bukan dari seberapa rapat pintu ditutup. Penolakan terhadap bantuan justru berisiko memperpanjang penderitaan warga.

Fenomena bendera putih akhirnya berubah menjadi cermin. Ia memantulkan wajah tata kelola kebencanaan nasional yang masih bekerja dengan logika normal di tengah situasi luar biasa.

Krisis iklim membuat bencana hadir lebih sering, lebih luas, dan lebih kompleks. CNBC Indonesia (2025) mencatat sorotan media asing terhadap Aceh sebagai peringatan global atas lambannya respons awal pemerintah.

Pertanyaan pentingnya tidak lagi berkisar pada alasan warga mengibarkan bendera putih. Pertanyaan itu bergeser menuju apa yang keliru dalam sistem hingga warga merasa simbol sedrastis itu perlu digunakan. Jawabannya mengarah pada kegagalan membaca sinyal sosial.

Negara terlalu percaya pada laporan struktural dan terlalu sedikit mendengar pengalaman warga. Komunikasi publik berjalan searah, sementara kepercayaan publik terus menipis.

Respons negara juga tampak ambigu. Permintaan maaf dan pernyataan empati disampaikan, namun keputusan strategis tidak segera menyusul.

Kompas (2025) mencatat munculnya somasi terhadap Presiden sebagai bentuk kekecewaan publik. Langkah ini tidak lahir dari sikap antipemerintah, melainkan dari rasa lelah menghadapi ketidakpastian.

Negara Bersifat Defensif

Solusi atas situasi ini seharusnya tidak bersifat defensif. Penetapan status bencana nasional perlu dilihat sebagai alat manajemen krisis. Pembukaan bantuan internasional dapat dilakukan secara selektif dan terkoordinasi tanpa mengorbankan kepentingan nasional.

Distribusi bantuan harus melibatkan aktor lokal dan masyarakat sipil yang memahami medan dan kebutuhan nyata.

Lebih dari itu, negara perlu belajar membaca simbol sosial. Bendera putih bukan ancaman stabilitas. Ia berfungsi sebagai alarm. Ketika warga memilih kain putih alih-alih demonstrasi, kelelahan kolektif sudah mencapai titik ekstrem.

Mengabaikannya berarti membiarkan jarak antara negara dan warga semakin melebar.

Bencana selalu menguji watak negara. Pilihan antara menjaga citra atau menyelamatkan nyawa selalu hadir di setiap krisis. Aceh telah menyampaikan pesannya dengan cara paling damai, sekaligus paling menusuk.

Kini giliran negara menjawab. Bukan melalui klarifikasi atau pembelaan, melainkan melalui keputusan yang cepat dan berpihak pada kemanusiaan.

Dalam bencana, waktu bukan sekadar hitungan hari. Ia menjadi batas tipis antara harapan dan kehilangan. Bendera putih, sekali lagi, bukan tanda menyerah warga, melainkan peringatan agar negara tidak menyerah pada kebiasaan lamanya sendiri.

Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE