Oleh Shafwan Hadi Umry
Tonny Pollard guru bahasa Indonesia di Australia tidak dapat menyembunyikan kesedihannya ketika menceritakan pengalamannya bahwa ada kepala sekolah tempat ia mengajar memperkenalkan bahasa Jepang dan menghilangkan bahasa Indonesia.
Siapa bisa menduga dampak kegiatan pertukaran pelajar antarbangsa dapat membentuk suatu pengenalan budaya termasuk aspek bahasanya. Hal ini telah dialami Toni Pollard, seorang ibu guru Australia yang sejak tahun 1960 mengajarkan bahasa Indonesia di sekolah dan Universitas terutama di Sydney.
Beliau mengenal bahasa Indonesia pertama kali ketikatahun 1973 yang lalu mengikuti program pertukaran pelajar (AFS) ke Amerika. Di sana ia bertemu dengan dua gadis Indonesia asal Semarang yang memperkenalkan kebudayaan Indonesia khususnya melalui tari-tarian, makanan dan sudah tentu bahasa Indonesia.
Pada program pelajaran di Universitas Amerika Serikat ketika itu ditawarkan mata pelajaran pilihan antara lain bahasa Malaysia dan bahasa Indonesia. Beliau memilih bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran yang harus dikuasai.
Setelah kembali ke Australia ia merupakan orang pertama yang mengajarkan bahasa Indonesia di SMA Sydney. Tahun 1967 bahasa Indonesia mulai dipelajari orang Australia di tingkat SMP, SMA, Universitas dan kursus intensif yang khusus diberikan kepada calon tenaga kerja sukarelawan yang ingin ke Indonesia.
Kesadaran geografis dan wawasan internasional yang lebih terbuka membantu pandangan baru bagi Australia terhadap Indonesia. Sebagai negara tetangga yang dekat di Asia akhirnya Australia memutuskan memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua yang diajarkan di sekolah. Dulu, bahasa kedua yang diajarkan adalah bahasa Latin dan bahasa Perancis yang mengacu kepada pendidikan di Inggris bahwa tetangga terdekat negara Inggris adalah kedua bahasa Melayu.
Kini kesadaran lingkungan bertentangga yang lebih dekat ke Asia menyebabkan bahasa-bahasa yang dipakai di Asia (Piliphina, Jepang, Korea, Malaysia) tersebut diajarkan sebagai bahasa pilihan.
Masyarakat Australia adalah multikultural karena sejak dulu kaum imigran banyak menetap di benua tersebut. Kaum imigran itu berasal dari Eropa, Asia, Yunani Belanda, Jerman, Rusia dan Chili. Posisi bahasa Indonesia di Australia termasuk bahasa yang kesembilan yang diajarkan di antara berbagai bahasa di Canberra dan bahasa yang kesebelas yang diajarkan di New Shouth Wales (NSW), Sydney.
Bahasa-bahasa lain yang diajarkan di Australia adalah bahasa Jepang, bahasa Mandarin, bahasa Jerman, bahasa Perancis. Misalnya di Sydney enam puluh SMP menggunakan bidang studi bahasa Indonesia, sementara di SD pelajaran bahasa Indonesia belum memiliki program yang resmi. Tujuan lain dari belajar bahasa Indonesia adalah agar para turis yang datang ke Indonesia lebih memahami aspek kultural masyarakat Indonesia dan lebih bertanggungjawab dalam antar lintas komunikasi budaya kedua negara.
Masyarakat intelektual Australia sangat mengagumi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang mayoritas penggunaannya terbesar lebih kurang sampai saat ini 287 juta jiwa. Suatu keberungan dan kebanggaan bagi Indonesia dibandingkan bahasa Asia (India dan Pilipina) yang masih memiliki masalah dengan bahasa nasionalnya.
Dewasa ini sebagaimana halnya di Indonesia, di Sydney orang sudah mampu menjual keterampilan bahasa asing melalui kursus-kursus bahasa untuk tujuan dan kepentingan tertentu. Di Sydney ada sekolah terbuka yang mempelajari bahasa Indonesia. Sistem pengajaran menggunakan pelatihan berbahasa dalam topik berbelanja, bepergian ke luar kota, dan kehidupan sehari-hari.
Pengajaran bahasa Indonesia di Sydney berfokus pada pengalaman yang terjadi di kelas, ke pengalaman yang dibawa ke kelas dan juga pengalaman yang dapat dari membaca (sastra). Bahasa dipelajari dan dipakai ketika siswa berbicara, membaca dan menulis hal-hal yang berkaitan dengan mereka. Namun, seperti halnya di Indonesia anak-anak Australia sekarang kurang berminat mempelajari bahasa asing di sekolah kecuali bahasa Jepang.
Menyadari hal ini lembaga pendidikan di Australia memberi kesempatan kepada masyarakat kaum emigran untuk belajar bahasa asalnya sendiri. Cara ini dilakukan dengan menyusun silabus khusus untuk penutur bahasa asli yang belajar kembali tentang bahasanya. Kaum emigran tersebut adalah Arab, Yunani, Vietnam, dan termasuk anak-anak Indonesia yang menetap di Australia.
Kini kalaupun bahasa asing diajarkan sebagai bahasa kedua, ada kecenderungan mereka (kaum remaja), lebih berminat memilih bahasa Jepang dengan maksud keterlibatan dengan Jepang akan mengalami keuntungan dari sudut materi.
Padahal, mempelajari bahasa suatu bangsa mencakup juga mempelajari aspek sosial, geografi, kesenian, politik, dan daerah wisatanya. Tonny Pollard guru bahasa Indonesia di Australia tidak dapat menyembunyikan kesedihannya ketika menceritakan pengalamannya bahwa ada kepala sekolah tempat ia mengajar memperkenalkan bahasa Jepang dan menghilangkan bahasa Indonesia.
Di Australia para pelajar sekolah dengan sistem pendidikan yang berbeda di Indonesia diberi izin untuk menetapkan kebijaksanaan dalam pengolahan sekolah. Setelah dua puluh tahun bahasa Indonesia diajarkan, Toni, sang guru wanita yang mahir dan fasih berbahasa Indonesia sedih dengan keputusan itu.
Ia secara tegas tetap memilih bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran yang patut diajarkan di sekolah lain oleh karena terlanjur jatuh cinta terhadap bahasa Indonesia. Toni juga beranggapan keputusan itu lebih banyak merupakan pertimbangan politik dan bukan dengan memilih bahasa Jepang membuat orang jadi kaya. Tapi itulah kenyataannya.
Dengan demikian tugas orang Indonesia terutama guru bahasa Indonesia di Australia hendaklah dapat menghapus anggapan negatif, ketakutan orang Australia tentang keanehan orang Asia termasuk dalam kebijakan politik dosmetik yang sering menganggu hubunan politik kedua negara.
Penulis adalah Dosen UISU Medan.