Oleh: Farid Wajdi
Di republik ini, kebenaran sering datang dari tempat yang tidak diduga, bukan dari ruang sidang, bukan dari kantor kementerian, melainkan dari selebritas yang kebetulan sedang muak.
Scroll Untuk Lanjut MembacaIKLAN
Cinta Laura menjadi suara lantang ketika sebagian warga Sumatera sedang mengepel lantai rumah yang sudah tak lagi berbentuk rumah.
Dari tengah kericuhan itu, muncul suara yang tidak berasal dari ruang seminar atau panggung politik, melainkan dari seorang aktris yang sejak awal dikenal berlidah jernih: Cinta Laura Kiehl.
Cinta mengirim pesan sederhana, tetapi punya daya guncang: “Kalau sawit dianggap karunia, kenapa yang menikmati hanya segelintir?” Kritik itu melesat seperti batu kecil mengenai kaca besar yang selama ini dianggap kokoh.
Di balik komentar yang tampak emosional, ada ironi struktural yang jauh lebih besar. “Karunia” adalah kata yang selama puluhan tahun dipakai untuk meredam kritik, menghaluskan konflik agraria, mengaburkan jejak pembabatan hutan. Kata itu bekerja seperti semacam parfum retoris: menutupi bau aslinya.
Namun, banjir Sumatera kembali memperlihatkan apa yang disembunyikan parfum itu. Lahan gambut yang diperas, hutan yang dirontokkan, dan DAS yang dilucuti vegetasinya bersatu menjadi malapetaka.
Peneliti ekologi lanskap Elora Dharmasari (2023) mengingatkan pola yang sama: “Siklus bencananya identik: deforestasi, fragmentasi habitat, lalu limpasan besar. Hanya lokasinya yang berpindah.”
Jika kritik Cinta hanya dianggap ocehan pesohor, barangkali negara ini memang telah kehilangan kemampuan paling elementer: mendengar. Karena substansi kritiknya sejalan dengan temuan para ahli yang jauh sebelum ia berbicara sudah berteriak tanpa didengar.
Guru Besar Kebijakan Lingkungan, Bambang Hero Saharjo (2022), menyebut ekspansi sawit yang menggerus hutan gambut sebagai “sumbu panjang bencana ekologis.” Dalam bahasa akademik yang rapi, Bambang menyatakan hal yang sebenarnya persis seperti kegusaran Cinta, karunia siapa yang sedang dijaga?
Memikul Ongkos Ekologis
Di sisi fiskal, gambarnya makin getir. Laporan analisis ekonomi komoditas minyak sawit global oleh ekonom komoditas, Célion Maraux (2022), menunjukkan anomali klasik negara berkembang: penerimaan pajak minyak sawit tertinggal jauh dibanding skala ekspor dan margin industri.
Ekonom lingkungan, Marleen van der Kamp (2023), menambahkan “kebocoran nilai” dalam industri sawit membuat negara memikul ongkos ekologis lebih besar ketimbang manfaat fiskal yang diterima pemerintah daerah. Dengan kata lain, kerusakan hutan dihitung penuh, tetapi penerimaan negara hanya setengah.
Adapun biaya sosial bencana tak pernah masuk laporan laba-rugi korporasi. Padahal, di hilir persoalan, orang-orang yang kehilangan rumah, ladang, dan masa depan tidak pernah menjadi variabel yang dihitung serius.
Florence Miller, Direktur Jaringan Filantropi Inggris (2021), pernah mengatakan tragedi ekologis selalu menyisakan satu pertanyaan moral: siapa yang menanggung “biaya sebenarnya” dari perkembangan ekonomi? Pertanyaan itu kini menggantung di atas rumah-rumah tergenang air di Sumatera.
Di tengah semua itu, komentar seorang selebritas dianggap mengusik ketentraman sebagian pejabat. Bukan karena keliru, tetapi justru karena terlalu tepat.
Kritik Cinta seperti menyalakan lampu sorot ke panggung yang ingin tetap gelap. Mereka yang terganggu justru terlihat seperti penjaga narasi lama yang sudah tidak laku dijual. Pejabat yang buru-buru tampil di lokasi bencana sambil tersenyum di depan kamera justru menambah absurditas situasi.
Antropolog media, Suzie Vaughan (2020), menyebut fenomena itu “performative humanitarianism”, yaitu empati yang dibuat untuk dipertontonkan, bukan dijalankan.
Kritik Sawit, Kritik Negara
Jika selama ini wacana sawit selalu dipersonalisasi ke isu nasionalisme, -seolah mengkritik sawit berarti mengkritik negara, kritik Cinta justru meruntuhkan logika itu.
Cinta menggeser pembicaraan dari sektor ke struktur: siapa yang menikmati, siapa yang menanggung, siapa yang mengambil, siapa yang kehilangan.
Dalam dunia politik, pergeseran seperti ini biasanya dianggap membahayakan. Karena ia memaksa transparansi, memaksa perhitungan, memaksa pembenahan.
Yang lebih menarik: kritik itu muncul ketika bencana belum sempat reda. Justru di saat itulah opini publik biasanya tunduk pada narasi resmi negara.
Tetapi Cinta membalik arus itu. Suara publik, terutama generasi muda, mendadak penuh energi politik baru. Mereka membaca ulang pemberitaan, menonton ulang video banjir, memeriksa ulang siapa yang berbicara, siapa yang diam, siapa yang tersinggung.
Politik ekologis Indonesia selama ini seperti peta yang digambar dengan pensil tumpul. Garis besarnya terlihat, detailnya kabur. Industri sawit menopang devisa, tetapi menumpuk risiko ekologis.
Pemerintah ingin investasi, tetapi kewalahan mengawasi. Korporasi ingin efisiensi, tetapi menumpahkan beban lingkungan ke desa-desa paling rentan. Di antara semua itu, suara warga nyaris tak terdengar.
Dalam keadaan seperti ini, kritik seorang selebritas justru menjadi jembatan: menghubungkan tumpukan data ilmiah dengan nalar publik.
Di sinilah letak signifikansi kultural kritik Cinta. Ia memaksa publik memahami sawit bukan sebagai mitos nasional, tetapi sebagai struktur ekonomi-politik yang punya untung rugi konkrit.
Publik bisa menyebut kritik itu emosional, tetapi sulit menyangkal substansinya. Data deforestasi dari berbagai penelitian berdiri searah dengan kegelisahan yang ia ucapkan. Risiko banjir meningkat sejalan dengan kenaikan konversi hutan.
Penerimaan negara tidak sebanding dengan kerusakan ekologis. Warga yang kehilangan rumah bukan bagian dari rumus keuntungan industri.
Cinta Laura mungkin tidak bermaksud menjadi pengganggu narasi besar. Tetapi sejarah sering bergerak oleh suara-suara yang tidak direncanakan.
Mungkin suatu hari nanti, ketika politik lingkungan Indonesia benar-benar berani menatap kenyataan, catatan-catatan kecil seperti ini akan dianggap sebagai batu pertama yang mengguncang dinding besar narasi karunia.
Karunia, pada akhirnya, diuji oleh pertanyaan paling sederhana: siapa yang merasakan berkat, siapa yang menanggung laknat? Dalam gelombang banjir Sumatera, jawabannya terlihat sangat jelas. Cinta Laura hanya mengucapkannya lebih cepat dari pejabat mana pun!
Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU











