Oleh: Farid Wajdi
Pajak selalu hadir dalam kehidupan sehari-hari, namun kehadirannya lebih kerap terasa sebagai beban ketimbang berkah.
Scroll Untuk Lanjut MembacaIKLAN
Setiap transaksi, setiap konsumsi, setiap aktivitas ekonomi menjadi kanal masuk dana ke kas negara. Ironinya, publik jarang melihat korelasi langsung antara kewajiban membayar pajak dan kualitas hidup yang meningkat.
Jalan tetap berlubang, layanan publik tertatih, birokrasi lamban, sementara laporan penerimaan pajak terus dipublikasikan penuh optimisme.
Di titik ini, wajar bila muncul pertanyaan kritis: pajak benar-benar digerakkan demi pembangunan atau sekadar menjadi ladang subur praktik korupsi?
Relasi negara dan rakyat melalui pajak sejatinya relasi kepercayaan. Rakyat menyerahkan sebagian hasil kerja keras demi kepentingan bersama. Negara menerima amanah itu bukan sebagai hak istimewa, melainkan tanggung jawab etis.
Realitas sering melenceng dari ideal tersebut. Pajak menjelma beban struktural ketika dana publik tidak menjelma layanan bermutu, ketika anggaran habis dalam birokrasi gemuk, proyek siluman, hingga permainan rente elite politik.
Pengelolaan pajak tidak bisa diposisikan semata urusan administratif. Setiap rupiah hasil pajak memuat jerih payah rakyat kecil, keringat para buruh, pelaku UMKM, pegawai rendahan, petani, hingga nelayan.
Mengubah dana itu menjadi ajang bancakan berarti merampas masa depan publik. Korupsi pada dana pajak bukan sekadar pelanggaran hukum, namun bentuk pengkhianatan sosial paling telanjang.
Narasi pembangunan sering dijadikan tameng legitimasi. Proyek infrastruktur digembar-gemborkan megah, namun manfaat nyata kerap tidak menyentuh kebutuhan mendasar.
Jalan tol berdiri gagah bagi mobil kelas menengah-atas, sementara akses dasar pedesaan terabaikan. Gedung pemerintahan megah tumbuh pesat, sementara puskesmas kekurangan tenaga medis. Pajak ditarik atas nama kemajuan, namun hasilnya tidak berpihak pada mayoritas.
Situasi ini memperlihatkan kegagalan mendasar cara negara memandang pajak. Fokus terjebak pada target penerimaan, bukan pada kualitas pengelolaan. Orientasi fiskal sempit menutup mata terhadap dimensi moral. Pajak dijadikan alat menutup defisit anggaran, bukan instrumen keadilan sosial. Angka penerimaan naik, namun rasa keadilan publik justru turun drastis.
Lebih menyakitkan lagi saat dana pajak masuk dalam pusaran korupsi. Proyek fiktif, mark-up anggaran, pengadaan tidak transparan, komisi gelap, hingga permainan tender menjadi pola berulang.
Setiap skandal membuka luka baru dalam ingatan kolektif masyarakat. Kepercayaan runtuh pelan-pelan, kepatuhan kian melemah, resistensi sosial tumbuh subur. Negara kehilangan legitimasi moral di hadapan warga.
Pajak seharusnya menjadi energi pembangunan, bukan materi bakar keserakahan elite. Pembangunan tanpa integritas hanya melahirkan monumen palsu. Jalan mungkin mulus, gedung menjulang, namun di baliknya tersimpan praktik manipulatif.
Pembangunan semacam ini tidak menghasilkan kesejahteraan, hanya memperkuat ketimpangan dan memperlebar jurang antara penguasa dan rakyat.
Kesalahan utama terletak pada paradigma pengelola pajak. Pajak dilihat sebagai hak memungut, bukan mandat melayani. Mentalitas ini menjauhkan pejabat dari kesadaran publik sebagai subjek utama kebijakan.
Setiap keputusan fiskal seharusnya berpijak pada kebutuhan nyata rakyat, bukan pada kepentingan politik jangka pendek atau keuntungan kelompok tertentu.
Transparansi tidak cukup bersifat kosmetik. Laporan keuangan rumit tanpa keterbukaan substansial hanya mempertebal jarak antara rakyat dan negara.
Publik membutuhkan akses informasi sederhana, jujur, dan mudah dipahami. Proyek apa dibiayai, dampak sosial apa dihasilkan, siapa menikmati manfaat langsung, penjelasan semacam ini penting untuk menghidupkan kembali rasa memiliki.
Pengawasan publik wajib diperkuat, bukan dikurangi. Partisipasi warga dalam mengawasi penggunaan pajak perlu difasilitasi, bukan dianggap gangguan.
Mekanisme audit independen harus dijadikan tulang punggung, bukan sekadar formalitas. Setiap penyimpangan wajib ditindak tegas tanpa kompromi, tanpa perlindungan politik, tanpa negosiasi kekuasaan.
Pajak harus berpihak pada kelompok rentan. Keadilan fiskal menuntut perlindungan bagi rakyat kecil. Beban pajak tidak boleh memukul mereka lebih keras dibanding pemilik modal besar.
Sistem progresif perlu dijalankan konsisten agar redistribusi benar-benar terasa. Tanpa keberpihakan nyata, pajak hanya memperkuat struktur sosial timpang.
Rakyat Patuh, Negara Abai
Realitas menyedihkan muncul ketika rakyat patuh, namun negara abai. Tidak ada jaminan manfaat, tidak ada pengembalian layak, tidak ada perlindungan optimal.
Pada titik ini, pajak berubah menjadi alat eksploitasi terselubung. Negara menagih, namun enggan bertanggung jawab penuh pada kualitas pembangunan.
Kritik tidak berarti menolak pajak. Pajak tetap pilar negara modern. Namun kritik penting agar pajak kembali pada ruh aslinya: instrumen kesejahteraan kolektif. Pajak harus bekerja bagi kehidupan, bukan menghidupi koruptor.
Perubahan sejati dimulai dari kesadaran moral pengelola pajak. Dana publik bukan milik pribadi, bukan sumber rente, bukan ruang kompromi kotor. Pengelolaan pajak harus berlandaskan etika pengabdian.
Jabatan dalam lembaga fiskal bukan fasilitas memperkaya diri, melainkan amanah berat menjaga kepercayaan jutaan rakyat.
Negara matang tercermin dari keberanian menertibkan diri sendiri. Tanpa komitmen memberantas korupsi dalam pengelolaan pajak, seluruh narasi pembangunan hanya propaganda. Integritas bukan pilihan, melainkan syarat hidup demokrasi fiskal.
Rakyat tidak menuntut kemewahan, hanya keadilan. Pajak rela dibayar asal hasil terasa. Sekolah layak, rumah sakit manusiawi, transportasi terjangkau, bantuan sosial tepat sasaran, inilah wujud konkret tanggung jawab negara. Tanpa realisasi nyata, pajak akan terus dipandang luka sosial.
Pajak bukan sekadar instrumen fiskal. Ia refleksi hubungan negara dan warga. Cara ia dikelola menampilkan wajah sesungguhnya kekuasaan. Apakah berpihak, atau justru menindas secara halus.
Dilema pajak tidak selesai melalui retorika kesadaran. Ia hanya terpecahkan melalui keberanian membangun sistem bersih, akuntabel, transparan. Pajak wajib kembali pada fungsi sejatinya: membiayai kehidupan publik, bukan menumpuk keuntungan elite.
Ketika pengelola pajak memahami tugasnya sebagai kewajiban negara kepada rakyat, lahirlah kebijakan bermartabat. Saat kesadaran itu tumbuh, pajak berhenti jadi simbol penindasan dan berubah menjadi energi keadilan.
Di situlah pembangunan memperoleh makna sejati, bukan ilusi statistik, melainkan kesejahteraan konkret.
Pajak untuk pembangunan, bukan untuk korupsi. Prinsip ini tidak boleh menjadi slogan kosong, melainkan komitmen etis yang mengikat seluruh penyelenggara negara.
Tanpa itu, pajak hanya akan menjadi cerita getir tentang bagaimana rakyat membiayai keserakahan penentu kebijakan.
Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU












