Scroll Untuk Membaca

Opini

Beranikah Pemerintah Aceh Tetapkan 15 Agustus Libur Resmi Daerah?

Beranikah Pemerintah Aceh Tetapkan 15 Agustus Libur Resmi Daerah?
Kecil Besar
14px

Oleh Fahrul Razi

Dalam forum resmi di Kantor Komunikasi Kepresidenan (KKK), Jakarta, Wakil Gubernur Aceh, Fadhlullah atau yang akrab disapa Dek Fad, menyampaikan pernyataan yang menjadi sorotan publik: “Semua elemen Aceh hari ini sepakat, tidak ada lagi kata ‘merdeka Aceh’.” Sebuah pernyataan politis yang secara psikologis memberi ketenangan bagi Jakarta, tetapi sekaligus menantang Aceh untuk membuktikan bahwa kedewasaan politik pascakonflik tidak hanya berhenti pada ujaran, tetapi harus ditindaklanjuti dengan kebijakan simbolik yang bermakna.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Salah satu ujian moral dan politik terbesar bagi Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Mualem-Dek Fad hari ini adalah: beranikah mereka menetapkan 15 Agustus Hari Damai Aceh menjadikannya hari libur resmi daerah? Sebuah pertanyaan yang tak hanya berbicara soal legalitas administratif, melainkan juga tentang konsistensi terhadap semangat perdamaian yang sejak 2005 menjadi napas baru bagi Aceh.

Pentingnya Simbol dalam Politik Damai

Perdamaian akan melekat kuat dalam memori kolektif masyarakat Aceh jika dikemas dalam simbol. Pada 15 Agustus 2025 nanti, perdamaian Aceh akan genap berusia 20 tahun. Momentum Damai Helsinki, yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Finlandia, telah mengakhiri konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia. Namun sayangnya, peristiwa monumental ini belum memiliki status simbolik resmi dalam bentuk hari libur daerah ataupun peringatan tahunan berskala luas. Ironisnya, perjanjian damai sebesar itu justru lebih sering dibahas di forum akademik internasional ketimbang dirayakan secara lokal oleh rakyat Aceh sendiri.

Ketiadaan simbol ini membuka ruang kosong dalam kesadaran publik. Terutama bagi generasi muda Aceh yang lahir pasca-2005, mereka lebih mengenal istilah GAM atau DOM sebagai cerita kelam tanpa mendapat cukup ruang untuk memahami proses transformasi menuju perdamaian. Inilah mengapa simbolisasi menjadi penting—bukan untuk mengagungkan konflik, melainkan untuk merawat nilai-nilai yang lahir dari keberanian untuk berdamai.

Dek Fad, yang telah berani menyatakan secara terbuka bahwa “tidak ada lagi kata merdeka Aceh,” tentu telah menyadari bahwa Aceh hari ini berada dalam fase baru: bukan lagi wilayah yang penuh api perlawanan, melainkan provinsi yang diberi keistimewaan dan otonomi luas dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, agar narasi ini tidak berhenti di Jakarta atau sekadar menjadi headline media, maka perlu ditindaklanjuti di Banda Aceh dalam bentuk kebijakan yang konkret.

Menetapkan 15 Agustus sebagai Hari Damai Aceh adalah wujud kebijakan simbolik yang strategis. Hari libur ini bukan bentuk glorifikasi separatisme, melainkan pengakuan terhadap momen rekonsiliasi nasional yang berhasil. Provinsi lain di Indonesia juga memiliki hari libur daerah berbasis sejarah lokal. Ini tidak bertentangan dengan aturan yang berlaku.

Aceh merupakan satu-satunya provinsi yang memiliki kekhususan berdasarkan hukum nasional dan perjanjian damai, yakni melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh serta Nota Kesepahaman Helsinki 2005. Dalam Pasal 235 UU tersebut disebutkan bahwa Aceh memiliki wewenang untuk menyusun dan menetapkan kebijakan dalam semua bidang pemerintahan, kecuali hubungan luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, dan fiskal nasional. Lebih lanjut, UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, terutama Pasal 12 dan 14, menyebutkan bahwa urusan kebudayaan dan ketenagakerjaan merupakan urusan pemerintahan konkuren yang dapat dijalankan oleh daerah.

Konstitusi juga telah membuka ruang tersebut. Pasal 18B UUD 1945 mengakui dan menghormati satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Ini diperkuat oleh Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015 yang menegaskan bahwa ekspresi budaya lokal melalui kebijakan daerah merupakan bagian dari hak konstitusional warga negara. Dalam perspektif itu, penetapan hari libur daerah di Aceh bukan hanya sah secara hukum, tapi juga etis secara sosial.

Sebagai pembanding, Bali menjadikan Hari Raya Nyepi sebagai libur penuh yang diakui secara nasional. Seluruh aktivitas, termasuk bandara, ditutup, dan wisatawan pun menyesuaikan diri. Di Yogyakarta, 7 Maret diperingati sebagai hari penetapan Sultan Hamengkubuwono X sebagai Gubernur. Di Papua, tanggal 21 November dijadikan sebagai Hari Otonomi Khusus Tanah Papua. Semua itu adalah bentuk pengakuan negara atas eksistensi dan identitas lokal.

Akankah Sejarah Dibiarkan Berlalu?

Hari Damai merupakan simbol tanpa penolakan dan dapat menghapus kekhawatiran terhadap Aceh dari pihak luar yang masih terjebak pada trauma sejarah. Namun justru karena trauma itu nyata, maka dibutuhkan langkah-langkah penguatan rekonsiliasi yang bersifat kultural dan simbolik.

Damai bukan hanya perjanjian politik—damai adalah cara hidup, dan cara hidup itu membutuhkan hari khusus untuk direnungkan bersama.

Mualem, yang merupakan mantan Panglima GAM, dan Dek Fad sebagai mantan pasukan GAM, kini berada dalam posisi paling strategis untuk menjembatani sejarah dan masa depan. Mereka bisa menunjukkan bahwa perjuangan Aceh tidak lagi berada dalam senjata, melainkan dalam kebijakan yang berpihak pada rakyat. Dan kebijakan yang berpihak pada rakyat harus dimulai dari keberanian untuk merawat memori damai.

Sungguh tak dapat dibayangkan jika hari damai ini tidak segera diresmikan. Ada kekhawatiran bahwa perjanjian Helsinki hanya akan menjadi catatan kaki dalam sejarah politik Indonesia. Tanpa upaya merawatnya, damai akan kehilangan daya gugahnya. Kita butuh satu hari dalam setahun untuk berhenti sejenak dan mengingat bahwa kita pernah berdarah-darah, bahwa kita pernah berbeda pandang, dan bahwa kita telah memilih untuk hidup bersama.

Mungkin sebagian orang menganggap ini sekadar simbol. Tapi sejarah mencatat, simbol memiliki daya tahan lebih lama daripada teks perjanjian. Jika Mualem dan Dek Fad ingin dikenang bukan hanya sebagai pemimpin administratif, melainkan sebagai pemimpin berjiwa sejarah, maka penetapan Hari Damai Aceh adalah langkah nyata yang akan hidup jauh setelah jabatan mereka berakhir.

Konklusi

Setiap bangsa besar memberi ruang bagi rakyatnya untuk merayakan titik balik sejarah. Pemerintah Aceh dapat meresmikan hari libur daerah pada 15 Agustus tahun ini dalam momentum 20 tahun perdamaian Aceh. Langkah ini dapat dimulai dengan menyusun Qanun atau Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Hari Libur Daerah berdasarkan partisipasi publik dan kajian budaya yang mendalam.

Selanjutnya, penting untuk membentuk tim ahli dan melibatkan masyarakat adat guna menentukan hari-hari penting yang memiliki nilai historis dan kultural.

Pemerintah juga perlu berkoordinasi dengan pemerintah pusat agar hari libur daerah ini tercatat dan selaras dengan sistem kerja nasional, terutama bagi ASN. Di samping itu, klasifikasi libur juga harus diatur, seperti libur penuh untuk tanggal 15 Agustus, serta libur fakultatif untuk perayaan budaya lokal seperti hari maulid gampong, sehingga pelaksanaannya fleksibel dan tidak mengganggu pelayanan publik esensial.

Momentum 15 Agustus 2005 adalah titik balik Aceh. Sudah waktunya rakyat Aceh merayakannya secara resmi. Pernyataan “tidak ada lagi kata merdeka” harus dibarengi dengan “ada peringatan damai yang abadi.” Pertanyaannya tinggal satu: beranikah Mualem dan Dek Fad menjawab sejarah dengan tindakan?

Penulis adalah Mahasiswa Magister Hukum Universitas Malikussaleh

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE