Oleh: Farid Wajdi
Bencana alam di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat akhir-akhir ini tidak hanya menghadirkan banjir dan longsor, tetapi juga drama kepemimpinan yang bisa membuat jengkel publik. Ketika hujan deras merendam rumah-rumah, Bupati Aceh Selatan memutuskan pergi menunaikan umrah di tanah suci.
Scroll Untuk Lanjut MembacaIKLAN
Gubernur menegaskan, izin resmi tidak pernah dikeluarkan (Antara News, 2025). Publik menatap layar televisi, membaca berita daring, dan bertanya-tanya: siapa yang menjaga rakyat ketika pejabat sibuk menata citra diri?
Publik tidak sedang membahas “kesibukan” rutin, melainkan kepedulian nyata. Empati bukan sekadar ucapan simpatik di media sosial atau janji manis dalam konferensi pers.
Empati adalah hadir di lapangan, memastikan warga aman, koordinasi evakuasi lancar, distribusi bantuan tepat waktu. Ketika pejabat lebih memilih panggung ibadah atau jepretan foto, rakyat berhadapan langsung dengan lumpur, air deras, dan rasa takut yang nyata.
Fenomena “pejabat sadar kamera” ini bukan teori abstrak. Di banyak bencana, pejabat datang hanya untuk foto dan video dokumentasi, bukan untuk aksi. Kompas (2025) menyoroti pejabat yang datang ke lokasi bencana, namun perilaku mereka lebih mengutamakan pose dan narasi di media sosial dibanding koordinasi lapangan. Kamera merekam senyum, tetapi tidak menyelamatkan rumah yang terendam banjir.
Ketidakhadiran Bupati Aceh Selatan di saat genting jelas menggambarkan prioritas yang salah. Adapun Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi membatalkan acara pernikahan anaknya demi hadir di tengah bencana (CNN Indonesia, 2025).
Perbedaan ini menegaskan satu hal: kepemimpinan sejati diukur dari keberanian meninggalkan agenda pribadi demi tanggung jawab publik.
Sayangnya, budaya pejabat sadar kamera kini menjalar ke berbagai level birokrasi. Media sosial menjadi arena legitimasi. Likes, shares, dan komentar menjadi ukuran kepedulian, bukan jumlah korban yang tertolong atau logistik yang disalurkan.
Hakim Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra bahkan pernah geram terhadap pejabat BNPB yang menyebut bencana “cuma mencekam di medsos” (Kantor Berita Buruh, 2025). Pernyataan itu menyingkap obsesinya terhadap persepsi publik, bukan realitas di lapangan.
Dampak nyata dari perilaku ini tidak main-main. Ribuan kayu gelondongan terbawa banjir di Sumatera menunjukkan bahwa pengawasan wilayah kritis lemah, dan koordinasi penanganan bencana sering tertunda karena pejabat sibuk dengan citra, bukan aksi (CNN Indonesia, 2025).
Rakyat kehilangan waktu, sumber daya, bahkan nyawa. Empati estetis: tampil peduli di foto, tetapi tidak menyelamatkan siapa pun.
Partai politik pun ikut terseret. Bupati Aceh Selatan, Mirwan MS, dicopot dari posisi Ketua DPC Gerindra akibat kontroversi umrah di tengah bencana (CNN Indonesia, 2025).
Ini menandakan moral publik tetap dihargai, setidaknya dalam mekanisme partai. Namun bagi rakyat yang terkena dampak langsung, konsekuensi partai tidak mengganti rumah yang hilang atau nyawa yang nyaris melayang.
Satir ini bukan untuk mengejek individu, melainkan menyoroti sistem: birokrasi yang menghargai citra lebih dari substansi. Pejabat sadar kamera menjadi simbol lemahnya akuntabilitas moral. Kamera bisa menangkap gambar, tetapi hanya aksi nyata yang menolong warga. Rakyat menilai bukan dari senyum di feed media sosial, tetapi dari tangan yang menolong dan keputusan yang tepat waktu.
Empati sejati membutuhkan keberanian meninggalkan agenda pribadi, meninggalkan pencitraan, dan menghadapi risiko lapangan. Tanpa itu, setiap senyum di depan bencana hanyalah topeng moral, menutupi ketiadaan kepedulian. Kamera bisa memuji, likes bisa berdatangan, tetapi warga tetap basah dan ketakutan.
Fenomena ini mengingatkan publik krisis adalah cermin karakter pemimpin. Sejarah mencatat, pemimpin yang hadir di tengah bencana, bukan untuk foto, tapi untuk bekerja, mencetak legenda. Pejabat sadar kamera? Mereka akan dikenang dalam meme, headline viral, dan rasa frustrasi publik. Itu semua reputasi yang hilang lebih cepat daripada logistik yang tertunda.
Di era digital, kamera dan media sosial adalah alat pertanggungjawaban. Pejabat tidak bisa lagi bersembunyi di balik jargon atau rilis pers. Setiap ketidakhadiran di lapangan menjadi viral, setiap ketidakpedulian menjadi cerita moral yang mengikis legitimasi. Rakyat tidak menuntut narasi; mereka menuntut aksi konkret.
Akhirnya, empati bukan pilihan, melainkan kewajiban moral. Pejabat sadar kamera harus mengingat: kamera bisa menangkap senyum, tetapi rakyatlah yang menilai kepedulian sejati.
Jika tidak, setiap jepretan dan story hanyalah tirai tipis yang menutupi kegagalan moral. Bencana berikutnya akan menjadi cermin kegagalan yang sama, hanya berbeda wajah di layar media sosial.
Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU












