Fenomena Demokrasi Politik Kotak Kosong

  • Bagikan
Fenomena Demokrasi Politik Kotak Kosong

Oleh: Taufiq Abdul Rahim

Perkembangan demokrasi politik menjelang pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak 27 Nopember 2024, memberikan warna tersendiri, meskipun derivasi politik secara nasional merujuk kepada dua kekuatan politik yang mengatur, campur atangan, intervensi kekuasaan yang demikian kentara. Akan tetapi menjadi persoalan tersendiri bagi calon kepala daerah, yaitu Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota, disebabkan partai politik pengusung, baik partai politik nasional maupun partai politik lokal berusaha untuk memperbesar secara kuantitatif yang terlibat untuk suatu calon kepala daerah tertentu.

Hal ini memberikan gambaran kehidupan sosial politik semakin menarik untuk dianalisis, dikaji dari berbagai perspektif demokrasi, bahwasanya secara sederhana mengartikan serta memaknakan demokrasi beragam pilihan yang ditentukan orang, individu, masyarakat untuk menentukan pilihan selaras dengan intuisi serta perasaan batin maupun hati nurani, ini merupakan perasaan psikologis. Karenanya dalam kehidupan demokrasi politik modern, tidak ada satu pihak, orang, kelompok, bahkan partai politik sekalipun memaksakan kehendak maupun keinginannya gara seseorang mesti, harus juga wajib memilih orang dan partai tertentu, jika secara rasional dan perasaan batinnya tidak menghendakinya. Demikian juga, jika tidak memilih juga dalam pemahaman serta pemaknaan demokrasi politik, hal ini juga dapat dikatakan sudah menentukan pilihan politik.

Makanya demokrasi dalam sistem politik Anthony Downs (1957) menyatakan, ambiguisitas menarik jumlah pemilih untuk sebisa mungkin bersikap abu-abu dalam pendirian mereka mengenai isu-isu yang kontroversial, merasa sudah saatnya untuk tidak bersikap ambigu, maka masing-masing pihak menjadi bersikap tegas dalam pendiriannya.

Sehingga dari pemahaman politik dan pilihannya menjadikan bahwa, berasumsi bahwa tujuan politik mereka adalah mencapai dan mendapatkan ruang kerja dan ruang gerak politik yang lebih besar, dengan memformulasi kebijakan untuk mencapai tujuannya. Hal ini menjuadikan rakyat memiliki pilihan rasional, yaitu tidak memilih merupakan penghargaan demokrasi politik akibat dari keraguan terhadap system politik yang diterapkan. Demikian juga kekecewaan yang berlakun terhadap sistem politik menjadikan rakyat sebagai pemilih bersikap serta berperilaku terhadap tidak memilih merupakan sikap demokrasi politik yang mesti dihargai oleh semua pihak, ini merupakan sikap sosial dan psikologis pemilih.

Demikian juga, sistem politik yang memperlihatkan praktik empiris bahwa partai politik hanya sekedar broker ataupun calo politik yang dikembangkan dengan adanya legitimasi peraturan yang diciptakan terhadap uapaya merusak demokrasi demi kepentingan oligarki ekonomi-politik. Hal ini juga diuntungkan oleh media yang terus memberikan dukungan serta memanfaatkan isu politik dan demokrasi terhadap calon atau kandidat dan partai politik yang memberikan dukungan secara signifikan. Seiring dengan perkembangan media massa yang semakin menjadi arena primer dari lingkungan publik. Maka menurut Garnham (1994), yaitu demokratisasi media telah diakui sebagai komponen penting dari demokratisasi politik penuh, mengemukakan bahwa institusi dan proses komunikasi publik sendiri merupakan bagian sentral dan integral dari struktur dan proses politik. Kemudian Bernett (1998) menekankan bahwa selama transisi politik, rancangan proses komunikasi menjadi sama pentingnya dengan rancangan institusi politik, ekonomi, dan sosial, hal ini sedikit telah diabaikan oleh para teorisi transisi. Hampir sama pula McChesney (dalam Bresnahan, 2003) menyatakan bahwa, untuk respon mengenai konsentrasi, konglomerasi dan transnasionalisasi media massa, hal yang terpenting adalah bagaimana media dikontrol, distrukturisasi, dan disubsidi seharusnya menjadi topik utama dalam perdebatan demokrasi. 
Dalam perkembangan sistem demokrasi politik yang didukung oleh media massa, maka pernyataan Jakubowicz (1995a: 33-34) hanya media kecil yang yang memberi perlawanan penting kepada rezim otoriter dan berperan sebagai agen civil society dalam proses pembentukannya dan juga tahap pelaksanaannya. Ketika demokrasi tercapai, menurut Vreg (1955), adalah, mereka berperan dalam distribusi kekuatan komunikasi diantara kelompok sosial (politik, ekonomi, etnis, budaya, agama, dan sebagainya) dan memainkan peran khusus dengan mengekspresikan sikap, kebutuhan, kepentingan dan aspirasi dari sektor sosial pada tingkat lokal.

Sehingga pilihan rasional rakyat yang tidak memilih juga berlaku dan berharap adanya kotak kosong dalam pemilihan umum sebagai ekspresi demokrasi politik, karena menentukan pilihan berdasarkan kekecewaan demokrasi politik dan ketidakadilan, hal ini diyakini sangat rasional dalam praktik demokrasi politik modern.

Pada dasarnya hal ini sangat dikhawatirkan oleh para elite politik, partai politik, para oligarki ekonomi-politik pendukung konspirasi politik mengharapkan bahwa, legitimasi politik berdasarkan partisipasi politik yang menentukan secara kalkulasi kuantitatif pilihan politik peserta pemilu.

Sesungguhnya mereka mengharapkan keikutsertaan rakyat dalam pilihan politik (tidak memilih) atau pendukung kotak kosong akan mengurangi legitimasi poltik pada saat pemilihan umum berlangsung. Sehingga melalui media massa terus berupaya memperkuat promosi dan pesan sponsor agar agar peserta yang ikut berpartisipasi secara politik dan menolak kotak kosong, juga sebagai simbol perlawan rakyat terhadap legitimasi politik mendapatkan berbagai tuduhan, demikian juga diasumsikan melanggar hukum dan tuduhan makar, juga usaha untuk menggagalkan pemilihan umum. Meskipun demokrasi politik yang diciptakan tidak sebagaimana yang sesungguhnya dipahami, juga demokrasi dibangun hanya menguntung elite politik, partai dan oligarki ekonimi-politik untuk tetap berkuasa.

Dengan demikian perilaku memilih menjadi suatu yang krusial serta pembahasan penting, ini merupakan pilihan pribadi terhadap kandidat yang bersaing juga dukungan terhadap partai politik yang berkoalisi, pemilihan ini memiliki nilai manfaat yang ditentukan oleh pemilih terhadap calon dan pasangan calon ataupun kandidat yang ada. Pemahaman John Rawls (2019) yaitu, pilihan rasional itu karena adanya argumentasi terhadap keadilan, kesetaraan dan hak masing-masing manusia dan moralitas yang dimiliki oleh setiap manusia. Sehingga yang memiliki kecerdasan dan rasional berfikir akan menentukan pilihan politiknya dengan tidak memilih, dan atau akan menentukan kotak kosong terhadap pilihan yang sangat rasional sebagai cerminan terhadap keadilan yang selama ini tidak diperoleh dalam kehidupan manusia, juga setiap masing-masing manusia berdasarkan keadilan, kesetaraan dan tuntutan moralitas serta etika yang terabaikan oleh pemangku kekuasaan ataupun rezim pemerintah yang berkuasa secara politik dari pilihan demokrasi yang melanggar aturan dan etika-moral.

Sehingga prinsip tuntutan keadilan, kesetraan dan moralitas sebagai perlawanan rasional mesti dihargai sebagai pilihan politik demokrasi modern yang menghargai manusia serta hak azasi manusia yang dilanggar serta diabaikan selama ini. Dikarenakan demokrasi politik yang dibangun selama ini untuk kepentingan oligarki ekonomi-politik, elite kekuasaan dan partai politik yang mengharapkan adanya legitimasi kekuasaan yang bersembunyi dibelakang sistem demokrasi. Hal ini semakin memperkuat ambisi dan nafsu politik yang mengharapkan pengakuan ataupun legitimasi rakyat, bahwa kekuasaan yang dimiliki dan direbut dengan menghalalkan segala cara, menjadikannya media pelaksaan pemilihan umum sebagai pengakuan yang berasal dari rakyat secara luas. Jika terjadi perlawan dengan tidak memilih ataupun berpartisipasi, juga memenangkan kotak kosong maka pengakuan ataupun legitimasi politik dari rakyat sangat rendah. Hal ini sangat ditakutkan oleh rezim kekuasaan, elite politik serta partai politik bersama dengan para oligarki, maka upaya untuk menjadikan serta memanfaatkan pemilihan umum diharapkan agar rakyat semaksimal mungkin untuk mengikuti pemilihan umum, juga pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang telah disetting sedemikian rupa, dan telah ada pemenangnya yang dirancang sejak awal.  

Karenanya pilihan rakyat tidak memilih dan atau memilih kotak kosong ini merupakan pilihan serta ekspresi demokrasi politik yang mesti dihargai, karena ini dianggap pilihan rasional berdasarkan kondisi kekecewaan serta perlawanan politik rakyat yang selama ini diabaikan hak-hak azasi serta keadilan, kesetaraan dan moralitas yang dengan sengaja dilanggar demi kekuasaan yang dimiliki oleh rezim sebagai penguasa politik. Demikian juga banyak hal termasuk taraf kemakmuran serta kesejahteraan yang adil dan merata hanya sebagai jargon politik negara yang sama sekali tidak pernah terealisasikan. Kemudian ditambah lagi dengan berbagai janji politik yang selama ini tinggal janji, para politisi, elite poilitik, partai politik dan elite kekuasaan negara mangabaikannya, juga cuai terhadap janji yang pernah dikemukakan. Ini kemudian berulang kali dijanjikan lagi, maka konsekwensinya rakyat berhak melakukan pilihan rasional politik, baik tidak memilih ataupun memenangkan kotak kosong sebagai pilihan politik rasional dalam demokrasi politik modern.
Karena itu, dalam praktik pelaksana pemilihan umum dan Pilkada bahwa, hal ini hanya terbatas pada kalkulasi keuntungan terhadap kandidat semata. Dimana hal ini kalkulasi terhadap kandidat, menurut Adams dkk (2006), memiliki kelemahan dalam mengkaji penyebab voters abstention. Sehingga adanya ketidaktertarikan terhadap kandidat, dan juga kandidat yang memaksakan kehendak cenderung membuat pemilih tidak menggunakan hak pilihnya. Meskipun begitu, menurut Mujani, Liddle dan Ambardi (2011), rasa kewajiban berwarganegara cenderung membuat kegiatan penggunaan hak pilih menjadi tidak rasional. 

Karena itu pemilih yang kurang memiliki akses informasi cendrung menggunakan hak pilihnya   dibanding orang yang memiliki informasi yang memadai/cukup. Dengan demikian pemilihan teori perilaku rasional dalam mengkaji perilaku tidak memilih ini didasarkan pada problematika yang terdapat pada perilaku memilih sosiologis dan psikologis. Pada dasarnya dipahami secara rasional bahwa, pemilihan umum dan Pilkada yang hanya menguntungkan sekelopmpok orang, elite politik, partai politik, oligarki ekonomi-politik melalui usaha menyalurkan kapitalisasi atau modal politik terhadap calon/kandidat. Namun demikian setelah menduduki jabatan dan kekuasaan politik rakyat ditinggalkan berulang seperti yang lalu.

Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Aceh dan Peneliti Senior Political and Economic Research Center/PEARC-Aceh


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Fenomena Demokrasi Politik Kotak Kosong

Fenomena Demokrasi Politik Kotak Kosong

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *