Oleh Taufiq Abdul Rahim
Pada dasarnya dinamika perbincangan dunia politik nasional semakin menarik untuk dikaji secara serius, akademik dengan metodologi saintis yang terus dan berkembang menambah pemahaman serta pengetahuan masyarakat.
Scroll Untuk Lanjut MembacaIKLAN
Kondisi kehidupan politik demikian cepat berubah selaras dengan kondisi empirik yang memperlihatkan aksi serta skenario yang terus dipahami untuk dikaji dengan menggunakan struktur serta mekanisme keilmuan yang diyungkapkan secara jelas juga transparan.
Permasalahan ini semakin terungkap dengan tampilan refleksi perilaku elite politik serta pemimpin yang diharapkan menjadi panutan dan ketauladanan di tengah permasalahan kehidupan yang demikian kompleks serta sulit diprediksi secara realitas. Hal ini, terutama berhubungan dengan realitas sosial yang menjadi gambaran realitas laboratorium kehidupan rakyat yang semakin kompetitif, unprediktabel, menyesakkan dada serta penuh persaingan dengan kecurangan, baik dengan pemahaman rasional maupun irasional berinteraksi penuh dinamika dan pertanyaan serta harapan masyarakat luas.
Selanjutnya dapat dipahami sebagaimana diharapkan masyarakat luas dapat menjadi realita kebenaran yang ideal, normatif, konsisten, inkonsisten, bahkan hanya sekedar gimik dan janji kosong yang sulit dituntut kebenaran yang sesungguhnya. Hal ini menjadi gambaran kondisi kehidupan yang baik, harmonis, damai serta menjanjikan kondisi yang lebih baik, ini disingkronkan dengan janji politik saat berkampanye, juga pada saat “umbar” pernyataan politik pada saat berpidato, menyampaikan pesan umum dan publik. Sehingga masyarakat tetap berpengharapan dan mesti direalisasikan secara realita tidak hanya sekedar janji, gimik dan membuat penilaian tersendiri. Sehingga elite pemimpin politik tidak sekedar menjadi bayang-bayang atau boneka kepemimpinan masa lalu yang terus mampu mengatur ritme dan skenario politik dalam memperjuangkan serta menjaga kenyamanan. Juga perlindungan dari berbagai tuntutan persoalan pemimpin masa lalu yang banyak mulai semakin terungkap. Karena itu, relasi interaksi sosial dan relasi kekuasaan yang dapat mendamaikan serta sesuai dengan kehendak politik masyarakat terhadap elite pemimpinnya. Karenanya Mills (1956) menyatakan, konsep elite, muncul pendapat bahwa kelas menengah merupakan dari masyarakat elite karena mempunyai akses terhadap sumber daya ekonomi dan politik, masyarakat percaya bahwa kelompok masyarakat yang sangat berbeda dari kelas menengah, dan mereka memegang posisi yang sangat penting dalam pengambilan keputusan.
Sehingga kepentingan politik elite, ternyata hanya kepentingan politik kelompok elite semata, ini sudah terbangun tidak kepada kepentingan rakyat atau masyarakat luas. Makanya setiap pernyataan dan statement speech bagaikan “auman harimau lapar” yang menjadi harapan untuk kepetingan rakyat, namun demikian realitasnya berbagai pidatonya tidak lebih “auman harimau ompong”, dikendalikan secara bayang-bayang kekuasaan masa lalu. Hal ini menimbulkan meluas dalam kehidupan rakyat, ibarat boneka politik, hanya mengaum sekedar gimik dan mencoba bermain drama di depan kehidupan serta kesulitan masyarakat. Demikian juga janji tuntaskan berbagai kasus hukum, korupsi, memenjarakan/mengejar para koruptor, pengambilan kebijakan masa lalu dari elite pemimpin sebelumnya, hanya sekedar pernyataan politik kosong, disebabkan hanya berperan sebagai boneka politik kekuasaan hasil demokrasi politik curang. Sehingga hanya inklusif menjaga dan melindungi kesalahan elite pemimpin masa lalu yang siap membongkar berbagai kesalahannya, termasuk akan terus memperkuat sandera yang demikian mencengkeram dirinya, sehingga sangat hati-hati dalam menetapkan kebijakan politik yang berimbas terancam secara serius dikorbankan sebagai politik kekuasaan.
Sesungguhnya dalam demokrasi politik ideal menurut Jimly (2006) bahwa, kekuasaan itu pada dasarnya diakui berasal dari rakyat itu sendiri, dan karena itu rakyatlah yang sebenarnya dapat menentukan dan memberi arah serta yang sesungguhnya menyelenggarakan kehidupan kenegaraan itu sendiri. Hanya saja pada saat pemimpin itu terwujud, dalam sistem Participatory Democracy, dikembangkan pula tambahan bersama rakyat, sehingga berubah menjadi “kekuasaan pemerintahan itu berasal dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat dan bersama rakyat”, setiap pidatonya.
Namun demikian, realitasnya semestinya keputusan keputusan penting dibuat melalui proses yang partisipatif dan inklusif, dengan mempertimbangkan kepentingan seluruh rakyat, khusus yang muncul dalam konteks ini adalah kekuasaan itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sehingga elite politik yang inklusif ternyata hanya melindungi segelintir orang dan kelompok sehingga, kekuasaan politik rakyat hanya menjadi jargon omong kosong, rakyat tetap terdiskriminasi. Karena kekuasaan rakyat hanya ilusi, saat elite politik telah berkuasa tidak lebih sebagai boneka para penguasa yang menentukan kebijakan politik dan ekonomi dibelakang bayang-bayang sandera politik pemimpin yang membesarkan dan menjadikannya sebagai pemimpin kekuasaan elite politik negara (presiden) dengan menghalalkan segala cara. Dengan keahlian membaca intusi sebab membaca keinginan pribadi pemimpin sangat berhasrat, bernafsu dengan cita-cita sebagai penguasa puncak dan presiden bayang-bayang yang disetting menjadi boneka.
Menurut Panduan SB (2002) adalah, berdasarkan optik teoritik dan praktik ketatanegaraan kontemporer, kehadiran Pemilu yang bebas dan adil (free and fair) adalah suatu keniscayaan. Akan tetapi, esensi bebas dan adil tersebut terletak pada kualitas Pemilu dikendalikan kekuasan politik dan penyelenggara, yang mana sebagai klaim demokrasi yang mencerminkan peran serta masyarakat sebagai pemilih sekaligus subjek pelaksanaan Pemilu proses curang melanggar hukum. Idealnya masyarakat hanya sekedar menggunakan hak pilih, namun berpartisipasi aktif mengawasi jalannya Pemilu, termasuk memastikan pelaksanaannya mesti berlangsung sesuai dengan aturan serta peraturan perundang-undangan dan etika-moral. Selanjutnya menelan kekecewaan adanya perubahan kehidupan yang lebih baik terhadap kondisi ekosnomi dan politik, serta sosial kemansyarakatan juga kemanusiaan yang beradab. Semestinya partisipasi politik sementara Mahpudin (2020) yaitu, bertujuan untuk mengurangi konflik kepercayaan terhadap integritas proses dan hasil Pemilu serta meningkatkan legitimasi kepemimpinan politik.
Sementara itu Hartono (2024) menyampaikan, selain itu Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa hantaman politik transaksional membahayakan proses Pemilu. Dengan demikian dari transaksional politik melalui kecurangan Pemilu menghasilkan leite pemimpin politik kekuasaan sebagai boneka politik, mudah diatur dan dikendalikan, disandingkan dengan dinasti politik anak diperjuangkan dengan menghalalkan segala cara, mengandalkan kecurangan proses Pemilu demi tujuan politik tertentu.
Dengan demikian, tuntutan proses demokrasi politik Pemilu yang ditempuh dengan cara curang, culas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kemenangan dan memiliki kekuasaan berdasarkan penilaian penyelenggara Pemilu sebagai pemenang, berkuasa secara politik. Kemudian tidak mampu memperjuangkan kepentingan politik rakyat secara ideal menuju kemakmuran, kesejahteraan serta perubahan kehidupan yang lebih baik.
Di samping itu, berbagai kecurangan dan penyimpangan hukum, aturan serta penyalahgunaan kekuasaan dengan praktik otoritanisme politik, sehingga secara semena-mena menguasai ekonomi dan sumber daya alam dikuasi hanya mementingkan mengumpulkan kekayaan pribadi, keluarga dan kelompok serta oligarki politik-ekonomi. Hal ini sesungguhnya menyengsarakan rakyat, di Indonesia menurut World Bank (WB/2025) jumlah rakyat miskin sejumlah sekitar 194,58 juta jiwa atau 68,25%. Dengan demikian pengharapan agar penegakan hukum teralisasi dari perampok, merupakan kelompok elite politik masa lalu, ternyata hanya omong kosong tidak teralisir. Kehidupan secara ekonomi semakin susah, pertumbuhan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) ekonomi triwulan II-2025 sebesar 5,12% (year and year), sangat memprihatinkan kondisinya, juga tanpa pengharapan perbaikan serta penegakan hukum dan hak aazsi manusi (HAM) sebagaimana janji-janji politik. Demikian juga, membuka lapangan kerja 19 juta orang usia kerja hanya omong kosong Ini membuktikan bahwa elite pemimpin politik boneka tidak mampu berbuat untuk rakyatnya, terjebak dengan permainan politik bohong gaya politik pemimpin masa lalu sangat dibenci rakyat, karena menyengsarakan rakyat.
Penulis adalah Dosen FE/Pasca Sarjana Unmuha dan Peneliti Senior PERC-Aceh












