Oleh : Yos Arnold Tarigan, SH,MH
Ketika sekat antara Indonesia dan negara luar semakin dekat dan bahkan hampir tak ada sekat akibat dari kemajuan teknologi, membuat kita sangat mudah untuk mendapatkan informasi tentang dunia luar. Tak perlu harus pergi ke warnet atau ke wartel seperti di masa lalu hanya untuk berkomunikasi dengan teman atau kerabat di luar negeri. Komunikasi sudah ada di dalam genggaman, tinggal isi paket data atau pulsa dan tekan nomor tujuan, kita akan terhubung dengan teman atau kerabat dimana pun berada.
Scroll Untuk Lanjut MembacaIKLAN
Dengan kemajuan teknologi di era globalisasi seperti sekarang ini, kita bisa saling berinteraksi tanpa dipisahkan jarak dan waktu lagi. Kita bisa video call dan saling bertatap muka sekadar melepas rasa rindu dan tak perlu harus bertemu langsung dengan biaya yang sangat mahal.
Dampak era globalisasi dan kemajuan teknologi juga membuat semua orang saat ini sangat mudah mengakses informasi apa saja. Era globalisasi sangat rentan dengan masuknya nilai-nilai, norma, bahkan ideologi baru yang secara mudah masuk ke dalam masyarakat ataupun komunitas-komunitas adat, masuknya hal tersebut melalui media massa seperti acara televisi, internet yang sekarang ini sudah ada di seluruh pelosok negeri tanpa kecuali.
Era globalisasi yang kita hadapi saat ini tanpa kita sadari telah berkontribusi dalam mengikis kekerabatan, menggeser keberadaan hukum adat dan membuat manusia sekarang cenderung berperilaku individual dan menganggap keberadaan orang lain di sekitarnya sebagai ‘pengganggu’ eksistensinya.
Salah satu konsekuensi yang paling signifikan adalah pergeseran nilai dan norma masyarakat yang disebabkan oleh pengaruh budaya dari negara lain dan jalur komunikasi global. Nilai-nilai yang datang dari luar sering bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam hukum adat, mengancam integritas dan pemahaman masyarakat terhadap hukum adat.
Berdasarkan pengamatan di beberapa daerah di Sumatera Utara, warga masyarakat termasuk hukum adat yang diterapkan di daerahnya telah terpengaruh oleh budaya populer dan modern yang semakin berkembang dari luar negeri. Namun demikian, dari hasil perbincangan dengan beberapa kelompok masyarakat menyimpulkan bahwa meskipun terpengaruh oleh globalisasi, masyarakat adat di beberapa daerah di Sumatera Utara misalnya, masih mempertahankan keaslian adat istiadat dan menjalankan nilai-nilai adat dari leluhur.
Berdasarkan analisa kepustakaan, masyarakat Indonesia menyikapi keberadaan hukum adat dari praksis pelaksanaan dan penegakan hukum secara keseluruhan, dengan pandangan yang berbeda-beda.
Pertama, hukum adat harus tetap dipertahankan karena memiliki persyaratan untuk menjadi hukum nasional yaitu bersifat dinamis serta berasal dari hasil penggalian mendalam secara berabad-abad. Sikap ini ditampilkan, terutama oleh kaum budayawan, para pemangku adat serta pemerhati hukum adat.
Kedua, hukum adat tidak bisa dijadikan hukum utama Indonesia bahkan secara ekstrem ada yang berpandangan hukum adat tidak bisa dijadikan dasar hukum negara dan oleh karenanya harus ditolak keberadaannya, karena sifat tidak tertulis dijadikan rujukan serta pedoman dalam menggali sumber hukum.
Hukum tertulis menjadi pilihan utama karena jelas sumbernya, walaupun untuk mengubahnya butuh waktu, tenaga serta biaya yang tidak sedikit. Sikap ini pada umumnya diungkapkan oleh kaum praktisi hukum yang terpengaruh paham kontinentalisme, yang mengagungkan paham hukum tertulis.
Ketiga, hukum adat bisa dijadikan rujukan secara selektif berdampingan dengan hukum tertulis lainnya, karena keduanya nyata hidup di Indonesia. Dalam sistem hukum Indonesia dikenal hukum secara luas dapat dikelompokkan dalam dua bagian yaitu hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.
Hukum adat kemudian termasuk ke dalam bagian kedua yaitu hukum yang tidak tertulis. Hukum adat disebut hukum tidak tertulis dalam arti tidak diundangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, hukum adat tumbuh dan berkembang serta berakar pada kebudayaan tradisional sebagai perasaan hukum rakyat yang nyata.
Pengakuan hukum adat dan masyarakat hukum adat dalam sistem hukum Indonesia diakomodir bahkan di dalam konstitusi yaitu Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dengan undang-undang.
Globalisasi dan dampaknya terhadap hukum adat, khususnya di Sumatera Utara tidak secara drastis mengubah perilaku dan adat istiadat yang ada. Beberapa daerah di Sumatera Utara masih menjunjung tinggi hukum adat sebagai norma dan etika yang bisa menertibkan kehidupan sosial masyarakat.
Saling Lapor
Pada adat dan budaya suku Karo misalnya, sudah terkena dampak globalisasi, antara lain pengaruh budaya populer dengan maraknya ‘keyboard’ yang merasuki musik tradisional Karo. Yang mana alat-alat musik tradisional Karo antara yang satu dengan yang lainnya mempunyai makna dan arti khusus dan bukan hanya sekadar suara musik. Keberadaan alat musik Karo ini tergantikan dengan masuknya alat musik digital keyboard.
Demikian juga dalam tarian yang mempunyai makna dan arti di setiap gerakan menjadi berubah karena pengaruh budaya populer dengan gerakan-gerakan bebas tanpa makna seperti tarian Karo yang sesungguhnya. Dalam hal pelestarian bahasa Karo boleh ditarik sebuah kesimpulan masih tetap dilestarikan, hanya saja kekerabatan yang ada saat ini harus tetap dipertahankan agar seorang anak bisa mengenal siapa pamannya, siapa saudara dari ibu dan bapaknya.
Dampak globalisasi yang mulai menggerus budaya dan hukum adat adalah adanya anggapan bahwa menikah satu marga itu hal yang biasa, yang penting tidak satu ayah dan satu ibu. Sudah banyak contoh di Sumatera Utara terjadi pernikahan satu marga, walaupun ada larangan tidak tertulis bahwa menikah satu marga itu sama dengan menikah dengan saudara kandungnya sendiri. Pendapat ini terbantahkan dengan berbagai dalil dan anggapan bahwa yang terpenting adalah tidak satu ayah dan tidak satu ibu.
Ketika kita menarik permasalahan ini ke dalam falsafah suku Batak Toba yang mengatakan somba mar hula-hula, elek marboru dan manat mardongan tubu (hormat kepada Paman/saudara ibu, sayang kepada saudara perempuan dan hati-hati dengan saudara kandung lak-laki) menjadi terbantahkan. Contohnya sudah banyak kita temui di lapangan, bagaimana mungkin seorang marga A bisa mengatakan ‘somba marhula-hula’ hormat kepada Pamannya padahal yang menjadi pamannya adalah saudara kandungnya sendiri yang satu marga. Ini adalah salah satu dampak dari era globalisasi terhadap eksistensi hukum adat di Sumatera Utara.
Dampak lainnya adalah semakin mudah bagi seseorang untuk melaporkan sebuah kejadian ke aparat penegak hukum, padahal hanya masalah kecil dan sebenarnya bisa diselesaikan dengan hukum adat atau tokoh adat dan tokoh masyarakat. Semakin banyak orang saat ini lebih menunjukkan ego-nya dan kehebatannya tanpa pernah memikirkan dampak dari sikap serta perilakunya tersebut di kemudian hari.
Peran Pemerintah
Untuk melestarikan adat istiadat dan hukum adat yang ada di satu daerah, perlu campur tangan pemerintah untuk membuat regulasi agar adat istiadat dan hukum adat yang berlaku di daerah tersebut bisa lestari dan diwariskan turun temurun demi untuk menciptakan kehidupan sosial yang lebih dinamis dan saling menghargai satu sama lain.
Ada banyak upaya dan cara yang bisa dilakukan pemerintah dalam melestarikan adat istiadat dan hukum adat yang ada di satu daerah. Bisa lewat seminar, atau lebih menguatkan fungsi keluarga dalam mewariskan adat istiadat serta hukum adat tersebut kepada anak-anak atau keturunannya.
Kemudian, untuk menjaga hukum adat agar tetap bertahan maka haruslah ada political will atau dukungan dari pemerintah. Dukungan pemerintah dalam melestarikan budaya dan hukum adat bisa dilakukan dengan diterbitkannya peraturan daerah. Contohnya, membuat aturan di daerah Karo misalnya setiap hari Senin ditetapkan sebagai hari Budaya Karo, dimana seluruh ASN memakai pakaian adat Karo dan wajib berbahasa Karo dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Selain dukungan pemerintah, perlu juga dilakukan kodifikasi hukum adat (mengumpulkan dan menyusunnya secara tertulis) agar diketahui masyarakat secara lebih luas. Dengan upaya ini hukum adat akan tetap hidup, lestari dan bermanfaat sepanjang masa.
Karena, peranan hukum adat dalam sistem hukum nasional yang akan datang ternyata masih penting. Hukum adat yang bersumber kepada kebudayaan tradisional serta kesadaran hukum rakyat ternyata merupakan unsur yang esensial dalam pembangunan hukum nasional.
Agar hukum adat itu tetap mengikuti zaman, maka harus disesuaikan atau menyesuaikan diri dengan keadaan. Oleh karena hukum adat erat kaitannya dengan nilai-nilai religius, relatif tidak mudah disatukan secara nasional, maka pembinaan dan perumusannya dalam hukum positif dilakukan melalui yurisprudensi. Globalisasi dan dampaknya terhadap keberlangsungan hukum adat pasti ada, persoalannya sekarang adalah apakah kita mau dan peduli dengan keberlangsungannya. Semoga!
Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara