Oleh : Muhammad Hatta
Aceh adalah tanah anugerah: kaya migas, mineral, laut, dan hutan yang seakan tak pernah kehabisan daya. Namun sejarah berulang kali mengingatkan bahwa kekayaan alam bukanlah jaminan kemajuan. Keberhasilan sebuah daerah ditentukan bukan oleh apa yang tersimpan di dalam bumi, melainkan oleh kejernihan visi pemimpinnya dalam merancang masa depan secara sistematis, terukur, dan berjangka panjang.
Scroll Untuk Lanjut MembacaIKLAN
Di sinilah foresight menemukan relevansinya. Foresight bukan ramalan dan bukan pula tebakan kebijakan. Ia adalah disiplin untuk membaca tren perubahan, menyusun skenario, serta merumuskan langkah antisipatif. Tanpa foresight, pembangunan terjebak pada reaksi jangka pendek. Dengan foresight, sebuah daerah dapat menata masa depannya dengan ketenangan strategis.
Aceh kini berada pada persimpangan penting. Ketergantungan pada sektor ekstraktif membuat perekonomian daerah mudah terpengaruh perubahan teknologi dan transisi energi global. Di saat dunia bergerak menuju ekonomi hijau dan industri bernilai tambah, Aceh perlu menyiapkan langkah baru agar tidak tertinggal oleh arus perubahan yang semakin cepat.
Namun Aceh memiliki modal politik yang kuat dan signifikan. Gubernur Aceh, Muzakir Manaf atau Mualem, memiliki hubungan yang harmonis dengan Presiden, Kabinet Merah Putih, serta DPR RI. Kedekatan ini bukan sekadar simbol, tetapi kanal strategis untuk mempercepat agenda pembangunan, mengamankan dukungan pusat, dan membuka kolaborasi lintas kementerian, sebuah peluang yang jarang hadir sebelumnya.
Tetapi kedekatan politik saja tidak cukup. Ia harus ditopang oleh kerangka foresight yang kokoh. Aceh memerlukan skenario jangka panjang yang memetakan arah teknologi, dinamika energi, perubahan pasar global, dan kebutuhan generasi mendatang. Tanpa itu, hubungan pusat-daerah berisiko berhenti pada rutinitas administratif, bukan menjadi akselerator transformasi.
Transformasi Aceh harus bertumpu pada manusia. Tanpa tenaga kerja terampil, investasi hanya akan singgah tanpa menghasilkan nilai. Perguruan tinggi, politeknik, dan lembaga vokasi di Aceh memegang peran penting dalam menyiapkan SDM yang mampu mengisi industri energi, maritim, manufaktur, dan ekonomi digital. Foresight mengingatkan bahwa manusia bukan komoditas, tetapi aset utama.
Tata kelola pembangunan juga menuntut transparansi dan keberpihakan pada masyarakat. Kekayaan alam hanya memberi manfaat bila dikelola secara terbuka dan inklusif. Dengan relasi yang kuat antara Aceh dan pemerintah pusat, peluang untuk memperbaiki regulasi, mempercepat birokrasi, dan memperkuat pengawasan menjadi lebih terbuka. Foresight memastikan setiap kebijakan tidak lahir karena tekanan sesaat, melainkan visi jangka panjang.
Di era global, tidak ada daerah yang maju sendirian. Aceh perlu memanfaatkan momentum politik untuk menjalin kemitraan nasional dan internasional, mulai dari energi baru, hilirisasi sumber daya, hingga kerja sama riset dan teknologi. Hubungan Gubernur dengan pusat memberi Aceh posisi tawar yang lebih kuat dalam menjemput peluang ini.
Foresight pada hakikatnya adalah kesiapan mental sebuah daerah untuk menyongsong masa depan. Ia menuntut keberanian melepaskan ketergantungan lama dan berpindah menuju ekonomi bernilai tambah, inovasi, dan kreativitas. Aceh yang baru bukanlah Aceh yang menunggu perubahan, tetapi Aceh yang menginisiasi perubahan.
Dengan kepemimpinan yang memiliki jaringan politik nasional, arah pembangunan yang konsisten, dan kerangka foresight yang matang, Aceh memiliki peluang besar untuk melompat jauh. Jika foresight diterapkan dengan sungguh-sungguh, Aceh tidak hanya bergerak maju, melainkan tumbuh sebagai teladan bagaimana daerah kaya sumber daya dapat bertransformasi menjadi daerah kaya gagasan, inovasi, dan peradaban.
Penulis adalah Mahasiswa Doktoral UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe












