Scroll Untuk Membaca

Opini

Empat Pulau Menunggu Jalan Pulang; Antara Salah Ketik, Salah Doa Atau Salah Kaprah?

Empat Pulau Menunggu Jalan Pulang; Antara Salah Ketik, Salah Doa Atau Salah Kaprah?
Kecil Besar
14px

Oleh Dr. Bukhari, M.H., CM

Barangkali ini bukan cuma soal peta. Bisa jadi ini juga soal doa yang salah arah. Entah siapa yang berdoa agar Aceh makin kecil atau Sumut makin luas. Yang jelas, Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang kini sedang “tersesat” di luar pangkuan Aceh, menunggu jalan pulang akibat satu Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025.

Kemendagri tampaknya tidak sadar bahwa keputusan administratif bisa terasa seperti doa buruk bagi rakyat di pesisir. Sekali diketuk dari balik meja Jakarta, empat pulau yang sejak dulu dijaga oleh nelayan Aceh tiba-tiba “dimandikan” ke provinsi sebelah. Logikanya mungkin begini: selama bisa digeser di kertas, maka dianggap selesai. Tapi sayangnya, Aceh bukan hanya kertas. Ia adalah sejarah, identitas, dan wilayah yang punya dasar hukum kuat.

Antara Lupa Pasal atau Lupa Daerah

Apakah Kemendagri lupa bahwa Aceh itu punya kekhususan? Bahwa segala perubahan batas wilayah wajib melibatkan Pemerintah Aceh dan DPRA sebagaimana tertulis jelas dalam Pasal 4 UUPA? Atau jangan-jangan ini cuma salah paham administratif yang dilabeli “kebijakan”?

Kalau alasannya adalah pemetaan, maka Aceh ingin bertanya: sejak kapan pemetaan boleh menggusur sejarah dan identitas? Kalau alasannya demi ketertiban administrasi, mengapa harus dengan cara menyalahi konstitusi daerah?

Jangan-jangan ini semacam “salah ketik” yang berujung “salah niat” sebab keputusan yang mengubah peta tanpa konsultasi adalah bentuk politik hukum yang kehilangan etika.

Pulau yang Dikirim Tanpa Tiket Pulang

Lebih ironis lagi, ketika reaksi keras muncul dari publik dan Pemerintah Aceh, jawaban dari pusat sangat sederhana: “Silakan Kelola Bersama atau ajukan ke PTUN.” Artinya, pulau dikirim secara sepihak, lalu disuruh pulang sendiri. Ini seperti anak yang diculik, lalu disuruh negosiasi sendiri dengan penculiknya.

Ini bukan sekadar teknis. Ini soal marwah. Pulau-pulau itu ibarat tamu yang dipindahkan kamar tanpa bertanya pada pemilik rumah. Wajar jika masyarakat Aceh merasa harga dirinya dilecehkan oleh keputusan yang dibuat dari jauh, oleh mereka yang mungkin tak pernah sekali pun menjejakkan kaki di Pulau Mangkir Ketek.

Empat Pulau yang Merindukan Nama Asalnya

Dalam teori politik hukum, kita diajarkan bahwa hukum bukan semata teks, tapi juga konteks. hukum itu tidak boleh jadi alat kekuasaan tanpa ruh keadilan, maka wajar kalau wilayah bisa digeser-geser, tanpa rasa bersalah dan cenderung mencari alasan-alasan pembenar.

Pulau-pulau itu kini sedang gelisah. Mereka pernah dijaga oleh tokoh-tokoh adat, ditanami pohon kelapa oleh warga Singkil, dan menjadi bagian dari Aceh bahkan sebelum Indonesia merdeka. Tapi kini mereka seperti kehilangan nama dan alamat.
Pertanyaannya: Siapa yang akan memberi mereka jalan pulang?

Jalan Pulang Dimulai dari Kesadaran Politik

Pemerintah Aceh tidak boleh hanya memohon. Ini saatnya bicara cerdas. Bawa perkara ini ke meja politik, hukum, dan publik. Tuntut pencabutan Kepmendagri itu. Rakyat Aceh pun tidak bisa diam. Jika kita tidak menyuarakan kebenaran ini, jangan salahkan sejarah jika suatu hari Aceh hanya tinggal legenda di dalam peta.

Penulis adalah Advokat, Mediator PMN LBH Qadhi Malikul Adil

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE