Scroll Untuk Membaca

Opini

Guru Dan Dosen Bukan Beban Melainkan Pilar Kemerdekaan

Guru Dan Dosen Bukan Beban Melainkan Pilar Kemerdekaan
Kecil Besar
14px

Oleh Dr. Tgk. Tabrani. ZA, S.Pd.I., M.S.I., MA.

Beberapa hari terakhir publik dikejutkan oleh ucapan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyinggung profesi guru dan dosen sebagai beban negara. Meskipun mungkin maksudnya sekadar menyoroti porsi besar anggaran pendidikan dalam APBN, kalimat itu terasa tidak bijak. Betapa tidak, justru profesi yang menopang kecerdasan bangsa diletakkan dalam posisi yang seolah hanya menggerus keuangan negara. Padahal sejarah menunjukkan, sebuah bangsa hanya bisa berdiri tegak jika pendidik dihormati sebagai pilar peradaban.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Ironi ini kian mencolok ketika pada saat yang sama publik mendengar kabar kenaikan tunjangan anggota DPR. Menurut data Badan Anggaran DPR, tunjangan komunikasi intensif dan operasional mengalami peningkatan yang membuat rata-rata gaji dan tunjangan anggota parlemen bisa mencapai lebih dari Rp. 70 juta per bulan. Kontras dengan itu, mayoritas guru honorer di daerah masih menerima honor di bawah Rp. 1 juta, bahkan banyak dosen non-PNS yang harus mencari pekerjaan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Situasi ini melahirkan pertanyaan mendasar: siapa sebenarnya yang lebih membebani keuangan negara—para pendidik yang melahirkan generasi berilmu, atau para politisi yang menikmati fasilitas berlimpah dengan produktivitas legislasi yang sering dipertanyakan?

Logika ekonomistik yang memandang gaji guru dan dosen sebagai pos pengeluaran berlebihan jelas keliru. Anggaran pendidikan memang menyedot sekitar 20% dari total APBN, yakni sekitar Rp. 660 triliun pada 2024. Namun lebih dari 60% dari jumlah itu dialokasikan untuk gaji dan tunjangan tenaga pendidik di seluruh Indonesia, yang jumlahnya mencapai 4,3 juta orang. Angka tersebut sebenarnya bukan bentuk pemborosan, melainkan investasi agar jutaan anak bangsa mendapat layanan pendidikan yang layak. Bandingkan dengan belanja birokrasi dan politik yang justru kerap tidak efisien—misalnya anggaran perjalanan dinas kementerian dan lembaga yang pada 2023 mencapai Rp. 41 triliun, atau subsidi energi yang sering salah sasaran hingga puluhan triliun rupiah. Jika efisiensi benar-benar ingin dilakukan, maka sektor-sektor inilah yang semestinya dibenahi lebih dulu, bukan hak dasar para pendidik.

Dalam penjelasannya, Sri Mulyani bahkan mempertanyakan apakah seluruh biaya pembiayaan guru dan dosen harus ditanggung oleh negara atau bisa dibantu melalui partisipasi masyarakat. Pernyataan ini menimbulkan kesan seolah-olah negara ingin melepaskan diri dari kewajiban konstitusional. Padahal, Pasal 31 UUD 1945 telah menegaskan dengan jelas bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara, dan negara wajib membiayainya. Partisipasi masyarakat tentu penting, tetapi perannya bersifat pelengkap, bukan pengganti tanggung jawab negara. Jika logika ini dibiarkan berkembang, yang terjadi bukan penguatan pendidikan, melainkan pembiaran terhadap komersialisasi yang justru menggerus semangat keadilan sosial.

Dari sisi moral dan filosofi bangsa, ucapan yang merendahkan pendidik bertentangan dengan nilai luhur yang sudah diwariskan para pendiri republik. Bung Hatta pernah mengingatkan, “Pendidikan adalah syarat mutlak untuk memerdekakan rakyat”. Ki Hadjar Dewantara menegaskan tugas seorang guru adalah menuntun kodrat anak agar mereka menjadi manusia merdeka. Dengan kata lain, posisi pendidik bukan sekadar profesi, tetapi panggilan sejarah. Menyebut mereka beban sama artinya dengan mengabaikan janji kemerdekaan yang ingin menghadirkan keadilan sosial dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Namun kritik saja tidak cukup. Pemerintah perlu memperbaiki tata kelola anggaran dan cara berkomunikasi. Pemimpin negara harus berhati-hati dalam memilih kata, sebab ucapan mereka membentuk persepsi publik. Alih-alih menimbulkan demotivasi, seharusnya lahir narasi yang meneguhkan martabat guru dan dosen sebagai aset strategis. Jika efisiensi anggaran memang menjadi keharusan, maka reformasi birokrasi, penghapusan proyek-proyek mangkrak, dan pemangkasan fasilitas mewah pejabat politik harus lebih diprioritaskan ketimbang mempersoalkan kesejahteraan pendidik. Dengan demikian, arah kebijakan yang ditempuh mestinya bukan melemahkan pendidik, melainkan memangkas pemborosan di sektor-sektor yang selama ini tidak memberi manfaat nyata bagi rakyat.

Di sisi lain, DPR juga dituntut memberi teladan. Sulit bagi masyarakat menerima logika efisiensi ketika para wakil rakyat justru menambah kenyamanan hidup mereka. Jika benar ingin menunjukkan kepemimpinan moral, semestinya DPR berani menahan diri, bahkan rela mengalihkan sebagian hak istimewanya untuk mendukung peningkatan kualitas pendidikan. Legitimasi politik tidak bisa dibangun dengan kenaikan tunjangan, tetapi dengan keberpihakan pada rakyat kecil.

Guru dan dosen tentu juga memiliki tanggung jawab moral untuk terus meningkatkan kualitas diri. Dengan menunjukkan dedikasi, inovasi, dan integritas, mereka bisa membuktikan bahwa profesi pendidik adalah motor penggerak bangsa, bukan sekadar tenaga kerja yang menunggu gaji bulanan. Semakin tinggi kualitas pengajaran dan penelitian yang mereka hasilkan, semakin nyata pula kontribusi pendidikan terhadap pembangunan.

Tahun 2025 adalah momentum penting karena bangsa Indonesia telah memasuki umur 80 tahun kemerdekaan. Delapan dekade sejak proklamasi adalah usia yang mestinya melahirkan kedewasaan bernegara. Kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah dan air mata para pendiri bangsa tidak boleh direduksi menjadi sekadar upacara tahunan. Ia harus dimaknai sebagai janji moral: bahwa negara ini berdiri untuk mencerdaskan rakyatnya, bukan menindas pendidiknya. Delapan puluh tahun kemerdekaan harus menjadi refleksi bahwa tanpa pendidikan yang kuat, kemerdekaan hanya akan menjadi slogan kosong.

Harapan besar kini tertuju pada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Dengan mandat besar yang dimiliki, pemerintahan baru punya kesempatan emas untuk memperbaiki arah pembangunan nasional. Janji memperkuat sumber daya manusia harus diwujudkan dengan keberpihakan nyata pada guru dan dosen. Presiden Prabowo sebagai Presiden ke 8 Republik Indonesia, dapat menjadikan momentum kemerdekaan ke-80 sebagai titik balik, menegaskan bahwa pendidikan adalah prioritas utama dan bahwa pendidik akan mendapat penghormatan setara dengan profesi strategis lainnya.

Sesungguhnya, jika bangsa ini ingin benar-benar keluar dari krisis, baik ekonomi maupun moral, maka pendidikanlah yang harus ditempatkan sebagai poros utama. Menyebut pendidik sebagai beban negara jelas tidak sesuai dengan fakta maupun falsafah. Justru birokrasi yang boros dan politik yang serakah itulah yang menjadi beban sesungguhnya. Karena itu, kritik publik hendaknya dijadikan cambuk untuk menata ulang prioritas. Indonesia tidak akan pernah merdeka sepenuhnya tanpa menempatkan guru dan dosen sebagai mitra strategis, bukan sebagai pos biaya.

Di tengah guncangan global, hanya ada satu jalan bagi bangsa ini untuk tetap bertahan: membangun manusia yang berkarakter, cerdas, dan berdaya saing. Itu semua tidak akan pernah mungkin tanpa pendidik yang sejahtera dan dihormati. Delapan puluh tahun kemerdekaan harus kita jadikan tonggak baru untuk menyalakan kembali api pendidikan, agar Indonesia benar-benar berdiri sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat, dan bermartabat. Dirgahayu Indonesiaku ke 80 Tahun.

Penulis adalah Dosen pada Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, juga Direktur SCAD Independent Research Institute.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE