Oleh Assoc Prof Dr Farid Wajdi, SH, MHum
Mundurnya dua pejabat tinggi bukan sekadar riak politik, itu adalah ledakan alarm atas kegagalan mendasar dalam seni memerintah.
Scroll Untuk Lanjut MembacaIKLAN
Ketika pejabat yang seharusnya menjadi pilar implementasi kebijakan memilih angkat kaki, yang tersisa bukan hanya kekosongan jabatan, tetapi jaringan kesalahan sistemik.
Jangan bermimpi menutup-nutupi hal ini sebagai masalah “kepribadian”; ini soal bagaimana kekuasaan dipraktikkan, apakah untuk melayani publik atau menegakkan dominasi personal?
Secara hukum-administratif, tindakan pejabat publik harus tunduk pada asas-asas umum pemerintahan yang baik: kepastian hukum, keterbukaan, proporsionalitas, dan kepentingan umum.
Bila seorang kepala daerah diduga memperlakukan bawahannya secara merendahkan atau sewenang-wenang di forum resmi, itu lebih dari pelanggaran etika, dan itu adalah potensi pelanggaran asas kepatutan dan bentuk maladministrasi yang merusak legitimasi tindakan administrasi berikutnya.
Keputusan yang lahir dari suasana takut dan tekanan psikologis dapat dipertanyakan keabsahannya; mereka berisiko menjadi dasar hukum yang rapuh dan rawan diuji di ranah pengawasan administratif ataupun perdata.
Lebih lanjut, gaya kepemimpinan yang dominan dan intimidatif menimbulkan biaya publik yang konkret. Birokrasi yang hidup dalam ketakutan tidak akan mengedepankan inovasi, melainkan kepatuhan pasif yang menghambat pelaksanaan program.
Anggaran tersendat, proyek melambat, serta potensi pembengkokan prosedur menjadi konsekuensi yang terukur—bukan sekadar retorika.
Dalam konteks ini, kegagalan manajerial berubah menjadi risiko hukum: pergeseran anggaran berulang dan praktik kontraktual yang terburu-buru meningkatkan eksposur terhadap penyimpangan dan penindakan koruptif.
Ada pula isu independensi fungsi pengawasan internal. Inspektorat dan badan kepegawaian seharusnya menjadi garansi akuntabilitas; bila lembaga-lembaga ini dilipat oleh logika kekuasaan, maka sistem kontrol internal runtuh.
Hasilnya bukan hanya hukum yang dilanggar, tapi kepercayaan publik yang terkikis — modal paling penting dalam legitimasi pemerintahan.
Ketika check-and-balance internal menjadi alat politik, tidak ada lagi pembaruan struktural yang berarti; hanya pergantian figur tanpa perubahan budaya.
Krisis ini menuntut respons hukum yang tegas sekaligus remedial administratif.
Pertama, perlu klarifikasi publik yang komprehensif mengenai alasan pengunduran diri pejabat: bukan sekadar pernyataan singkat, melainkan dokumen yang memaparkan fakta, proses, dan dasar hukum tindakan yang diambil pimpinan.
Kedua, penguatan mekanisme pengawasan internal harus menjadi prioritas: inspektorat dan lembaga terkait harus dipastikan punya akses, sumber daya, dan independensi untuk melakukan audit forensik kebijakan dan anggaran.
Ketiga, pembinaan etika administrasi dan kepemimpinan berbasis hukum harus diberlakukan wajib untuk semua pejabat eselon, bukan seminar seremonial, melainkan program evaluasi kinerja yang berkesinambungan dan transparan.
Kepemimpinan sejati diuji bukan oleh kekuatan untuk memaksa, melainkan oleh kapasitas untuk memelihara aturan.
Jika kekuasaan di daerah dibiarkan bertindak tanpa batas etika, negara hukum akan terkikis dari dalam.
Masyarakat tidak butuh penguasa yang pamer otoritas; ia butuh penyelenggara yang menegakkan hukum dan martabat manusia.
Bila tidak ada koreksi serius sekarang, yang tinggal hanya pemerintahan yang kuat di atas kertas, tetapi mati moral dan rapuh legalitasnya!
Etika publik bukan pelengkap; ia adalah prasyarat ketahanan hukum. Karena itu, setiap penyelenggara yang meremehkannya wajib dipanggil untuk mempertanggungjawabkan, secara politis, administratif, dan bila perlu, secara hukum.
Penulis adalah Founder Ethics Of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020)