Oleh: Farid Wajdi
Hujan yang merendam Sumatera bergerak seperti pengingat keras betapa rapuh bentang ekologis setelah bertahun-tahun ditekan oleh pola pembangunan yang enggan menahan diri.
Scroll Untuk Lanjut MembacaIKLAN
Sungai meluap, perumahan hanyut, ribuan orang berpindah ke tenda-tenda darurat. Di tengah kekacauan itu, solidaritas publik melesat lebih cepat dibanding prosedur birokrasi.
Media memotret gerakan spontan yang menyebar luas: “rakyat bantu rakyat,” begitu frase yang berulang dalam banyak laporan. Narasi yang menenteramkan sekaligus menyentil; lapisan masyarakat tampil sebagai garda pertama pertolongan, bukan instrumen negara.
Respons cepat warga menyajikan mosaik kemanusiaan yang tidak dibentuk oleh protokol, melainkan oleh empati yang bekerja tanpa perintah. Mahasiswa mengoordinasikan logistik, komunitas lokal membuka dapur umum, relawan melintasi provinsi tanpa menunggu legitimasi formal.
Dalam pandangan antropolog bencana, Adrian Vickers (2023), solidaritas semacam ini sering mencerminkan intuisi kolektif yang lebih tangkas daripada aparat negara dalam 72 jam pertama krisis. Fenomena itu kembali terulang di Sumatera.
Di balik kegigihan tersebut, muncul ironi yang sulit diabaikan. Filantropi publik bekerja menambal celah yang berasal dari kerusakan ekologis struktural. Akar bencana tidak bergerak secara misterius. Alih fungsi hutan, penimbunan rawa gambut, dan tata ruang yang melawan kontur alam menjadi generator banjir yang berulang.
Ekolog FWI, Achmad Surambo (2024), menegaskan keterkaitan langsung antara degradasi hutan dan intensitas banjir, sebuah hubungan kausal yang seharusnya sudah menjadi bahan koreksi kebijakan.
Setiap bantuan yang tiba mengandung dua sisi: kemurahan hati sekaligus pengingat terhadap kelalaian kolektif yang diproduksi melalui perizinan yang longgar dan penegakan hukum yang ragu-ragu.
Gerak lembaga filantropi besar memperlihatkan kapasitas masyarakat sipil menghadapi bencana. Puluhan ribu paket bantuan disalurkan oleh organisasi kemanusiaan nasional, pos-pos kesehatan darurat didirikan, dan jaringan relawan bekerja melewati batas administratif.
Laporan Republika (2025) menggambarkan penyebaran logistik di wilayah terdampak sebagai operasi non-negara paling terkoordinasi sepanjang banjir tahun ini. Namun kecepatan distribusi tidak menghapus pertanyaan struktural: mengapa publik harus membiayai dampak dari tata kelola ekologis yang bermasalah?
Ruang inilah yang sering tidak dibaca dalam euforia filantropi kebencanaan. Kerentanan ekologis lahir dari keputusan-keputusan yang mereduksi fungsi hutan, mengizinkan ekstraksi skala besar, dan menempatkan keuntungan ekonomi di atas daur air dan keselamatan publik. Dalam studi kebijakan bencana,
Piers Blaikie (2019) menyebut situasi seperti ini sebagai “risiko terproduksi”, yaitu risiko yang dihasilkan oleh keputusan manusia, bukan semata gejala alam. Filantropi menenangkan luka jangka pendek, tetapi tidak otomatis memulihkan struktur yang membuat luka itu terus terbuka.
Dimensi fikih memberi bingkai moral atas kegentingan ini. Prinsip lā ḍarar wa lā ḍirār melarang setiap praktik yang menimbulkan kerusakan dan mencederai kemaslahatan publik.
Kerusakan ekologi akibat eksploitasi berlebihan masuk dalam kategori pelanggaran terhadap ḥifẓ al-nafs dan ḥifẓ al-bi’ah yang berkembang dalam literatur fikih kontemporer.
Menurut Yusuf al-Qaradawi (2001), perlindungan lingkungan tidak sekadar isu etis, melainkan bagian dari pemeliharaan maqāṣid yang melandasi struktur hukum Islam. Prinsip itu menempatkan bencana ekologis sebagai kegagalan moral sekaligus kegagalan hukum.
Pada ranah positif, hukum lingkungan Indonesia sebenarnya menyediakan perangkat korektif. UU 32/2009 menegaskan pencegahan kerusakan lingkungan sebagai kewajiban negara, serta memberi dasar sanksi administratif, perdata, dan pidana terhadap pelanggaran.
Dalam praktiknya, banyak instrumen hukum berhenti sebagai arsip normatif. Pengawasan izin lemah, audit lingkungan jarang menimbulkan konsekuensi, dan praktik korporasi sulit dijerat melalui jalur litigasi. Relasi timpang antara masyarakat, perusahaan, dan negara menciptakan ruang abu-abu yang kemudian ditambal oleh filantropi spontan.
Solidaritas publik tidak patut dikerdilkan. Di dalamnya hidup energi moral yang menyelamatkan manusia pada waktu paling genting. Namun solidaritas ini membutuhkan kanal yang lebih strategis. Bantuan darurat dapat menjadi pintu awal menuju transformasi kebijakan ekologis.
“Filantropi bencana perlu bergeser dari karitatif menuju struktural,” ujar pakar pembangunan berkelanjutan, Helga Nowotny (2022).
Pergeseran itu memungkinkan donasi bertransformasi menjadi program restorasi hulu sungai, perlindungan kawasan lindung, pendampingan mitigasi bencana, serta edukasi ekologi di sekolah-sekolah.
Beberapa organisasi telah memulai langkah ke arah ini. Skema donasi diarahkan untuk reboisasi, pemetaan risiko longsor, dan pembentukan kelompok siaga bencana berbasis komunitas.
Pendekatan seperti ini selaras dengan semangat fikih ekologis yang menekankan pencegahan (dar’u al-mafāsid) sebelum penanggulangan. Kerja kemanusiaan tidak berhenti pada tenda darurat, tetapi merambah upaya mengembalikan keseimbangan ekologis.
Patungan membeli hutan, gagasan yang berhembus di media sosial, menjadi simbol kritik sekaligus keresahan kolektif terhadap masa depan ekologis. Gagasan itu mungkin tidak sepenuhnya realistis, tetapi merefleksikan dorongan publik untuk mengambil alih peran yang seharusnya dijalankan negara.
Ketua DPR RI, Puan Maharani, menanggapi wacana ini pada 2025 sebagai bentuk “kekecewaan publik yang harus dibaca secara serius, bukan dirayakan sebagai kreativitas semata”. Respons tersebut memperjelas jarak antara kebutuhan ekologis dan kesiapan politik.
Pada akhirnya, filantropi kebencanaan menawarkan cermin dengan dua sisi. Sisi pertama menampilkan wajah masyarakat yang menolak menyerah pada tragedi. Sisi kedua memperlihatkan struktur yang membiarkan tragedi itu berulang. Solidaritas publik memperlihatkan denyut kemanusiaan yang kuat, tetapi tidak dapat menggantikan kewajiban negara dan korporasi dalam menjaga ruang hidup.
Ketahanan ekologis menuntut lebih dari gelombang donasi; ia memerlukan penegakan hukum yang tegas, integritas tata ruang, dan etika pembangunan yang memikirkan masa depan lebih panjang daripada kalender investasi.
Air akan surut. Tenda-tenda darurat akan dibongkar. Namun ingatan publik tidak seharusnya surut bersama arus. Filantropi kebencanaan layak ditata ulang sebagai kekuatan yang menembus batas karitas: memperkuat advokasi lingkungan, mendorong reformasi hukum, dan menuntut tanggung jawab struktural.
Ketika solidaritas berubah menjadi gerakan ekologis berjangka panjang, Sumatera tidak terus-menerus menjadi halaman depan bencana.
Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU











