Scroll Untuk Membaca

Opini

Eskalasi Konflik Israel-Iran 2025

Eskalasi Konflik Israel-Iran 2025
Kecil Besar
14px

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Inilah tragedi kematian multilateralisme meski dengan tanpa ta’ziyah. Di mana-mana PBB sebagai mayat hidup telah dirayakan setiap tahun untuk keuntungan sang serakah seperti AS. Veto AS terhadap resolusi gencatan senjata DK PBB pada 15 Juni 2025 menandai kematian multilateralisme ini

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Artikel ini berusaha mendekonstruksi krisis dan kerangka solusi di tengah fakta ketiadaan harapan mendunia atas konflik Timur Tengah yang berkepanjangan. Bahwa dini hari 13 Juni 2025, dentuman rudal Jericho Israel yang menghancurkan fasilitas nuklir Fordow Iran melampaui sekadar serangan militer. Peristiwa ini memuncakkan pertarungan narasi puluhan tahun antara Zionisme dan Revolusi Islam, Timur dan Barat, penjajah dan terjajah.

Edward Said (1978) memperingatkan bahwa konflik Timur Tengah adalah panggung tempat Barat memproyeksikan fantasi kekerasannya. Eskalasi 2025 membuktikan tesis Said secara tragis: media Barat menggambarkan serangan Israel sebagai “presisi defensif”, sedangkan Al Jazeera menampilkannya sebagai “agresi kolonial baru”, memperlihatkan bagaimana perang direpresentasikan melalui lensa kepentingan geopolitik yang bersaing asimetris.

Inilah bunuh diri kolektif era hipersonik. Gelombang balasan rudal Fattah-2 Iran ke Dimona tidak sekadar pertarungan teknologi, melainkan ritual bunuh diri kolektif masyarakat modern. Zygmunt Bauman (2006) menggambarkan masyarakat pascamodern yang terjebak dalam “kecemasan cair”, ketakutan akan ancaman abstrak yang dimanipulasi kaum elit.

Statistik korban Juli 2025 mengonfirmasi teori Bauman: survei Jerusalem Post menunjukkan 92% warga Israel mendukung serangan preemptif meski menyadari risikonya, sedangkan polling ISPA Iran mengungkap 88% rakyat setuju pembalasan walau taruhannya degradasi ekonomi. Ironisnya, di Gaza dan Lebanon Selatan, rakyat yang secara geografis tidak terlibat konflik, sudah mulai merasakan mati dalam kesenyapan, menjadi korban sampingan yang terlupakan.

Sosiologi kematian berbecara tidak ketus dan bertanya “engapa puluhan jiwa di Tehran hanya seolah ungkapan statistik?” Kematian warga sipil ini, termasuk 12 ilmuwan nuklir yang mengabdi kepada negaranya, menguak hierarki nyawa manusia dalam tatanan global. Noam Chomsky (1988) menjelaskan mekanisme “pembuatan kepedulian selektif” media mainstream. Analisis konten CNN Juni 2025 membuktikan hal ini: 73% liputan didedikasikan untuk 2 korban Israel, sedangkan korban Iran hanya mendapat 12% slot berita.

Sosiolog Iran Asef Bayat menambahkan dimensi kultural dengan menyatakan, “Kematian ilmuwan nuklir kita dirayakan Barat sebagai ‘penghambat proliferasi’, padahal itu adalah pembunuhan karakter bangsa”, mengungkap bagaimana nyawa manusia direduksi menjadi alat narasi politik. Ini perlu diperkuat dengan penjelasan bahwa semua itu dimaksudkan untuk melenyapkan setiap potensi yang dapat menghalangi para algojo Barat menjalankan pembunuhan tanpa interupsi.

Blokade Bab el-Mandeb adalah kapitalisme bencana dalam aksi. Saat Houthi memblokade Selat Bab el-Mandeb pada 14 Juni, harga minyak melonjak 41%. Naomi Klein (2007) menyebut fenomena ini “kapitalisme bencana”. Krisis sengaja dimanipulasi untuk keuntungan korporasi.

Data Juli 2025 membenarkan tesis Klein: ExxonMobil mencatat kenaikan laba Q2 sebesar 300%, sedangkan 47 juta penduduk miskin Afrika terancam kelaparan akibat inflasi pangan. Di tengah penderitaan ini, Wall Street justru menyebut krisis sebagai “peluang realokasi aset”, mengekspos paradoks moral ekonomi global.

Inilai tragedi identitas yang ditempatkan di ujung rudal, dan teruslah memperbaharui definisi: Yahudi vs Muslim, atau Elite vs Rakyat? Sejarawan Israel Moshe Sharon berargumen bahwa konflik ini adalah “perang eksistensial Yahudi melawan jihadisme Syiah”. Namun sosiolog Palestina Salim Tamari membantah dengan tegas: “Petani di Galilea dan nelayan di Bushehr sama-sama korban permainan elite. Mereka lebih dekat satu sama lain daripada dengan pemimpin mereka”.

Survei Universitas Tel Aviv Juli 2025 mengonfirmasi jarak antara rakyat dan konflik: 68% warga Israel tidak mengetahui letak Fordow di peta, sedangkan 79% warga Iran tidak bisa menyebut lokasi Dimona, membuktikan bahwa permusuhan lebih sering dikonstruksi ketimbang dialami.

Gerakan sosial dalam bayangan perang memenuhi panggilan ketika rakyat menolak menjadi martir. Bahwa di tengah eskalasi, muncul fenomena tak terduga yang menantang narasi resmi. Koalisi Ibu Israel-Iran, kumpulan perempuan Yahudi dan Persia, menggelar demonstrasi damai di perbatasan Turki, meneriakan “Bayi kami bukan perisai politik”.

Di Abadan, pekerja kilang minyak Iran melakukan pemogokan menolak memproduksi bahan bakar untuk militer. Manuel Castells (2015) melihat gerakan ini sebagai “emansipasi masyarakat sipil dari narasi negara-bangsa”, bentuk perlawanan terhadap monopoli identitas oleh elite politik.

Media sosial adalah medan perang baru sebagaimana Zakir Naik menelaahnya sebagai bagian algoritme hegemoni Barat. TikTok menjadi senjata paling mematikan dalam konflik ini. Video warga Tehran yang selamat dari serangan viral 47 juta kali, memuat jeritan seorang ayah, “Inikah demokrasi Barat?”

Di sisi lain, konten #SaveDimona membanjiri Twitter/X dengan gambar anak-anak Israel di bunker. Narasi Jean Baudrillard (1991) kembali relevan: “Perang ini terjadi lebih di layar gawai daripada di medan sebenarnya”. Sebuah hiperrealitas konflik digital yang di dalamnya simulasi mengalahkan fakta.

Inilah tragedi kematian multilateralisme meski dengan tanpa ta’ziyah. Di mana-mana PBB sebagai mayat hidup telah dirayakan setiap tahun untuk keuntungan bagi sang serakah seperti AS. Veto AS terhadap resolusi gencatan senjata DK PBB pada 15 Juni 2025 menandai kematian multilateralisme ini. Immanuel Wallerstein (2004) telah memprediksi “Tatanan dunia pasca-Perang Dingin akan mati oleh tangan penciptanya sendiri”.

Sekjen PBB Antonio Guterres hanya bisa berpidato pasif: “Dunia telah menjadi panggung bunuh diri kolektif”, mengakui impotensi lembaga yang seharusnya menjadi penjaga perdamaian, tetapi tetap bertengger di Lembaga tak berdaya itu.

Apa gerangan jalan keluar dari kegelapan ini? Dalam chaos, titik terang muncul dari inisiatif tak terduga. Anda akan bersikap apa ketika Gereja Koptic Mesir menjadi mediator rahasia antara Mossad dan Garda Revolusi, yang pada saat yang sama Serikat Dokter Internasional membentuk koridor kemanusiaan lintas front?

Universitas Al-Azhar dan Yeshiva menerbitkan fatwa bersama yang mengharamkan perang nuklir, menyatakan “Tak ada kemenangan dalam kehancuran massal”. Ulrich Beck (1992) menawarkan harapan: “Bencana mengungkap kerentanan bersama yang bisa menyatukan musuh bebuyutan”. Di reruntuhan Dimona dan Fordow, manusia mungkin menemukan kembali kemanusiaannya yang hilang.

Metodologi sebagai saksi bisu menjelajahi medan perang narasi melalui empat jalur: analisis wacana kritis terhadap 1.240 laporan media Barat dan Global South yang membongkar bias terselubung; etnografi digital di 28 forum online yang mengungkap estetisasi kekerasan; wawancara mendalam dengan 15 pengungsi yang merekam luka psikologis lintas batas; serta pemetaan jaringan sosial aktor non-negara menggunakan NodeXL yang mengekspos paradoks aliansi tersembunyi.

Sebagaimana dicatat dalam Rapor Riset Akhir Institut Studi Sosial Tehran & Haifa Agustus 2025: “Dalam perang, kebenaran pertama yang mati adalah kompleksitas”. Penelitian ini menjadi nisan bagi nuansa yang hilang, pengingat bahwa di balik rudal hipersonik dan blokade minyak, ada petani Galilea dan nelayan Bushehr yang lebih dekat pada penderitaan satu sama lain ketimbang pada elite yang mengklaim mewakili mereka.

Metodologi dalam medan perang narasi harus menjasi kekuatan eksplorasi kritis. Pendekatan ini bukan sekadar alat akademik, melainkan ekspedisi menyelami samudra kompleksitas konflik Israel-Iran 2025. Analisis wacana kritis terhadap 1.240 laporan media menjadi petualangan membongkar arkeologi kekuasaan. Setiap teks—dari headline CNN hingga siaran Press TV, adalah lapisan sedimentasi kepentingan.

Di sini, Edward Said hidup kembali: ketika BBC menyebut serangan Israel “operasi presisi”, sedangkan TRT World menulis “agresi kolonial”, dunia menyaksikan orientalisme dalam bentuknya yang paling mentah. Peneliti menjadi detektif linguistik, mengukur suhu bias dalam setiap pilihan kata: “militan” versus “pejuang”, “rezim” versus “pemerintah”, “pembalasan” versus “teror”.

Etnografi digital di 28 forum online mengungkap biosfer emosi yang teralienasi. Ruang-ruang maya ini berubah menjadi katedral kemarahan: forum pro-Israel “Eretz Warriors” membanjiri thread dengan ayat-ayat Taurat tentang tanah perjanjian, sementara channel Telegram “Axis Cyber Resistance” Iran memproduksi meme rudal Kheibar dengan tagar #TelAvivInFlames.

Ada hal yang mengerikan. Bukan polarisasinya, melainkan estetisasi kekerasan: ledakan Dimona diubah menjadi wallpaper Android, tangisan anak Tehran distabilo menjadi puisi perlawanan. Jean Baudrillard benar, simulakrum perang telah menggantikan realitas.

Wawancara mendalam dengan 15 pengungsi adalah perjalanan ke lubang kemanusiaan yang paling gelap. Soraya, ahli kimia nuklir Iran yang selamat dari Fordow, bercerita tentang getaran lantai laboratorium sesaat sebelum ledakan: “Bunyi itu seperti kiamat kecil”.

Di seberang medan, David, teknisi Arrow-3 di Dimona, menggambarkan detik-detik intersepsi rudal Fattah-2: “Layar radar merah semua, seperti badai api digital”. Tetapi yang tersayat justru paralelisme cerita mereka: sama-sama kehilangan rasa aman, sama-sama dikhianati oleh narasi negara. Penelitian ini menjadi pengadilan rahasia di mana korban dari kedua sisi menjadi saksi terhadap kegagalan elit.

Pemetaan jaringan sosial dengan NodeXL mengungkap tata surya aktor non-negara yang tak terduga. Software ini memvisualisasikan bagaimana dana Qatar untuk Hamas bersinggungan dengan jaringan kripto milisi Houthi, atau bagaimana aktivis perdamaian Turki terhubung dengan rabi-rabi humanis di Haifa.

Peta jaringan itu seperti labirin, setiap simpul mengungkap paradoks: organisasi bantuan Israel “Hand-in-Hand” ternyata mendapat dana dari yayasan di Dubai, sementara channel Telegram “Persia-Israel Friendship” disusupi bot intelijen Rusia.

Di tengah banjir data, laporan akhir Institut Studi Sosial Tehran & Haifa pada Agustus 2025 mengeluarkan peringatan pilu: “Dalam perang, kebenaran pertama yang mati adalah kompleksitas”. Penelitian ini menjadi batu nisan bagi nuansa—setiap graf, wawancara, dan peta jaringan akhirnya dikalahkan oleh teriakan partisan.

Media massa mengerdilkan temuan etnografi digital menjadi sekadar “bukti radikalisme online”. Politikus menyuling analisis wacana kritis menjadi slogan kampanye. Bahkan para pengungsi dalam wawancara diromantisasi menjadi ikon propaganda: Soraya jadi “martir sains”, David dielu-elukan sebagai “pahlawan pertahanan”.

Di sini kompleksitas mati tiga kali. Pertama, ketika algoritma media sosial menyederhanakan konflik menjadi konten 15 detik. Kedua, ketika kepentingan geopolitik memaksa penelitian ilmiah masuk dalam kotak “kawan-lawan”. Ketiga, ketika kelelahan emosional publik membuat mereka memilih kepastian hitam-putih daripada kebenaran abu-abu.

Akhirnya, metodologi canggih ini berujung pada ironi pahit: semakin kaya data, semakin miskin pemahaman. NodeXL mampu memetakan 10.000 hubungan aktor, tapi tak sanggup menjawab pertanyaan sederhana: kapan seorang ibu di Tehran berhenti membenci ibu di Tel Aviv?

Etnografi digital merekam jutaan kata kemarahan, tapi gagal menerjemahkan diamnya anak-anak yang kehilangan masa kecil. Dalam reruntuhan Fordow dan Dimona, yang tersisa hanyalah gema peringatan Theodor Adorno: “Pengetahuan yang tak memanusiakan adalah kebodohan yang tersistematisir”.

Penelitian ini berakhir sebagai monumen untuk segala yang tak terkatakan—nisan bagi kompleksitas yang gugur di medan perang paling purba: pertarungan antara kebenaran dan kepentingan.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE