Scroll Untuk Membaca

Opini

Demokrasi Politik Pasang Badan

Demokrasi Politik Pasang Badan
Kecil Besar
14px

Oleh Taufiq Abdul Rahim

Maka pemimpin kekuasaan politik Indonesia saat ini yang dibayang-bayangi praktik korupsi serta berbagai kecurangan serta kesalahan, kekalahan masa lalu, kini pasang badan yang dapat saja menjerat dirinya, sehingga enggan membela kepentingan rakyat.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Diskursus dunia politik semakin menjadi perhatian penting, menarik serta dinamis jika dipahami berbagai praktik empirik yang semakin banyak, beragam dan memiliki kepentingan politilk yang berbeda. Kondisi yang berkembang, fenomena demokrasi semakin memberikan warna yang berbeda serta beragam selaras berbagai peristiwa ikut menyertai serta berlaku ditengah kehidupan masyarakat modern, Sehingga demokrasi dipahami, tidak hanya secara literasi resmi yang menjadi rujukan serta landasan para pakar politik serta saitis, namun demikian berbagai catatan praktik politik yang dipamerkan, diparodikan di hadapan rakyat adakalanya membosankan, memuakkan serta menjijikkan. Hal ini tidak terlepas dari berbagai janji politik pemimpin, elite politik serta pemangku kekuasaan yang hanya menebarkan “lips services” yang seringkali anomali dengan kebijakan politik yang dijalankan, meskipun selalu saja berbalut narasi demi dan untuk rakyat.

Demokrasi pemimpin politik yang selama ini dipahami adalah, dipahami secara umum konsep demokrasi yang memosisikan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, atau menganalisis bagaimana kekuasaan politik bekerja di bawah sistem demokrasi. Sehingga demokrasi politik Menurut M. Durverger (2006) di dalam bukunya”Les Regimes Politiques”, maka dalam artian demokrasi itu ialah termasuk cara pemerintahan dimana golongan yang memerintah dan golongan yang diperintah itu adalah sama dan tidak terpisah-pisah. Artinya suatu sistem pemerintahan negara dimana dalam pokoknya semua orang (rakyat) adalah berhak sama untuk memerintah dan untuk diperintah. Karena itu, antara yang memerintah dan yang diperintah memiliki kesejajaran kekuasaan dan kedaulatan, tidak ada yang lebih tinggi posisinya dalam demokrasi politik. Makanya yang menjadi perhatian penting adalah, seolah-olah elite politik damn pemiompin merasa lebih berkuasa dari rakyatnya, pada saat rakyatnya selalu dirugikan dengan kebijakan elite pemimpin negara. Bahkan praktik politik dengan melakukan korupsi, ada pemimpin politik yang pasang badan membela pemimpin korup serecara terang-terang, angkuh, sombong yang telah melakukan kecurangan dan merugikan rakyat dengan praktik kekuasaan politiknya.

Sehingga secara rasional dipahami bahwa pemimpin dan elite politik yang berkuasa tersandera dengan kehidupan politik masa lalunya yang kalah bersaing dalam demokrasi politik curang dipraktikkan secara kasat mata. Karena itu pula, mencoba mengikuti jejak langkah pemimpin curang, bodoh dan culas demi kekuasaan yang menjadi impiannya. Hanya saja kemenangan demokrasi politik yang diikutinya juga mengikuti cara-cara curang pemimpin kekuasaan politik terdahulu. Namun demikian, narasi politik lantam, lantang seolah-olah membela rakyat tetapi tersandera kepentingan politik yang irrasional sulit diterima akal sehat. Dalam hal praktik politik demokrasi pasang badan akibat dari praktik politik proses demokrasi yang selama ini berlaku di Indonesia belum menunjukkan dampak kemajuan serta kesejahteraan bagi rakyat sebagaimana yang diharapkan. Maka berbagai praktik politik uang, pork barrel dan bantuan sosial yang ikut mewarnainya, ini seperti adanya partisipasi politik culas dan curang yang tinggi, tersampaikannya aspirasi dan kebutuhan rakyat dengan baik. Kemudian bermunculan pemimpin-pemimpin tidak memiliki kompetensi, ideal dan menjunjung tinggi perundang-undangan yang berkualitas, juga mudah melnggar etika moral demi jabatan serta kedudukan kekuasaan politiknya, yang mungkin selama ini tidak terdeteksi. Dimana proses demokrasi juga memiliki sisi gelap dan salah satu contohnya adalah politik uang untuk mendapatkan kekuasaan elite pemimpin politiknya. Meskipun politik uang sudah memiliki aturan yang melarangnya dalam undang-undang Pemilihan Umum (Pemilu), namun tetap saja untuk menempuh kekuasaan praktik ini tetap dilaksanakan.

Dalam praktik kekuasaan politik di Indonesia saat ini, orang-orang yang terpilih untuk menduduki posisi-posisi penting di pemerintahan memiliki kebutuhan untuk mengembalikan “modal” yang sudah dikeluarkan semasa kampanye. Akhirnya tindakan korupsi terjadi dimana-mana. Karena itu, kehidupan korupsi menurut Pryscillia (2014) adalah: Pertama, Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya; Kedua, penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Ini demikian marak dilakukan pada saat menjadi pemimpin kekuasaan politik, seperti kesalahan kebijakan melakukan, pengerukan atau eksploitasi bahan tambang nikel, emas, minyak bumi yang menguntungkan oligarki dan kelompok elite pemimpin tertentu yang berkuasa. Demikian juga praktik hutang terhadap kereta api cepah “woosh” yang dilakuklan melalui skema “Business to Business” demikian penuh misteri dan dimanfaatkan keuntungannya antara pengambil kebijakan ekonomi politik kekuasaan. Kemudian setelah bermasalahan terhadap pembayaran htangnya sebesar Rp116 triliun berhutang selama 60 tahun, dengan setoran Rp1,2 triliun pertahun dilakukan pembayaran oleh Pemerintah Indonesia dengan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Di tengah kehidupan rakyat Indonesia yang memprihatinkan, menurut Bank Dunia (World Bank/2024) kemiskinan penduduk Indonesia 194,6 juta jiwa atau setara 68,25 persen, dengan IQ rata-rata hanya 78,49 menurut Lynn dan Becker (2019).

Namun dengan lantang dinyatakan oleh elite pemimpin politik Indonesia melalui retorikanya, tidak usah takut, jangan khawatir, tidak usah ribut. Katanya utang whoosh menjadi tanggung jawabnya Rp1,2 triliun pertahun, duitnya ada, duit yang tadinya dikorupsi dan diambil negara, kemudian saya hemat. Narasi serta retorika bersayap ini memperlihatkan bahwa, ada ketakutan, kelemahan personal yang dipertontonkan kepada publik atau rakyat, ternyata di balik retorika yang selama ini dibangun seperti “harimau yang ganas, menjadi penampakan kucing dapur yang manja”. Bahkan terkesan memperlihatkan sebagai pemimpin dan elite kekuasaan yang tersandera oleh kekuasaan politik bayang-bayang masa lalu yang suram dan selalu kalah dalam kompetisi demokrasi politik. Sehingga jeritan rakyat yang semakin tertindas diacuhkan demi pasang badan untuk sang “majikan” yang ikut melibatkan diri dalam praktik curang, culas menggunakan politik uang untuk memenangkannya. Demikian juga pesan tersembunyi terhadap dinasti politik sebagai pendamping, juga agar menutupi dan mem-” back-up” berbagai tuntutan hukum yang menjerak sang “majikan/boss” pada masa lalu penuh dengan praktik korupsi yang diduga dilakukan secara berjamaah dengan anak, isteri, menantu serta kroninya.

Dengan demikian, demokrasi politik secara ideal adalah kekuasaan pada rakyat, saat ini menjadi sangat sentralistik pada tangan seorang pemimpin polituik kekuasaan tertinggi, juga menjadi penjamin kesalahan praktik kebijakan politik masa lalu. Hal mana praktik politik uang dan korupsi yang dilakukan menjadikan demokrasi politik di Indonesia menjadi cacat permanen dan berlaku masif yaitu, menurut Duaji (2018) secara spesifik, tujuan politik uang yang biasanya dipraktekkan di Indonesia terbagi menjadi 3 jenis, yaitu untuk membeli kursi (biasanya di lembaga perwakilan rakyat/legislatif juga eksekutif), untuk menjamin kekebalan terhadap hukum, dan untuk membeli suara rakyat. Sehingga demokrasi politik yang semestinya diulakukan untuk memilih pemimpin menjadi rusak dan cacat terhadap usaha memperbaiki kehidupan rakyat yang lebih baik, makmur, sejahtera dan berkeadilan. Dengan perkembangan kontemporer serta “up to date” saat ini kekuasaan ditentukan secara sentralistik juga cenderung otoritarian, maka menurut Ridwan (2014) sesuai dengan adagium dari Lord Acton: “power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely” yang artinya “kekuasaan cenderung untuk disalahgunakan, tetapi kekuasaan yang tidak terbatas (absolut) pasti disalahgunakan”. Maka menurut K.C. Wheare (1951) untuk membatasi kekuasaan yang berpotensi absolut, negara-negara biasanya menggunakan konstitusi. Sementara itu, kekuasaan Lembaga konstitusi juga dibawah bayang-bayang kekuasaan masa lalu berkuasa secara otoriter dan absolut secara politik. Maka pemimpin kekuasaan politik Indonesia saat ini yang dibayang-bayangi praktik korupsi serta berbagai kecurangan serta kesalahan, kekalahan masa lalu, kini pasang badan yang dapat saja menjerat dirinya, sehingga enggan membela kepentingan rakyat.

Penulis adalah Dosen FE/Pasca Sarjana Unmuha dan Peneliti Senior PERC-Aceh

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE