Oleh Hasrul Harahap
Bangsa ini harus berani keluar dari jebakan politik jangka pendek menuju pembangunan berkelanjutan yang berpihak pada generasi mendat
Agustus 2025 menandai usia Republik Indonesia yang ke-80 sebuah perjalanan panjang yang diawali dari tekad para pendiri bangsa untuk merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Delapan dekade bukanlah waktu yang singkat. Ia adalah rentang sejarah yang diwarnai darah para pejuang, keringat para petani, tetesan air mata para ibu, dan harapan tak berkesudahan dari jutaan rakyat yang ingin hidup merdeka. Jika pada 17 Agustus 1945 kita memproklamasikan kemerdekaan, maka pada usia ke-80 ini, kita dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apakah kita sudah berdaulat sepenuhnya di negeri sendiri?
Kedaulatan bukan hanya soal bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga kemandirian ekonomi, kekuatan politik, martabat budaya, dan ketahanan bangsa menghadapi tantangan global. Kita patut bersyukur atas pencapaian bangsa ini kemiskinan ekstrem berkurang, infrastruktur menghubungkan pulau-pulau, teknologi berkembang pesat, dan demokrasi tetap tegak meski sering diuji. Namun, di balik semua itu, tantangan besar masih mengintai: kesenjangan ekonomi yang lebar, ketergantungan impor, lemahnya perlindungan terhadap sumber daya alam, dan ancaman perpecahan akibat polarisasi politik.
Sejarah mengajarkan, bangsa yang besar bukan hanya karena jumlah penduduk atau luas wilayahnya, melainkan karena kekuatan karakter dan kemandirian rakyatnya. Bung Karno pernah mengingatkan, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya.” Menghormati jasa pahlawan bukan hanya dengan upacara dan tabur bunga, tetapi juga dengan meneruskan cita-cita perjuangan mereka: Indonesia yang berdaulat, berdikari, dan berkepribadian.
Makan Gizi dan Kesehatan Gratis
Tidak semua revolusi dimulai dari senjata. Ada revolusi yang lahir dari sendok nasi dan stetoskop. Program Makan Bergizi Gratis dan Pemeriksaan Kesehatan Gratis yang dijalankan di era Presiden Prabowo adalah contoh nyata bagaimana perubahan sosial dimulai dari hal yang paling mendasar: gizi dan kesehatan rakyat.
Sejarah pembangunan bangsa menunjukkan, negara-negara maju selalu memulai langkahnya dengan memastikan rakyatnya cukup gizi. Anak yang cukup gizi akan tumbuh cerdas, sehat, dan memiliki daya saing tinggi. Indonesia selama ini masih menghadapi masalah stunting dan malnutrisi, yang bukan hanya masalah kesehatan, tapi juga masalah ekonomi jangka panjang. Program Makan Bergizi Gratis yang menyasar pelajar, balita, dan ibu hamil adalah strategi yang tepat untuk memutus rantai kemiskinan antargenerasi. Anak yang sehat hari ini adalah tenaga kerja unggul 20 tahun ke depan.
Di banyak desa dan kota, penyakit yang seharusnya bisa dicegah sering menjadi beban berat karena keterlambatan penanganan. Pemeriksaan Kesehatan Gratis menjadi solusi preventif mendeteksi masalah kesehatan sebelum menjadi bencana. Pemeriksaan rutin berarti biaya perawatan jangka panjang bisa ditekan, angka kematian menurun, dan kualitas hidup meningkat. Langkah ini juga memperkuat prinsip keadilan sosial. Kesehatan tidak lagi menjadi hak istimewa mereka yang mampu membayar rumah sakit mahal, tapi menjadi hak setiap warga negara tanpa memandang dompet atau alamat. Banyak yang mengira program ini hanya membebani APBN, padahal sebaliknya:
Efek ekonomi langsung, Peningkatan permintaan bahan pangan lokal untuk memenuhi menu bergizi. Ini berarti petani, peternak, dan nelayan mendapat pasar yang stabil. Efek ekonomi jangka panjang, Rakyat yang sehat dan cerdas berarti produktivitas meningkat, biaya kesehatan nasional menurun, dan daya saing tenaga kerja naik. Program Makan Bergizi Gratis dan Pemeriksaan Kesehatan Gratis adalah investasi yang hasilnya mungkin baru terlihat 10-20 tahun mendatang.
Namun, itulah yang membedakan visi besar dari sekadar kebijakan populis. Negara ini butuh rakyat yang sehat untuk menjadi bangsa yang kuat. Dengan memastikan setiap anak Indonesia makan dengan layak dan setiap warga mendapatkan pemeriksaan kesehatan yang memadai, kita sedang menulis bab baru sejarah bangsa: bab tentang keberpihakan, keadilan, dan masa depan yang cerah.
Indonesia Emas 2045
Usia 80 adalah gerbang menuju satu abad kemerdekaan. Dua puluh tahun ke depan akan menentukan apakah Indonesia benar-benar menjadi Indonesia Emas 2045 atau terjebak dalam pusaran krisis global. Kuncinya ada pada tiga hal: Pertama, kedaulatan ekonomi, mengubah orientasi ekonomi dari sekadar pertumbuhan angka menuju pemerataan kesejahteraan, memperkuat industri nasional, melindungi petani, nelayan, dan UMKM dari tekanan pasar global.
Kedua, revolusi pendidikan dan karakter, mempersiapkan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga berintegritas, cinta tanah air, dan siap bersaing di kancah internasional. Ketiga, Persatuan Nasional, Mengikis polarisasi politik, menghidupkan kembali semangat gotong royong, serta menjadikan perbedaan sebagai sumber kekuatan, bukan pemecah belah. Pada usia ke-80 ini, marilah kita kembali ke semangat Proklamasi: bebas dari segala bentuk penjajahan dan mampu mengatur rumah tangga sendiri. Kemerdekaan harus bermakna bagi semua rakyat dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Rote.
Kita tidak boleh membiarkan kekayaan negeri ini hanya dinikmati segelintir orang, sementara jutaan rakyat masih berjuang demi sesuap nasi. Indonesia bukan sekadar warisan leluhur, tetapi juga titipan untuk generasi yang akan datang. Apa yang kita lakukan hari ini akan menentukan wajah Indonesia di masa depan. Mari jadikan usia 80 tahun ini sebagai momentum untuk memperkuat kedaulatan, mempererat persatuan, dan memastikan bahwa cita-cita para pendiri bangsa benar-benar terwujud.
Bahwa cita-cita luhur untuk membangun dan mewujudkan tatanan Harapan Masyarakat Indonesia (HMI) yang merdeka, berdaulat, bersatu, demokratis, adil dan makmur serta beradab dan berketuhanan yang berlandaskan Pancasila, sebagaimana termaktub didalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, merupakan tujuan bersama dari seluruh rakyat Indonesia. Cita-cita kemerdekaan tersebut hanya dapat dicapai dengan mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa, serta membangun segala kehidupan secara seimbang lahir dan batin yang berlandaskan Pancasila.
Selanjutnya, kehidupan bangsa yang lebih maju, modern, dan mandiri menuntut pembaruan terus-menerus melalui usaha-usaha yang disesuaikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan zaman dengan tetap memelihara nilai-nilai luhur kepribadian bangsa Indonesia. Dalam menghadapi perkembangan zaman dan globalisasi, identitas dan jati diri bangsa tetap menjadi fondasi utama untuk memperjuangkan kepentingan nasional dan tatanan baru.
Haluan baru dan tatanan baru bagi kehidupan bangsa dan Negara Republik Indonesia harus dilandaskan pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945. Hakikat tatanan baru adalah sikap mental yang menuntu pembaharuan dan pembangunan yang terus-menerus dalam rangka melaksanakan Pancasila dan UUD 1945. Selanjutnya, pasca krisis tahun 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia terus mengalami ekspansi, meskipun belum mampu menyamai pertumbuhan ekonomi pada masa pemerintahan Orde Baru.
Saat ini ekonomi Indonesia secara meyakinkan terus mengalami pertumbuhan dengan besaran diatas 5% rata-rata per tahun. Ini menarik perhatian beberapa lembaga rating dan lembaga penelitian internasional yang melakukan prediksi tentang masa depan ekonomi Indonesia. Bank Dunia dalam laporan The New Global Economy, lembaga rating G-Sachs dan Standard Chartered Bank untuk Indonesia 2050 membuat analisis, bahwa diperkirakan Indonesia akan masuk dalam salah satu negara pusat pertumbuhan ekonomi dunia (growth pool) pada tahun 2025.
Dalam laporan tersebut, juga diperkiran pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 13% pada tahun 2025, dengan syarat pertumbuhan ekonomi riil Indonesia harus berada antara 7-9% pertahun dan berkelanjutan. Selain itu berbagai lembaga riset terkemuka termasuk The Economist menyatakan bahwa Indonesia akan bangkit sebagai kekuatan ekonomi baru (new emerging economy).
Penutup
Delapan puluh tahun bukanlah usia muda bagi sebuah bangsa. Bagi manusia, itu adalah usia yang sarat pengalaman, penuh ujian, dan kaya hikmah. Indonesia yang lahir pada 17 Agustus 1945 kini memasuki usia 80 tahun usia yang mengundang kita untuk tidak hanya merayakan, tetapi juga merenung: apa arti kemerdekaan bagi kita hari ini? Para pendiri bangsa memaknai kemerdekaan bukan sekadar berdaulat secara politik, tetapi juga mampu berdiri di atas kaki sendiri ekonomi yang kuat, budaya yang berdaulat, dan rakyat yang sejahtera.
Namun, kita masih menghadapi “penjajahan” dalam bentuk baru: kemiskinan, ketimpangan, korupsi, dan ketergantungan pada pihak luar. Merdeka sejati berarti merdeka dari semua bentuk penindasan, termasuk yang berasal dari sistem dan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Di era globalisasi dan disrupsi teknologi, ancaman terhadap kemerdekaan bukan lagi kapal perang atau senjata api, melainkan penetrasi ideologi, ketergantungan ekonomi, dan dominasi teknologi asing.
Kemerdekaan ke-80 harus menjadi momentum untuk memperkuat kedaulatan digital, pangan, energi, dan informasi. Delapan dekade lalu, kemerdekaan diraih dengan persatuan lintas suku, agama, dan daerah. Kini, kita menghadapi ujian perpecahan akibat polarisasi politik, hoaks, dan ujaran kebencian. Makna kemerdekaan di usia 80 adalah kembali meneguhkan Bhinneka Tunggal Ika mengakui perbedaan, namun teguh dalam satu tujuan: kejayaan Indonesia. Usia 80 harusnya membawa kematangan dalam pengambilan keputusan.
Bangsa ini harus berani keluar dari jebakan politik jangka pendek menuju pembangunan berkelanjutan yang berpihak pada generasi mendatang. Pendidikan, riset, inovasi, dan pemerataan pembangunan harus menjadi agenda utama, bukan hanya janji politik lima tahunan. Merdeka bukan berarti bebas berbuat apa saja, tetapi bebas untuk menentukan arah masa depan bersama.
Kemerdekaan yang sejati adalah ketika setiap anak Indonesia lahir dengan hak yang sama untuk bermimpi dan kesempatan yang sama untuk mewujudkannya. Di usia ke-80 ini, kemerdekaan harus kita maknai sebagai tanggung jawab untuk membawa bangsa ini melampaui sekadar bertahan, menuju bangsa yang memimpin. Merdeka adalah awal, bukan akhir. Dan perjalanan kita sebagai bangsa masih panjang.
Penulis adalah Dekan Fisip Universitas Jakarta, Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI, Mahasiswa Doktoral Universitas Islam Bandung