Oleh: Farid Wajdi
Air datang bukan sekadar deras, melainkan membawa amarah bumi yang lama disimpan.
Dari hulu bukit yang gundul, dari lereng yang kehilangan pepohonan penyangga, banjir bandang menyapu rumah, harapan, dan nyawa di Tapanuli Tengah dan wilayah sekitarnya.
Angka korban terus bertambah, kisah pilu berulang, dan duka kembali menjadi tajuk berita.
Namun di balik genangan lumpur dan jeritan kehilangan, terselip pertanyaan yang lebih sunyi tetapi jauh lebih mengusik: mengapa peristiwa serupa terus saja terjadi? Mengapa hukum dan pemerintah tampak tak kuasa, seolah kehilangan taring di hadapan musibah?
Bencana memang bagian dari realitas geografis Indonesia. Cincin api, curah hujan tinggi, topografi ekstrem, semua menyimpan potensi bahaya. Namun musibah yang berulang dengan pola serupa tidak lagi sekadar persoalan alam, melainkan potret kegagalan sistemik.
Di sana terdapat jejak kelalaian, kebijakan yang longgar, dan penegakan hukum yang rapuh.
Dalam hukum positif, Indonesia sejatinya tidak kekurangan perangkat regulasi. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 dengan tegas menempatkan penanggulangan bencana sebagai tanggung jawab negara, bukan sekadar urusan insidental ketika musibah telah menelan korban.
Negara diwajibkan mengintegrasikan mitigasi ke dalam perencanaan pembangunan, memastikan perlindungan warga, mengatur tata ruang berbasis risiko, dan menyediakan anggaran pencegahan. Secara normatif, kerangka hukum ini tampak kokoh.
Tetapi realitas sering berbeda. Regulasi menjadi hiasan administratif, bukan pedoman operasional yang hidup. Alih fungsi lahan berlangsung tanpa kendali. Hutan di hulu dibabat atas nama investasi dan infrastruktur. Daerah resapan berubah menjadi permukiman atau kawasan komersial.
Sungai kehilangan ruang alaminya, drainase tak mampu menampung limpahan air hujan, dan setiap musim hujan berubah menjadi musim cemas.
Di titik inilah hukum kehilangan daya gentarnya. Penegakan yang longgar, sanksi yang jarang dijatuhkan, serta akuntabilitas yang kabur menjadikan regulasi seperti pagar rapuh di tengah arus bah.
Tidak jarang, pejabat berdiri di depan kamera pascabencana dengan nada empati, tetapi gagal menjelaskan mengapa peringatan dini, tata ruang berbasis risiko, dan mitigasi tidak menjadi prioritas jauh hari sebelumnya.
Negara hadir lebih sering sebagai penenang luka, bukan sebagai penjaga keselamatan yang tegas.
Islam mengajarkan cara pandang yang lebih mendalam. Musibah tidak pernah berdiri tunggal sebagai peristiwa biologis atau meteorologis semata.
Dalam Al-Qur’an, bencana digambarkan dapat hadir sebagai ujian keimanan, peringatan, atau akibat dari kerusakan yang dibuat tangan manusia sendiri. Ketika alam rusak, bukan hanya ekosistem yang terganggu, melainkan keseimbangan moral antara manusia dan bumi ikut runtuh.
Manusia ditempatkan sebagai khalifah, pemelihara bumi, bukan penguasa rakus yang mengeksploitasi tanpa batas. Kerusakan lingkungan, pembiaran terhadap praktik ilegal, serta pengabaian terhadap risiko alam bukan sekadar kesalahan teknis, tetapi kegagalan etis dan spiritual.
Dalam perspektif fikih lingkungan, merusak alam termasuk bentuk kezaliman kolektif yang konsekuensinya bisa kembali menghantam masyarakat luas.
Di sinilah musibah berbicara lebih lantang dari sekadar curah hujan atau longsor tanah. Ia menjadi cermin retak yang memantulkan wajah kita sendiri: abai terhadap keseimbangan, lalai terhadap tanda-tanda, dan terlalu percaya pada kekuasaan semu atas alam.
Ketika banjir datang, manusia menyebutnya takdir, tetapi enggan menelaah rangkaian sebab yang dibangun sendiri selama bertahun-tahun.
Mengapa pola ini terus berulang? Karena kebijakan sering dikendalikan oleh kepentingan jangka pendek, bukan keberlanjutan. Pembangunan kerap dimaknai sebatas beton, jalan, dan angka pertumbuhan ekonomi, sementara daya dukung lingkungan dianggap variabel yang bisa dinegosiasikan.
Politik anggaran lebih memilih proyek yang kasat mata daripada investasi sunyi bernama mitigasi. Padahal pencegahan jarang tampil heroik di layar, tetapi justru penyelamat paling nyata.
Hukum pun berada dalam pergulatan serius. Ia dituntut bukan hanya hadir sebagai teks normatif, tetapi sebagai instrumen keberpihakan pada keselamatan rakyat.
Ketika pelanggaran tata ruang tidak ditindak, ketika rekomendasi lingkungan diabaikan, ketika proyek rawan tetap berjalan tanpa evaluasi menyeluruh, hukum perlahan kehilangan aura keadilan. Masyarakat pun melihat negara bukan sebagai pelindung, melainkan sebagai pihak yang datang terlambat.
Dari sisi spiritual, Islam mengajarkan keseimbangan antara ikhtiar dan tawakal. Musibah tidak boleh dijadikan alasan untuk pasrah tanpa evaluasi. Justru di situlah kewajiban muhasabah menemukan maknanya. Setiap bencana seharusnya melahirkan kesadaran baru, perbaikan struktural, dan perubahan paradigma.
Jika tidak, ia hanya menjadi siklus penderitaan yang dinormalisasi.
Tragedi di Tapanuli Tengah dan berbagai wilayah Sumatera Utara menuntut lebih dari sekadar belasungkawa. Ia menagih tanggung jawab moral, politik, dan hukum. Siapa yang lalai dalam mengawasi tata ruang? Mengapa potensi risiko tidak diantisipasi? Di mana keberanian negara untuk menertibkan pelanggar, meskipun berhadapan dengan kepentingan ekonomi dan kuasa lokal?
Pertanyaan-pertanyaan ini bukan sinisme, melainkan bentuk kepedulian. Sebab hukum yang sehat bukan hanya yang mampu menghukum setelah tragedi, melainkan yang sanggup mencegah sebelum air meluap.
Dan pemerintah yang bermartabat bukan hanya hadir saat kamera menyala, melainkan bekerja diam-diam menjaga keselamatan warga jauh sebelum bencana menyentuh pintu.
Musibah selalu menyisakan luka, tetapi juga membuka ruang pembaruan. Ia mengajarkan kehati-hatian, memperingatkan kesombongan, dan memanggil kesadaran kolektif.
Dalam lintasan itu, hukum dan agama menemukan titik temu: keduanya mendorong tanggung jawab, keadilan, dan perlindungan terhadap kehidupan.
Jika hukum ditegakkan dengan konsisten dan nilai-nilai spiritual dihidupkan dalam kebijakan, maka bencana tidak lagi semata tentang kehilangan, tetapi tentang kesadaran baru akan pentingnya keselarasan dengan alam.
Bumi bukan musuh, melainkan amanah. Ketika ia marah, bukan hanya air yang harus kita bendung, melainkan juga keserakahan, kelalaian, dan ego yang terlalu lama kita pelihara.
Mungkin di sanalah makna terdalam dari musibah: bukan untuk ditakuti semata, tetapi untuk direnungi, dibaca sebagai pesan sunyi tentang perlunya perubahan. Agar kelak, air hujan kembali menjadi rahmat, bukan kabar duka yang berulang setiap musim. (Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU)












