Oleh: Farid Wajdi
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai larangan penempatan anggota Polri aktif dalam jabatan sipil memberikan kejelasan yang tidak menyisakan ruang perdebatan.
Scroll Untuk Lanjut MembacaIKLAN
Mahkamah menilai frasa yang memungkinkan polisi aktif mengisi posisi sipil bertentangan dengan prinsip-prinsip UUD 1945.
Setelah MK menjatuhkan putusan, seluruh lembaga negara wajib tunduk. Tidak tersedia celah untuk menunda, merumuskan tafsir alternatif, atau mencari pembenaran administratif guna mempertahankan kondisi sebelumnya.
Sistem ketatanegaraan Indonesia menempatkan putusan MK sebagai keputusan final serta mengikat seluruh institusi tanpa pengecualian.
Reaksi pascaputusan justru menimbulkan persoalan baru. Beberapa pejabat mengemukakan kebutuhan melakukan kajian tambahan, menyebut putusan tidak bersifat retroaktif, atau menyatakan pejabat Polri aktif yang telah berada dalam jabatan sipil tidak wajib mengundurkan diri.
Pendapat semacam ini mereduksi kekuatan putusan konstitusional dan mengaburkan batas kewenangan lembaga eksekutif. Kesan yang muncul: pemerintah setengah hati menjalankan prinsip negara hukum.
Ketika pejabat publik lebih sibuk mencari rasionalisasi birokratis daripada menjalankan perintah konstitusi, integritas struktur kenegaraan menjadi taruhannya.
Kekuatan putusan MK bersifat erga omnes. Seluruh entitas negara, termasuk Presiden, kementerian, lembaga pemerintah, serta pejabat publik, terikat tanpa syarat. Norma undang-undang yang dibatalkan langsung kehilangan kekuatan mengikat sejak hari putusan diucapkan. Proses administratif tidak boleh menghalangi efektivitas putusan.
Perintah MK berlaku otomatis tanpa perlu menunggu revisi undang-undang atau aturan pelaksana. Ketika pejabat negara meminta waktu panjang untuk “mengaji ulang”, hal itu justru memperlihatkan ketidakpahaman terhadap karakter kontrol konstitusional.
Pernyataan yang menyebut putusan tidak berlaku surut sering dijadikan alasan untuk mempertahankan polisi aktif dalam jabatan sipil. Pemahaman seperti ini menyimpang dari esensi putusan.
Mahkamah tidak memerintahkan sanksi ataupun pencopotan, melainkan menetapkan syarat untuk setiap anggota Polri yang ingin menempati posisi sipil. Syarat tersebut mewajibkan mereka keluar dari keanggotaan Polri. Bila seseorang hendak melanjutkan tugas sebagai pejabat sipil, ia dapat melepaskan status keaktifannya. Bila tidak hendak keluar dari kepolisian, ia perlu kembali ke institusi asal. Konsekuensi ini tidak dapat dinegosiasikan.
Upaya mempertahankan pejabat Polri aktif hingga masa jabatan berakhir hanya akan menimbulkan preseden keliru. Negara seolah mengizinkan pelanggaran prinsip karena sudah terlanjur terjadi.
Konsep “terlanjur menjabat” tidak dapat menyingkirkan superioritas norma konstitusi. Ketika suatu ketentuan dinyatakan inkonstitusional, praktik yang bergantung pada ketentuan tersebut harus dihentikan. Pemutusan hubungan antara aparat keamanan aktif dan jabatan sipil menjadi langkah yang selaras dengan putusan.
Pengisian jabatan sipil oleh aparat keamanan aktif mengandung risiko serius bagi kesehatan demokrasi serta profesionalisme administrasi publik. Struktur birokrasi sipil dibangun untuk dijalankan oleh sumber daya manusia yang berakar pada kultur pelayanan administratif, bukan kultur komando.
Kehadiran aparat bersenjata dalam jalur sipil menciptakan conflict of interest, memperbesar kemungkinan politisasi aparat, serta merusak garis batas fungsi negara. Ketika batas tersebut kabur, masyarakat kehilangan jaminan bahwa kebijakan publik digarap secara profesional dan bebas dari orientasi koersif.
Pemerintah sering menyampaikan kekhawatiran mengenai gangguan operasional jika pergeseran jabatan dilakukan seketika. Kekhawatiran tersebut wajar, namun tidak dapat meniadakan kewajiban menegakkan putusan MK.
Negara memiliki banyak perangkat untuk melakukan transisi cepat tanpa menggerus substansi putusan.
Presiden dapat menugaskan kementerian terkait memetakan posisi terdampak, menunjuk pelaksana tugas dari unsur sipil profesional, serta menetapkan batas waktu transisi administrasi yang ketat.
Langkah-langkah ini menunjukkan keseriusan pemerintah menjaga ketertiban birokrasi sekaligus mematuhi konstitusi.
Sikap ragu-ragu pemerintah menimbulkan kesan bahwa eksekutif berupaya menyeimbangkan tuntutan konstitusi dengan tekanan politik dan kenyamanan institusional.
Ketika pejabat negara menyatakan perlu berdiskusi panjang atau menunggu analisis tambahan, publik menangkap pesan yang tidak menguntungkan: konstitusi tampak tidak berada di urutan pertama dalam daftar prioritas.
Padahal, dalam sistem presidensial, kepala pemerintahan memikul kewajiban penuh menjaga kesetiaan seluruh kebijakan publik terhadap UUD Negara RI Tahun 1945.
Presiden memiliki kewenangan eksekutif yang cukup luas untuk menerapkan putusan MK secara langsung. Instruksi penarikan anggota Polri aktif dari jabatan sipil dapat dikeluarkan tanpa menunggu persetujuan lembaga lain.
Bagi pejabat Polri yang ingin tetap menjalankan posisi sipil, Presiden dapat memberikan opsi resmi untuk berhenti dari keanggotaan Polri. Bila pilihan tersebut tidak diambil, penugasan di jabatan sipil harus dihentikan. Tidak terdapat opsi ketiga yang sah. Kejelasan ini menyisakan ruang minimal bagi kekacauan administratif.
Peristiwa ini seharusnya menjadi momentum mempertegas kembali otoritas sipil atas struktur negara. Indonesia menempatkan supremasi konstitusi sebagai pijakan utama. Demokrasi berjalan stabil ketika fungsi keamanan, politik, dan administrasi dipisahkan secara tegas.
Aparat keamanan menjalankan fungsi penegakan hukum serta pemeliharaan ketertiban; administrasi sipil menyelenggarakan layanan publik. Penyatuan dua fungsi tersebut dalam satu individu menimbulkan risiko yang sulit dikendalikan.
Putusan MK hadir sebagai jangkar ketertiban konstitusional, terutama di tengah dinamika politik yang sering memunculkan tekanan populis. Ketidakpatuhan terhadap putusan MK tidak sekadar pelanggaran prosedural. Ketidakpatuhan itu merusak legitimasi mekanisme kontrol konstitusional, melemahkan kepercayaan publik, serta mengancam kepastian hukum.
Konstitusi menjadi tidak lebih dari dokumen simbolis bila lembaga negara mengabaikan kewajiban menaatinya.
Implementasi putusan ini merupakan ujian kedewasaan demokrasi Indonesia. Pemerintah perlu menunjukkan bahwa supremasi konstitusi tidak dapat dinegosiasikan. Penegakan putusan MK akan memperjelas batas kekuasaan, membangun disiplin etika jabatan publik, dan mengembalikan ruang birokrasi sipil kepada profesional sipil.
Putusan MK telah memberikan arah. Tanggung jawab pemerintah saat ini adalah menjalankannya secara konsisten, tanpa ambiguitas, tanpa negosiasi, tanpa mencari kompromi yang merusak esensi putusan.
Konstitusi menyediakan kepastian. Eksekutif perlu memastikan kepastian itu bekerja dalam praktik penyelenggaraan negara.
Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU












