Oleh Armin Nasution
ASOSIASI Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) ‘menggeruduk’ kantor Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, Selasa (7/10/2025). Seluruh gubernur se-Indonesia yang tergabung dalam asosiasi tersebut (18 provinsi) berkeluh kesah. Ini karena pemerintah pusat mengurangi alokasi anggaran Pemprov seluruh Indonesia. Sebenarnya efisiensi ini juga sampai ke level kabupaten.
Besarannya lumayan. Rata-rata daerah provinsi dipotong anggarannya antara 25 persen hingga 30 persen namun di Jawa Tengah ada yang sampai 70 persen. Atau dengan rata-an Rp1 triliun hingga Rp3,5 triliun per provinsi, tetapi DKI Jakarta saja dipotong sampai Rp15 triliun. Sedangkan Sumut dipotong Rp1,1 triliun. Kebijakan efisiensi dimulai dari pemerintahan Prabowo Subianto yang membuat beberapa program perubahan alokasi fiskal lebih besar.
Artinya uang yang selama ini dimiliki pemerintah dan digelontorkan ke daerah dialokasikan untuk instrumen lain. Pemerintah misalnya sedang membesarkan Danantara (perusahaan investasi milik pemerintah), selain itu program Makan Bergizi Gratis (MBG) juga mengharuskan anggaran yang cukup besar. Cikal bakal kebijakan efisiensi anggaran ini dimulai ketika Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja dalam pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025.
Presiden Prabowo memerintahkan pemangkasan anggaran pemerintah sebesar Rp306,69 triliun tahun ini.Kemarin hanya asosiasi gubernur saja yang datang ke kantor Menkeu. Padahal seluruh bupati se-Indonesia pun mengeluhkan hal sama. Jika anggaran provinsi dipotong hingga triliunan rupiah maka di level kabupaten/kota potongannya bervariasi antara Rp50 miliar hingga Rp150 miliar bahkan lebih.
Transfer keuangan daerah dan dana bagi hasil ke daerah menyusut drastis. Wajar kalau kemudian seluruh kepala daerah tahun ini harus berpikir keras bagaimana menjaga anggarannya tetap berjalan maksimal. Ruang fiskal daerah yang kian sempit karena APBD yang tersedia hanya fokus membiayai operasional rutin. Misalnya membayar gaji pegawai dan P3K.
Sementara belanja modal dalam bentuk infrastruktur harus ditahan dan sebagian lagi dihilangkan, belum lagi biaya perjalanan dinas yang dipotong habis membuat SPPD (surat perintah perjalanan dinas) memaksa aparatur sipil negara tak bisa lagi bergerak leluasa.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sempat mengungkap bahwa terjadi pemborosan anggaran karena perjalanan dinas yang seharusnya 4 kali dibuat menjadi 20 kali. Efek lain dari pemangkasan anggaran adalah para kepala daerah yang baru dilantik Februari 2025 lalu harus ‘mengelus dada’ karena tak bisa merealisasikan visi misi atau janji-janji-nya terutama yang berhubungan dengan infrastruktur.
Lalu bagaimana seharusnya efisiensi anggaran dilakukan? Saya lebih cenderung berpendapat efisiensi ini tidak bisa terlalu ‘saklek’ atau text book. Benar kata Menkeu bahwa efisiensi anggaran dilakukan untuk menghemat berbagai hal yang berhubungan dengan pemborosan di daerah dan tingginya angka korupsi APBD.
Alasan ini cukup kuat. Bayangkan misalnya untuk pengadaan alat tulis kantor, perjalanan dinas dan lain-lain bisa disulap berulang-ulang. Atau juga pembelian bahan bakar kendaraan dinas yang sering masuk kantong pribadi. Belum lagi pemakaian inventaris kantor digunakan untuk keperluan pribadi. Ditambah lagi banyaknya kepala daerah yang di-OTT KPK juga alasan lain dibalik efisiensi ini.
Hanya saja, saya melihat kebijakan efisiensi ini terlalu ketat. Ibarat mobil yang sedang melaju kencang sampai 2024, tiba-tiba harus rem mendadak. Bayangkan guncangan yang terjadi terhadap penumpang. Harusnya efisiensi anggaran ini dilakukan selektif dan terukur. Bukan menekan habis anggaran daerah. Kenapa? Karena tak semua daerah punya kemampuan sama dalam menggali pendapatan asli daerah. Bayangkan daerah kabupaten yang anggarannya kena pangkas sampai lebih Rp100 miliar hanya bisa membiayai belanja rutin dari APBD-nya. Untuk pembangunan infrastruktur pun tak bisa. Jangan kaget kalau kepala daerah tak mampu merealisasikan janji kampanye-nya.
Kepala daerah yang kesulitan menambah APBD akan menerapkan berbagai langkah yang bisa saja kontra produktif. Misalnya menaikkan PBB atau membuat pajak daerah serta retribusi. Semakin ‘kreatif’ kepala daerah pasti mencari income tambahan. Tapi tentu berdampak pada masyarakat dan dunia usaha. Itu lah kemudian yang membuat ada bupati menaikkan PBB sampai 200 persen.
Saya cenderung pada pemikiran, yang pertama adalahpenghematan harus memperhatikan indikator kinerja keuangan daerah. Jika tata kelola keuangan pemerintah provinsi/kabupaten kota mencerminkan prinsip efisien dan efektif harusnya tidak ada pemotongan. Atau pemerintah pusat perlu membuat landasan kinerja keuangan yang wajib ditaati pemda sehingga transfer keuangan daerah tetap dijalankan.
Dengan begitu daerah akan termotivasi mengejar prinsip good governance diikuti kinerja keuangan yang baik. Istilahnya jika cerminan APBD-nya sangat efisien, maka ganjarannya dana bagi hasil daerah tetap diberikan membiayai program prioritas. Sebaliknya daerah yang tata kelola APBD-nya jauh dari prinsip efisiensi, ini yang perlu mendapat treatment pengetatan dana bagi hasil.
Begitupun tidak bisa ‘pukul rata’ harus dikaji infisiensi yang selama ini terjadi per daerah. Karena selain perbedaan potensi pendapatan masing-masing daerah, kualitas SDM per wilayah juga sangat berbeda. Jadi memang efisiensi harus dilakukan dengan cermat dan selektif.
Kedua, prinsip efisiensi anggaran ke daerah ini menurut saya harus mengedepankan prinsip keadilan. Keadilan dalam arti, jika daerah anggarannya dihemat maka kementerian, pejabat tinggi, anggota dewan pun harus dihemat. Jangan giliran ASN di daerah tak bisa menjalankan SPPD tapi para pejabat tinggi, kementerian dan anggota dewan mondar-mandir tanpa penghematan, belum lagi negara menambah bebannya dengan menggaji lebih banyak menteri, wakil menteri, pejabat setingkat menteri, penasihat presiden, dan lain-lain. Itu pemborosan paling nyata sesungguhnya.
Ketiga, anggaran pemerintah (government expenditure) adalah pendorong pertumbuhan. Belanja pemerintah pusat dan daerah membuka lapangan kerja, memberi tambahan pendapatan bagi masyarakat sekitar yang pada akhirnya digunakan untuk konsumsi. Atau event daerah yang dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas swasta tentu akan menjadi mulplier yang mendorong pertumbuhan.
Menkeu Purbaya sudah menjelaskan bahwa sebenarnya secara belanja APBN ke daerah itu tidak berkurang malah meningkat. Jika selama ini Rp900 triliun sekarang alokasinya Rp1.200 triliun. Tapi dana ini melekat di kementerian. Tinggal bagaimana daerah mengakses dana tersebut ke kementerian agar bisa dikucurkan. Bahkan jika kemudian terjadi perbaikan tata kelola anggaran Menkeu menjanjikan menambah anggaran ke daerah Rp43 triliun lagi.
Maka hingga tahun depan akan banyak kepala daerah yang mondar-mandir ke kementerian untuk pengucuran anggaran pembangunan di daerahnya. Kuatirnya, hanya daerah yang punya akses mudah ke Jakarta mampu menerobos kementerian mendapatkan anggaran. Tapi yang pasti efisiensi pada government expenditure akan turut mempengaruhi sektor konsumsi.
Keduanya merupakan faktor pendorong pertumbuhan selain investasi juga ekspor. Dengan kondisi saat ini, jika kondisi ekonomi kiat ketat, anggaran dihemat, dorongan pertumbuhan kita makin sempit. Artinya akan semakin banyak orang susah atau semakin banyak penurunan struktur penghasilan masyarakat dari kelas menengah ke kelas bawah.