Oleh Muhammad Joni
Julukan “cowboy style” yang disematkan The Straits Times kepada Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa, sontak jadi sorotan. Reuters menulis soal pergantian Menkeu yang “menggantikan sosok dihormati dengan ekonom berjanji pertumbuhan cepat.” CNA menyoroti reshuffle pasca-protes. SCMP skeptis: bisakah reshuffle memulihkan kepercayaan publik?
Menkeu Purbaya memang tampil tak biasa. Dengan gaya lugas, bahkan kadang kasar, dia bicara soal target pertumbuhan 6–7%, percepatan belanja negara. Dan, langkah besar: mengalihkan Rp200 triliun dari Bank Indonesia ke bank komersial plat merah plus. Sebuah strategi reflasi yang terdengar progresif, tapi sekaligus menimbulkan keresahan pasar.
Apakah benar gaya koboi ini berbahaya? Atau justru segar di tengah rutinitas teknokrat?
Hukum Sosial ala Donald Black
Sosiolog hukum Donald Black menyebut hukum sebagai mekanisme kontrol sosial. Hukum hadir lebih keras kepada yang lemah, dan sering lunak terhadap yang kuat. Kata-kata pejabat bisa menjadi “hukum informal” yang mengatur perilaku massa.
Dengan kacamata Donald Black, ucapan Menkeu Purbaya yang gaya koboi itu memang hukum dalam dirinya sendiri. Satu kalimat di layar televisi bisa memicu aksi jual, miliaran rupiah melayang, dan negara terguncang. Pasar tunduk, bukan pada pasal undang-undang, melainkan pada nada suara seorang pejabat.
Kontra-Black: Pasar Bukan Desa
Namun di sinilah letak kelemahan Donald Black. Pasar global bukan desa kecil yang diatur konsensus sosial. Pasar global ialah rimba algoritma, hedge fund, dan spekulan. Komentar pejabat hanyalah percikan api, sementara bara sebenarnya adalah kerangka regulasi: stabilitas fiskal, instrumen moneter, kredibilitas kelembagaan.
Menyalahkan “gaya koboi” Menkeu Purbaya semata adalah simplifikasi. Masalahnya lebih dalam: apakah kita punya arsitektur hukum dan kelembagaan yang cukup tangguh menghadapi volatilitas pasar?
Koboi atau Arsitek?
Seperti dalam plot novel hukum mazhab John Grisham, tokoh utama selalu berada di persimpangan: pahlawan atau terdakwa. Menkeu Purbaya pun demikian. Sosoknya bisa dikenang sebagai koboi berani yang menantang pasar global demi rakyat. Tapi bisa juga berisiko dicatat sebagai pejabat gegabah yang menembakkan peluru kata-kata, membuat ekonomi berdarah sendiri.
Indonesia tentu butuh keberanian. Tapi lebih dari itu, Indonesia butuh arsitektur. Butuh Menkeu yang bukan hanya koboi di Senayan pun di serbuan media, melainkan arsitek di meja kebijakan politik-ekonomi-postur APBN.
Pada akhirnya, pasar mungkin akan selalu menilai dengan sinis. Media asing mungkin akan terus memberi label. Tapi sejarah punya cara sendiri. Pertanyaannya tinggal satu: apakah Indonesia ingin dikenang dipimpin koboi yang penuh gaya, atau arsitek yang membangun dengan tenang.
Penulis adalah Sekjen PP IKA USU, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia/ MKI