Oleh Yanhar Jamaluddin1), & Syafrial Pasha2)
ARTIKEL ini menyoroti manajemen dan tata kelola birokrasi yang selalu dipengaruhi nilai budaya. Birokrasi yang kerap dianggap kaku sesungguhnya digerakkan oleh etos kerja dan kearifan lokal yang membentuk cara aparat bertindak. Nilai budaya—seperti gotong royong, musyawarah, atau kolektivitas—menjadi landasan moral dan sosial dalam pelaksanaan kebijakan.
Etos kerja lahir dari tanggung jawab, keikhlasan, dan kepentingan publik, sementara kearifan lokal memberi arah agar kebijakan sesuai kebutuhan masyarakat.
Artikel ini menegaskan bahwa birokrasi bukan ruang netral, melainkan arena interaksi budaya dan aturan formal. Tanpa dimensi budaya, kebijakan berisiko hanya menjadi dokumen teknis; sebaliknya, jika selaras dengan budaya, kebijakan dapat lebih efektif dan berkelanjutan.
Birokrasi Modern, Budaya Lokal
Birokrasi di Indonesia kerap dipersepsikan kaku, jauh dari rakyat, dan terjebak dalam aturan serta prosedur yang berbelit. Gambaran ini tidak sepenuhnya salah, karena banyak warga memang berhadapan dengan pelayanan publik yang rumit, berlapis, bahkan kadang tidak manusiawi. Namun, dibalik citra kaku itu, ada kenyataan lain di tingkat desa: kebijakan publik tidak pernah bisa berjalan hanya dengan modal regulasi. Ia membutuhkan energi sosial yang lahir dari budaya.
Pertanyaan penting kemudian muncul: apakah mungkin membangun birokrasi yang modern, transparan, dan profesional, namun tetap berakar pada budaya lokal ? Jawabannya bukan saja mungkin, tetapi justru mendesak.
Administrasi Publik Berbasis Budaya: Sebuah Definisi
Administrasi publik berbasis budaya bukan jargon kosong. Ia berarti proses pengelolaan kebijakan dan birokrasi yang memberi ruang bagi nilai, simbol, dan praktik lokal untuk hidup berdampingan dengan regulasi formal. Dengan cara ini, kebijakan tidak sekadar hadir sebagai perintah dari atas, tetapi menjadi bagian dari denyut kehidupan masyarakat.
Artinya, musyawarah desa, gotong royong, kenduri, atau pengajian akbar bukan hanya aktivitas sosial, melainkan juga sumber legitimasi. Tanpa legitimasi budaya, kebijakan mudah berhenti sebagai dokumen di atas kertas. Sebaliknya, ketika birokrasi berjumpa dengan budaya, kebijakan mendapat nyawa.
Kisah dari Desa
Mari kita lihat contoh sederhana di Desa Kelambir, Deli Serdang. Jalan desa di sana memang dibangun dengan dana resmi pemerintah. Namun jalan itu tidak akan terwujud tanpa partisipasi warga yang menyumbang tenaga, bahan bangunan, bahkan dana tambahan. Apa yang mendorong partisipasi ini ? Bukan sekadar instruksi negara, melainkan seruan tokoh lokal yang dipercaya masyarakat.
Contoh lain datang dari Pantai Labu. Para nelayan di sana memiliki aturan adat tidak tertulis tentang musim tangkap ikan dan larangan menggarap wilayah tertentu. Aturan ini diwariskan turun-temurun, dan berfungsi menjaga keseimbangan ekosistem laut sekaligus melindungi mata pencaharian warga. Pola ini mirip dengan tradisi lubuk larangan di Sumatera Barat, ketika sungai hanya boleh dimanfaatkan pada waktu tertentu.
Dua contoh ini menunjukkan bahwa kebijakan publik hanya menemukan makna sejati jika dihidupkan masyarakat sendiri. Negara memang memberi arah, tapi ruh pelaksanaan ada pada budaya dan solidaritas lokal.
Banyak ilmuwan mendukung gagasan ini. Clifford Geertz menyebut budaya sebagai sistem makna yang diwariskan, dan mengajak kita membaca praktik sehari-hari lewat apa yang ia sebut thick description.
Bagi Geertz, musyawarah desa bukan sekadar rapat teknis, tapi ruang simbolik untuk menjaga harmoni. Michael Lipsky menambahkan lewat konsep street-level bureaucracy; Para pelaksana kebijakan di level bawah bukan sekadar penyampai instruksi, melainkan penafsir.
Mereka menyesuaikan aturan dengan keterbatasan sumber daya dan nilai lokal. James Scott mengingatkan dalam Seeing Like a State bahwa negara sering gagal karena mengabaikan praktik lokal. Proyek besar yang hanya mengandalkan peta dan data teknokratis bisa tumbang karena menutup mata terhadap realitas masyarakat.
Sementara itu, Rhodes memperkenalkan konsep governance, yaitu pengelolaan publik yang tidak lagi hanya top-down, melainkan jaringan yang melibatkan negara, masyarakat, dan tradisi lokal.
Dengan bahasa sederhana: negara mungkin punya aturan, tapi masyarakat punya cara. Tanpa mempertemukan keduanya, kebijakan akan berjalan pincang.
Tokoh Lokal
Dalam banyak desa, keberhasilan program lebih ditentukan oleh restu tokoh lokal ketimbang instruksi pejabat. Kepala dusun, imam masjid, tokoh adat, atau kepala kampung memegang otoritas moral yang menjadi jembatan antara negara dan rakyat.
Ketika tokoh lokal memberi restu, masyarakat akan bergerak dengan semangat gotong royong. Namun jika tokoh lokal ragu, kebijakan akan dianggap asing, bahkan bisa dipandang sebagai beban.
Inilah yang sering luput dari perhatian birokrasi modern: legitimasi tidak hanya datang dari dokumen, tanda tangan, atau segel resmi. Ia lahir dari rasa percaya masyarakat, dan rasa percaya itu banyak ditopang oleh tokoh lokal.
Dengan kata lain, budaya menyediakan infrastruktur sosial yang lebih kokoh daripada sekadar baliho sosialisasi, atau budaya menjadi sumber kekuatan bukan jebakan.
Birokrasi modern menuntut profesionalisme: transparansi, akuntabilitas, standar kinerja, dan efisiensi. Tanpa itu, negara kehilangan kredibilitas. Namun profesionalisme tidak berarti menanggalkan akar budaya.
Sebaliknya, birokrasi yang profesional sekaligus berakar pada budaya justru lebih kuat. Profesionalisme memberi arah dan ukuran, budaya memberi legitimasi dan jiwa. Tanpa budaya, birokrasi kehilangan roh kemanusiaannya. Tanpa profesionalisme, birokrasi kehilangan arah dan kepercayaan publik. Kombinasi keduanya adalah jalan tengah yang harus ditempuh.
Penutup
Indonesia adalah bangsa yang majemuk: ratusan etnis, bahasa, agama, dan tradisi hidup berdampingan. Tidak mungkin membangun birokrasi yang steril dari budaya. Sebaliknya, birokrasi yang menutup diri dari budaya hanya akan melahirkan jarak dan kecurigaan.
Pengalaman desa-desa di Deli Serdang menunjukkan bahwa aparatur yang hadir di ruang budaya—ikut kenduri, duduk di musyawarah, atau terlibat dalam pengajian—lebih dipercaya ketimbang aparatur yang hanya hadir lewat surat edaran.
Clifford Geertz pernah berpesan: memahami simbol dan praktik hidup masyarakat lebih penting daripada sekadar angka dan prosedur. Pesan ini relevan bagi Indonesia hari ini.
Kini pilihannya jelas: apakah kita ingin mempertahankan birokrasi yang kaku dan jauh dari rakyat, atau membangun birokrasi modern yang berpijak pada budaya lokal? Jika kita memilih yang kedua, maka administrasi publik Indonesia tidak lagi hanya mesin prosedural, melainkan ruang yang menumbuhkan kepercayaan, solidaritas, dan harapan bersama.
Dan pada akhirnya, birokrasi yang berbudaya bukan hanya soal tata kelola, tetapi soal martabat: bagaimana negara hadir sebagai bagian dari masyarakat, bukan sebagai penguasa yang berdiri di luar mereka. (1) Ketua Pusat Kajian MAP-UMA dan Sekjen PB. Ikatan Sarjana Melayu Indonesia, 2) Etnografer Sumatera Utara)