Oleh : Dr. Yanhar Jamaluddin, M.AP dan Drs. Syafrial Pasha, SS
ANTROPOLOGI dapat didefinisikan secara luas sebagai upaya sistematis untuk studi ilmiah tentang genus-homo dari awal mulanya, dengan segala variasi dan manifestasinya.
Pokok bahasannya dikenal sebagai biologi manusia, ekologi manusia, paleontologi, arkeologi prasejarah, etnis dan studi komunitas, sejarah agama, linguistik, cerita rakyat dan lain-lain, semuanya dengan mudah dimasukkan dalam panji tunggal antropologi. Ada dua bidang luas dalam antropologi-biofisik dan sosiokultural, dan ada ruang tak terbatas untuk subklasifikasi di dalamnya.
Berdasarkan pendekatan antropologi terapan ini, Peneliti berupaya memahami bagaimana Hang Tuah menjadi sebagaimana adanya, dan menjalani kehidupan sebagaimana adanya, pertama-tama harus mengetahui dengan jelas apakah Hang Tuah adalah pendatang baru di Kerajaan Malaka, atau penghuni lama.
Apakah Hang Tuah muncul dengan berbagai suku (ras) dan cara hidup yang sudah jadi, atau apakah Hang Tuah dibentuk oleh pertumbuhan zaman yang panjang dan lambat?
Untuk menjawab pertanyaan ini, hal pertama yang harus peneliti lakukan adalah melakukan survei cepat terhadap keragaman manusia Melayu, bahasanya, kebudayaanya, dan peninggalan kunonya, untuk melihat bukti apa yang dapat diperoleh mengenai keunggulan Hang Tuah di Bumi Nusantara.
Pendekatan administratif – politik juga diterapkan guna mengetahui lebih jelas tentang kebijakan Hang Tuah dan prilakunya dalam mengatur ketatalaksanaan kekuasaan yang diberikan oleh Sultan Mansyur Shah.
Sebagaimana diketahui bahwa administrasi sudah dikenal sejak jaman Kerajaan Malaka, sejak manusia Melayu berbudaya, bahkan disebutkan administrasi ada sejak mereka dapat menggunakan ciptanya, karsanya dan rasanya dalam berbagai aktifitas atau kegiatan.
Administrasi pun terjadi pada saat orang Bugis berlayar dan berpindah-pindah secara berkelompok dari suatu tempat ke tempat lainnya di wilayah Nusantara. Dengan kata lain, administrasi mereka artikan sebagai kerja sama yang dilakukan dalam rangka mencapai suatu tujuan yang menguntungkan.
Dari perspektif antropologi terapan dan sejarah, terdapat sejarah awal berdirinya kerajaan Bajeng di Sulawesi Selatan. Kerajaan ini didirikan oleh Syech Abdurrahman pada akhir abad ke-13 M.
Syech Abdurrahman yang berasal dari tanah Arab diberi gelar I Baso Daeg Pabeta Karaeng Loe Ri Bajeng ketika diangkat menjadi Raja pertama kerajaan Bajeng, atas jasanya yang telah menyatukan dan membentuk kerajaan Bajeng ini.
Pada masa pemerintahannya, Syech Abdurrahman menikahi puteri dari Kerajaan Bantaeng yang bernama I Manre daeng Manurung. Kerajaan Bantaeng adalah salah satu kerajaan kecil yang pernah berdiri di Semenanjung Selatan Sulawesi.
Kerajaan ini mendukung Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo yang telah lama melakukan hubungan diplomatis dan perdagangan dengan kerajaan Malaka sejak diperintah oleh Sultan Iskandar Shah (sekitar abad ke-13) sampai Sultan Mansyur Shah diakhir abad ke-15
Dan dari hubungan pernikahan ini, Syech Abdurrahman memiliki 3 anak, yakni Were daeng Patonra, Sitti daeng Nisangai, dan Daeng Marapawa atau Daeng Mereupawah yang lebih dikenal dengan nama Hang Tuah di kerajaan Malaka (baca kitab Sulatus Salatin).
Menurut Kitab Sulatus Salatin, Hang Tuah saat berumur 12 tahun sudah diperkenalkan oleh Raja Bone kepada Sultan Mansyur Shah. Oleh karena kepiawaian Daeng Marapawa (Mereupawah) atau Hang Tuah dalam ilmu bela diri dan juga kesetiaannya, Sultan Mansyur Shah mengangkatnya sebagai pengawal khususnya sebelum akhirnya diangkat menjadi Laksamana Kerajaan Malaka.
Administrasi Terapan Laksamana Hang Tuah
Malaka menjadi pusat perdagangan (commercial metropolis), sehingga mencapai kemakmuran pada abad ke-14 M, ketika kekuasaan Melayu yang dikomandoi Laksamana Hang Tuah mendorong kondisi damai dan mendukung perdagangan.
Memang benar, Malaka adalah basis pemerintahan Melayu di wilayah Timur Sumatera dan paparan ide-ide baru juga menyaksikan kemapanan dari agama Islam.
Sejak tahun 1300 M ketika pergerakan suku Bugis yang menentukan ke Malaka dimulai, terjadilah perkembangan situasi politik yang paling menarik; di mana salah satunya Hang Tuah dihadapkan pada tugas menegakkan pemerintahannya terhadap ekpansi berulang kerajaan Majapahit yang kuat namun selalu menemui kegagalan.
Pada awalnya, administrasi dikenakan melalui penunjukan anak mantan raja Bajeng (Makassar) oleh Sultan Mansyur Shah sebagai pengawal khususnya di istana Malaka. Tetapi kekuasaan sebenarnya di Malaka terletak di tangan Hang Tuah yang menjadi administrator dan komandan militer Angkatan laut Melaka (Laksamana), Hang Tuah berpindah dari Istana ke Maritim untuk mengambil posisinya sebagai kekuatan angkatan perang di selat Malaka.
Perubahan sosial mendasar ini terjadi dalam banyak hal terinspirasi oleh prilaku reformis Hang Tuah. Dia berasal dari kerajaan kecil di Sulawesi Selatan dan setelah melakukan perjalanan ke Malaka mendapat perhatian Sultan Mansyur Shah.
Hang Tuah selanjutnya melakukan perubahan penting untuk pengamanan kekuatan Malaka. Kebijakannya memberlakukan wajib militer dan melakukan perubahan dalam administrasi kerajaan dengan memanggil orang-orang berbakat untuk memperkuat eksistensi selat Malaka (The right man on the right place).
Selain Sejarah Melayu, teks penting lainnya yang masih ada dari Malaka adalah Kitab Undang-Undang Laut Malaka (1400-1511). Kitab ini terdiri atas enam divisi.
Sebagian besar kode dikhususkan untuk hukum maritim, yang terdiri atas 11 jilid. Bahan kitab ini dikumpulkan dan ditulis oleh Sultan Mahmud Shah melalui cerita-cerita pelaut Bugis yang berkunjung ke Malaka (Historisch Overzicht van Makasar Manuscript, naskah anonim di perpustakaan ANRI).
Pedagang Bugis dari Sulawesi Selatan diyakini punya peran besar dalam mempengaruhi kode perdagangan maritim yang disusun dan diundangkan pertama sekali oleh Sultan Mahmud Shah. Orang Bugis terkenal bakatnya di dalam bidang ketenteraan.
Mereka menerima pekerjaan sebagai laskar bayaran dari siapa pun, asal bayarannya memuaskan.
Pekerjaan ini membawa mereka sampai ke Siam dan Kamboja, di mana mereka bekerja sebagai pengawal pribadi pembesar-pembesar atau tentera kerajaan. Oleh Raffles mereka disamakan dengan laskar Swiss yang bekerja di Vatican (Memoir Raffles, 1830-65). Kerajaan Melayu lainnya kemudian menggunakan Hukum Malaka tersebut sebagai pedoman sistem hukum mereka sendiri.
Warisan Administasi Terapan Hang Tuah Di Kerajaan Johor
Johor merupakan satu kerajaan otokratis yang dikepalai seorang Sultan. Para pejabat tinggi lainnya yang paling berkuasa ialah: Raja Muda atau sering juga disebut sebagai Yamtuan Muda, Bendahara, Temenggung, Raja Indera Bungsu dan Laksamana. Pemegang jabatan Perdana Menteri atau orang kedua sesudah Sultan tidak tetap.
Biasanya orang terkuat dari kelima pejabat pemerintahan tertinggi kerajaan yang menjadi Perdana Menteri. Pembantu pribadi sultan ialah Yamtuan Muda yang mengurus soal administrasi pemerintahan dan Raja Indera Bungsu mengurus soal kebangsawanan; Bendahara berfungsi sebagai menteri keuangan dan mempunyai kekuasaan tertinggi dalam hukum kerajaan; Temenggung adalah pejabat hukum dan wakil bendahara yang memegang kekuasaan di dalam hukum di kota; dan Laksamana adalah pemimpin armada kerajaan.
Anggota pemerintahan ini tidak selalu tinggal di ibu Kota bersama Sultan. Umumnya mereka mempunyai daerah masing-masing yang menjadi tanggungjawabnya. Seperti Bendahara berkuasa di Pahang dan biasanya ia dikenal sebagai Paduka Raja Bendahara Pahang, sedangkan Temenggung berkuasa di Johor.
Yamtuan Muda pada mulanya tinggal bersama sultan di Kota, tetapi pada abad ke 18 di Pulau Mares (Penyengat) menjadi daerah kekuasaan Yamtuan Muda. Raja Indera Bungsu tinggal bersama Sultan, sementara Laksamana Hang Tuah tinggal di Pulau Bintan.
Setelah Malaka, tempat kediaman Sultan berpindah dari Batu Sawar/Johor lama ke Pulau Bintan dan akhirnya ke Pulau Lingga. Ketika pada abad ke 18, jabatan Yamtuan Muda dipegang oleh seorang Bugis, jabatan pemerintah ditambah lagi dengan beberapa orang baru yang dipilih dari orang Bugis. Raja Tuah/ wakil Yamtuan Muda, Datu Sulewatang dan Datu Penggawa menjadi pembantu pribadi sultan di istana kerajaan.
Apabila sewaktu-waktu Sultan berhalangan memerintah atau dengan sengaja meninggalkan urusan pemerintahan, salah satu anggota staf pemerintahan yang paling berwibawa memegang kekuasaan tertinggi.
Ketika orang Portugis tiba di Malaka pada abad ke 15, Temenggung memegang kekuasaan tertinggi. Sementara Sultan Daeng Marewa telah mengundurkan diri dan hidup dalam pertapaan.
Peperangan dengan orang Portugis dan jatuhnya Malaka telah membangunkan Sultan dari pertapaannya untuk kembali memegang tampuk pimpinan kerajaan.
Pusat pemerintahan pun dipindahkan ke Johor dan peperangan dilanjutkan dari Johor. Perdagangan Johor di Selat Malaka mendapat persaingan terutama dari orang Portugis di Malaka dan Kesultanan Aceh, negara tetangga di Sumatera yang pada awal abad 16 mulai memegang peranan penting dalam perdagangan di daerah ini.
Selama seabad lamanya ketiga kekuatan ini mencari kesempatan untuk saling menghancurkan. Pada permulaan abad 17 suasana agak tenteram. Raja-raja Aceh banyak yang lemah setelah pemerintahan Iskandar Thani (pengganti Iskandar Muda) dan tidak ada niat expansionitis lagi ke daerah Semenanjung Melaka.
Sedangkan orang Portugis di Melaka mendapat tandingan dari orang Belanda yang akhirnya berhasil merebut Kota tersebut pada tahun 1641. Belanda berhasil menguasai Kota Malaka karena mendapat bantuan dari Johor. Pendekatan dengan Belanda ini dilakukan oleh Laksamana yang pada waktu itu memegang tampuk pimpinan di Johor.
Warisan lainnya adalah Koalisi dan Pembauran yang tercatat dalam sejarah melayu. Koalisi adalah prilaku saling menyepakati diantara kepentingan-kepentingan untuk menghasilkan suatu tindakan bersama, sedangkan Pembauran merupakan cara melalui perkawinan campuran antar suku yang kemudian menguatkan suatu budaya tertentu (dominant culture).
Seperti peristiwa pada 19 Maret 1741, diadakan pertemuan rahasia antara seluruh pemimpin Bugis di Semenanjung Malaka. Pertemuan ini begitu dirahasiakan, sehingga tidak diketahui siapa yang ikut serta dan tidak pernah ada peninggalan bertulis dari hasil perundingan tersebut.
Hanya dapat diketahui akibatnya saja, bahwa setelah pertemuan tersebut hubungan Raja Muda Bugis dengan pemimpin Bugis lainnya lebih akrab dan ada suatu kekompakan di dalam urusan perdagangan, terutama dalam perdagangan timah.
Keseragaman dalam perdagangan timah yang terutama dipegang orang Bugis menyebabkan Belanda sangat dirugikan dalam perdagangannya di Malaka.
Fakta administrasi terapan lainnya adalah Pengamatan terhadap kebijakan hukum-hukum Melaka – baik Undang-Undang Melaka maupun Undang-Undang Laut Melaka – menghasilkan sejumlah wawasan tentang budaya, nilai-nilai, dan pengaturan politik yang mengatur kehidupan sehari-hari selama masa kesultanan.
Hukum-hukum tersebut menandai dan memperkuat perpecahan masyarakat dan mengenakan denda yang besar kepada siapa pun yang menentang atau melanggarnya.
Kaum elite penguasa mengukir hak istimewa untuk dirinya sendiri, seperti dalam hal mengenakan warna kuning atau penggunaan kata-kata atau terminologi tertentu.
Hukum-hukum Melaka dan juga sastra Melayu pada umumnya membahas prioritas normatif bagi kaum elite dan di sini dua ungkapan menonjol: nama dan adil. Mengejar nama (reputasi) berfungsi untuk mendukung legitimasi penguasa.
Sebagaimana yang dikemukakan Milner dan Walker, nama tidak hanya penting bagi kekuasaan raja Melayu, tetapi juga bagi rakyat dan kehidupan spiritual setelah kematian sang penguasa.
Para sultan menekankan pentingnya rakyat. Dengan memperbanyak jumlah rakyat (pengikut) melalui perilaku berbudi luhur, nama seseorang akan tersohor, begitu pula dengan pangkatnya dalam hierarki penguasa.
Asal usul Undang-Undang Laut Malaka ini dapat ditelusuri hingga Raja Ala’udin (1615 M) dari Gowa (Sulawesi Selatan) menjelaskan kepada para perwira Perusahaan Hindia Timur Belanda: ‘Tuhan menciptakan daratan dan lautan; … tidak pernah terdengar bahwa seseorang dilarang mengarungi lautan. Jika kamu berusaha melakukan itu, kamu akan mengambil makanan dari mulut rakyatku.’
Bahkan, pemahaman akan pernyataan Ala’udin itu sebagai refleksi yang jelas dari praktik mareliberum yang diterima berbenturan dengan posisi yang diterima secara umum bahwa para penguasa Melayu secara kebiasaan memaksa kapal-kapal yang lewat untuk singgah dan berdagang di pelabuhan mereka.
Tentu saja, para penguasa Melayu mendorong para pedagang untuk datang ke pesisir mereka untuk berdagang, dan ini memang merupakan praktik keramahtamahan yang dilakukan dengan tujuan bukan untuk memperkaya diri sendiri, melainkan untuk mempertahankan ekonomi redistributif kesultanan dan juga bagi para penguasa untuk menghasilkan dana yang cukup untuk memenuhi pengeluaran mereka.
Selain itu, siapa pun yang telah menelusuri hukum maritim Melaka akan menemukan bahwa hukum tersebut berfokus pada disiplin dan garis wewenang di atas kapal, dan menghindari penyebutan secara tegas tentang dominium maritim, atau bahkan kebebasan berdagang dan bergerak melintasi ruang maritim.(Penulis Ketua Pusat Kajian Administrasi Publik, MAP – Universitas Medan Area dan Sejarawan)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.