Scroll Untuk Membaca

Opini

Bila Gubernur Gagal Paham

Bila Gubernur Gagal Paham
Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Muhammad Bobby Afif Nasution bersama Bupati Tapanuli Tengah Masinton Pasaribu bertemu dengan Gubernur Aceh Muzakir Manaf di Pendopo Rumah Dinas Gubernur Aceh, Jalan Sultan Mahmudsyah, Kota Banda Aceh, Rabu (4/6/2025).(Dok Pemprov Sumut )
Kecil Besar
14px

Oleh Hamid Awaludin

PAGI itu, 15 Agustus 2005, sekitar pukul 10 pagi, di sebuah bangunan yang terletak di jantung kota Helsinki, Filandia. Dunia memandang apa gerangan yang terjadi dalam bangunan itu.

Di situlah perjanjian Helsinki ditandatangani, antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Setelah hampir 30 tahun konflik berdarah, pagi itu, segala silang paham di masa silam, dihentikan. Salak senjata antara TNI dengan pasukan GAM, dibungkam.

Saya sebagai ketua tim perunding pemerintah yang menandatangani perjanjian damai itu, dalam sambutan mengatakan: “Mulai hari ini, garis pemisah antara “mereka” dan “kami”, harus dihapuskan. Kita hanya punya satu garis, yakni “kita”. Mari kita merenda segala perbedaan masa lalu, menjadi sebuah sulaman indah.”

“Perdamaian yang kita capai hari ini, bukan hanya berarti dihentikannya kekerasan, tetapi kita hidup bersama, saling mendukung, menghargai dan mengerti. Mari kita wujudkan mimpi-mimpi kita. Mimpi untuk berlayar dalam perahu yang sama, bermukim di atas tanah yang sama.”

Saya menutup pidato dengan mengutip peribahasa Aceh: “Pat ujen han pirang, pat prang tan reda (manalah ada hujan tanpa henti, manalah ada perang tanpa akhir.”

Memori tentang peristiwa dua dekade silam itu, sontak berjejal-jejal dalam benak saya. Ini dipicu oleh kebijakan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution yang memberhentikan kendaraan berplat Aceh ketika melintas di wilayah Sumatera Utara. Tujuannya hanya tunggal, memaksimalkan pendapatan asli daerah (PAD).

Ini sebuah pesan, kini, dalam berhubungan dengan Aceh, Bobby Nasution masih menganut paham “kami” dan “mereka”, yang sudah kita kubur lewat perjanjian Helsinki.

Sebuah keteledoran yang tak termaafkan buat negeri yang menganut paham “Persatuan Indonesia”, sebagai pilar ketiga dasar bernegara dan berbangsa kita.

Kebijakan Bobby Nasution terkesan sekali memelihara sekam konflik, yang sewaktu-waktu masih bisa menyala dan menjalar ke mana-mana.

Gubernur yang satu ini seolah mengundang penafsiran bahwa dirinya belum siap merenda perbedaan masa silam, dengan sulaman indah yang bernama persatuan Indonesia.

Gagal paham

Dengan gampang kita menilai, Gubernur Bobby Nasution gagal paham mengenai posisinya dan aturan main yang berlaku di negeri ini.

Undang-Undang No 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan jelas mengatakan bahwa kewenangan penindakan pelanggaran lalu lintas ada pada polisi lalu lintas, bukan pada gubernur.

Plat nomor kendaraan, selama pemiliknya membayar segala kewajibannya, maka kendaraan tersebut boleh beredar dan berada di mana pun dalam yurisdiksi negara kesatuan Republik Indonesia.

Kendaraan bergerak dinamis ke mana saja. Rodanya berputar, mengikuti misi yang diberikan oleh pemilik atau sopirnya, termasuk kendaraan orang Aceh, yang keluar masuk ke wilayah Sumatera Utara.

Perspektif yuridis lainnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah jelas mengatakan, pajak kendaraan bermotor (PKB) dikenakan sesuai dengan tempat tinggal (domisili) pemiliknya.

Ukuran domisi adalah kartu tanda penduduk (KTP). Bila pemiliknya berdomisili di Aceh, maka sang pemilik wajib membayar PKB di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, bukan di Provinsi Sumatera Utara.

Maka, Gubernur Sumatera Utara tidak boleh memaksa kendaraan yang berplat Aceh membayar pajak di wilayahnya.

Pemaksaan kehendak adalah kesewenang-wenangan dan itu pelanggaran hukum.

Maksimalisasi pendapatan asli daerah sama sekali tidak identik dengan membangun dikotomi antara daerah otonom satu dengan daerah otonom lainnya.

Dalam konteks ini semua, ada baiknya kita semua mengingat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah.

Di situ dikatakan, gubernur tidak boleh mengambil kebijakan yang melampaui kewenangannya atau berpotensi mengganggu hubungan harmonis antardaerah.

Penghentian kendaraan berplat Aceh di Sumatera Utara, jelas akan mengganggu hubungan harmonis. Jelas menyinggung perasaan orang-orang Aceh. Jelas bisa menimbulkan rasa fanatisme daerah yang menggerogoti rasa kesatuan dan persatuan bangsa.

Apa ini yang dikehendaki? Sangat mahal harga untuk menjaga agar kapal kebersamaan bangsa tidak oleng.

Luka rasa orang-orang Aceh belumlah sembuh betul akibat ambisi Gubernur Bobby Nasution memiliki empat pulau yang menjadi milik Aceh sejak berabad-abad silam.

Ketika itu, Gubernur Bobby Nasution sangat pro-aktif atas klaim kepemilikan empat pulau itu. Ia malah datang khusus ke Banda Aceh menemui Gubernur Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Muzakkir Manaf. Kejadian tersebut barulah beberapa bulan lalu.

Untung, Presiden Prabowo Subianto, turun tangan. Pengalihan empat pulau tersebut batal dieksekusi.

Terlepas dari perspektif normatif di atas, tegakah kita membiarkan akal waras kita dipecundangi oleh nafsu keserakahan demi pendapatan asli daerah?

Masih tegakah kita melihat saudara-saudari kita di Aceh meradang, sakit hati, dan luka rasa?

Luka yang dalam itu membuat orang bakal kebal dari rasa sakit. Di situlah pangkal ikhwal mengapa orang mengayun kapak amuk.

Kalau kita mau jujur, tanpa truk, bus dan kendaraan orang-orang Aceh yang malang melintang di Sumatera Utara, ekonomi provinsi tersebut bisa terganggu.

Truk orang-orang Aceh mengangkut hasil bumi dari Aceh untuk dinikmati dan diperdagangkan di Sumatera Utara.

Sebaliknya, barang-barang dagangan milik orang-orang Sumatera Utara, diangkut oleh truk-truk orang Aceh ke Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Di sini berlaku prinsip mutual benefits.

Maka kita pun boleh bertanya: “Apa yang kamu cari, Pak Gubernur?”

Lantas apa yang harus dilakukan? Menteri Dalam Negeri RI Tito Karnavian, sesuai kewenangannya, dapat menegur, malah bisa memberi sanksi kepada seorang gubernur yang bertindak di luar kewenangannya.

Gubernur memang adalah kepala daerah otonom provinsi, tetapi ia juga sekaligus sebagai gubernur wakil pemerintah pusat. Ada baiknya, pemerintah pusat sensitif soal ini.

Christina Panjaitan, penyanyi kondang di era 1980-1990-an, bersenandung penuh peringatan:

“Sudah kubilang.”

Sudah kubilang
Jangan kau petik mawar yang penuh berduri
Sudah kubilang
Jangan engkau dekati api yang membara
Jangan kau tertusuk nanti
Jangan kau terbakar nanti
Jangan kau bawa dirimu dalam mimpi.

Penulis adalah Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia.

Sumber Kompas.com

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE