Scroll Untuk Membaca

Opini

Diplomasi ASEAN, Mampukah Ikut Mendamaikan Dunia?

Diplomasi ASEAN, Mampukah Ikut Mendamaikan Dunia?
Kecil Besar
14px

Oleh Wella Sherlita

Dalam dua bulan ke depan, Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau ASEAN akan berusia 58 tahun. Di tengah-tengah pertikaian geopolitik nan rumit, imbas perang tarif Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, serta prahara internal antarnegara anggotanya, ASEAN dianggap masih relevan. Meski teguh memegang prinsip non-interference, namun diplomasi kolektif ASEAN bisa menjadi modal alternatif untuk penyelesaian sengkarut konflik global.

Ada tiga kekuatan raksasa saat ini, yaitu Tiongkok, Rusia, dan AS. Dampak perang tarif AS telah menimbulkan disrupsi di kawasan ASEAN, mulai dari kenaikan harga bahan baku, rantai pasok dan proses produksi, hingga mempengaruhi nilai tukar mata uang negara-negara ASEAN terhadap Dolar AS.

Di luar isu perang tarif, ASEAN setidaknya telah mewaspadai dampak berkepanjangan dari Perang Rusia-Ukraina (2022), konflik Israel-Hamas di Gaza (2023) dan terakhir, perang 12 hari antara Israel dan Iran. Ketiganya akan memicu disrupsi geoekonomik yang semakin luas. Komoditas pertama yang akan terdampak tentunya harga minyak dunia. Penyesuaian anggaran negara akan menjadi pilihan yang sulit dihindari.

Presiden RI ke-6, Soesilo Bambang Yudhoyono, dalam sebuah pidato mengungkapkan keraguan apakah multilateralisme mampu bertahan di tengah-tengah tiga kekuatan yang dominan. Apa yang mengemuka saat ini adalah kompetisi unjuk kekuatan dan kekuasaan seperti yang dipikirkan para realis. Krimea dan Ukraina adalah bentuk perlawanan Rusia terhadap Barat yang terlalu dominan, yang telah melakukan hegomoni atas urusan internasional. Demi Ukraina, maka AS dan Eropa berhadapan dengan Rusia.

Relevansi dari arsitektur multilateralisme kembali mengemuka saat Presiden Donald Trump mencanangkan slogan “American First” dan “Make America Great Again”. Pendekatan Trump yang agresif dengan sebagian kebijakan radikal, membuat banyak pihak membayangkan bagaimana jika kelak Xi Jinping juga menggaungkan “China First” atau Presiden Putin menyuarakan “Russia First”. Jika ini terjadi, maka multilateralisme kemungkinan hanya akan tinggal kenangan.

Tiongkok, Rusia dan AS sama-sama memiliki elemen penting untuk mampu bermain secara mengesankan dalam percaturan dunia, dengan ekonomi, militer dan teknologi. Ketiganya diramalkan akan berkompetisi, atau duduk bersama dan saling berkolaborasi.

Organisasi lain, semisal G20, juga menghadapi tantangan yang tidak mudah, jika ada satu atau lebih negara anggota berperan secara individual. Bahkan jika Trump ‘berbulan madu’ dengan Putin, pakta pertahanan sebesar NATO juga bisa goyah. Sedangkan BRICS saat ini menguat karena menjadi simbol perlawanan terhadap Barat. Akan tetapi, BRICS mengalami isu yang sama dengan badan multilateralisme lainnya, yaitu blok ekonomi yang kini menjadi blok politik sekaligus. Jika Rusia dan AS mesra, apakah BRICS di masa depan masih akan tetap sama dengan sekarang?

Kekuatan Multilateralisme Ala ASEAN

Di luar badan multilateralisme yang goyah karena berbagai perubahan, Indonesia masih bisa berharap dari ASEAN, yang sejak awal tidak diniatkan untuk menjadi blok ekonomi maupun blok politik. ASEAN sebagai warisan dari para pendiri negara di Asia Tenggara diharapkan semakin kuat dalam persaingan global masa kini yang sulit dibendung. Harapan kuat ini tercermin dalam pertemuan Prabowo dan Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, di Jakarta pada 27 Juni 2025.

Ibrahim menekankan pentingnya peran ASEAN dan kerja sama bilateral dalam menghadapi berbagai tantangan global, termasuk isu tarif dan gangguan hubungan antarbangsa. Anwar meyakini bahwa kekuatan domestik, bilateral, dan ASEAN harus dibina dengan semangat di kalangan para pemimpinnya.

Sedangkan Prabowo menegaskan bahwa Indonesia-Malaysia memandang perlu upaya kolektif global untuk mendorong penyelesaian konflik-konflik secara damai. Pernyataan ini kurang lebih sama dengan yang disampaikannya dalam forum St. Petersburg International Economic Forum (SPIEF) pekan lalu.

Di hadapan Putin ia menyatakan dirinya sebagai mantan tentara yang tahu persis nilai-nilai perdamaian dan rekonsiliasi. Itu sebabnya, ujar Prabowo, ia selalu mencoba untuk bernegosiasi. Sedemikian pentingnya negosiasi di mata Prabowo, sehingga ia menekankan kata ‘negosiasi’ hingga tiga kali, dengan perundingan GAM dan pemerintah RI sebagai contoh sukses.

Di internal ASEAN, hanya Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Sedangkan Thailand, Singapura, Filipina, Vietnam dan Myanmar masing-masing menjalin hubungan diplomatik dengan Israel dan membuka Kedutaan Besar di Tel Aviv. Kondisi ini toh tidak mengganggu pembicaraan seputar genosida Israel di Gaza, yang bahkan isunya ikut dibahas Menlu Retno Marsudi dalam KTT ASEAN. Dalam hal ini, isu kemanusiaan tampaknya lebih menjadi fokus perhatian ASEAN ketimbang hubungan diplomatik resmi.

Dengan modal ini –tanpa menjadi blok ekonomi dan blok politik, diplomasi kolektif ASEAN kemungkinan dapat tampil sebagai penyeimbang. Jika negara-negara Teluk mewakili regional Timur Tengah dan Turki mewakili Eropa, maka ASEAN dapat mewakili suara dari Selatan Global, yang turut berkepentingan menjaga perdamaian dan keseimbangan kekuatan ekonomi dan politik dunia.

Penulis adalah jurnalis lepas di Jakarta. Sangat berminat pada isu hubungan Internasional, terutama ASEAN, resolusi konflik, dan nasib para pengungsi. Saat ini sedang melanjutkan program pascasarjana Hubungan Internasional di Paramadina Graduate School of Diplomacy (PGSD) Jakarta

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE