Oleh Makmur Sianipar
UU BUMN yang baru ini seolah mengubah wajah BUMN dari entitas publik menjadi entitas privat. Padahal secara substansi, BUMN tetaplah milik negara. Jangan sampai BUMN menjadi “Badan Usaha Milik Nenek”
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), muncul kegelisahan serius dalam tatanan hukum bisnis dan tata kelola keuangan negara. Dalam UU baru ini, secara eksplisit ditegaskan bahwa organ dan pegawai BUMN bukanlah penyelenggara negara. Bahkan, keuntungan dan kerugian BUMN dianggap semata sebagai bagian dari dinamika badan usaha, bukan lagi bagian dari keuangan negara.
Pasal 3X ayat (1), Pasal 9G, dan Pasal 87 ayat (5) dari UU tersebut menyatakan bahwa Direksi, Dewan Komisaris, Dewan Pengawas, serta karyawan BUMN bukanlah penyelenggara negara. Sementara Pasal 3H ayat (2) dan Pasal 4B menegaskan bahwa keuntungan atau kerugian yang dialami BUMN bukanlah keuntungan atau kerugian negara. Hal ini menimbulkan implikasi serius, khususnya dalam konteks pemberantasan korupsi.
Konsekuensi paling signifikan dari ketentuan tersebut adalah terlepasnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari yurisdiksi untuk menyelidiki dan menuntut dugaan korupsi di tubuh BUMN. Padahal, selama ini, banyak kasus korupsi besar yang berasal dari BUMN berhasil diungkap oleh KPK. Jika KPK dibatasi hanya pada penyelenggara negara, maka BUMN akan menjadi “zona abu-abu” yang rawan penyalahgunaan dan kebal hukum.
Kasus Korupsi BUMN
Tak dapat dipungkiri, sejarah mencatat banyak kasus korupsi yang menyeret BUMN. Sebut saja kasus Jiwasraya yang merugikan negara hingga lebih dari Rp16 triliun. Ada pula skandal Asabri dengan kerugian yang mencapai Rp22,78 triliun. PT Garuda Indonesia juga pernah terseret dalam kasus suap pembelian pesawat dari perusahaan Inggris, Rolls-Royce.
Tak ketinggalan kasus PT Krakatau Steel, PT Pelindo II, hingga PLN. Trrakhir adalah kasus PT Timah yang merugikan negara Rp300 triliun anak perusahaan Pertamina yang mengoplos petalite dengan dugaan kerugian keuangan negara sebesar Rp193,7 triliun untuk tahun 2023 saja. Semua itu menunjukkan bahwa kerugian BUMN tidak murni disebabkan oleh risiko bisnis, melainkan karena moral hazard dan tata kelola yang buruk.
Jika semua ini sekarang hanya dianggap sebagai “kerugian bisnis” semata, lalu di mana letak pertanggungjawaban hukum? Apakah negara hanya akan pasrah menyaksikan kekayaannya dijarah oleh oknum tak bertanggung jawab? Apakah semua ini hanya akan disebut sebagai “kesialan manajerial”? Inilah bentuk pengingkaran terhadap hakikat BUMN sebagai milik negara.
Milik Negara, Bukan Milik Nenek
Dari namanya saja sudah jelas: Badan Usaha Milik Negara. Bukan milik nenek, bukan pula milik segelintir elite bisnis-politik. Maka, segala kekayaan yang dikelola BUMN pada hakikatnya adalah bagian dari kekayaan negara. Oleh karena itu, jika terjadi kerugian karena korupsi atau penyalahgunaan kewenangan, maka seharusnya itu dianggap sebagai kerugian negara.
UU Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003 menyebutkan secara eksplisit bahwa kekayaan negara yang dipisahkan dalam BUMN termasuk ke dalam keuangan negara. Ketentuan ini tidak boleh dikesampingkan oleh regulasi sektoral seperti UU BUMN yang baru. Dalam hierarki perundang-undangan, UU harus diharmonisasikan, bukan saling menegasikan.
Menegasikan peran organ BUMN sebagai penyelenggara negara juga sangat bertentangan dengan semangat transparansi dan akuntabilitas. Bagaimana mungkin badan yang dibiayai negara, mengelola aset negara, dan memberikan kontribusi signifikan terhadap APBN, tidak diawasi sebagai bagian dari struktur negara?
Solusi yang harus diambil tidak lain adalah mengembalikan BUMN ke khitahnya sebagai Badan Usaha Milik Negara. Ini berarti, pertama, organ-organ BUMN seperti direksi, komisaris, dan pegawai harus dikategorikan sebagai penyelenggara negara. Kedua, kekayaan dan kerugian BUMN harus tetap dikategorikan sebagai kekayaan dan kerugian negara. Ketiga, penegakan hukum, khususnya oleh KPK, harus tetap menjangkau praktik-praktik koruptif di tubuh BUMN.
Pemerintah dan DPR harus segera meninjau kembali UU BUMN ini. Harmonisasi dengan UU Keuangan Negara sangat mendesak dilakukan. Mahkamah Konstitusi juga bisa menjadi jalan konstitusional untuk menguji ketentuan yang dianggap merugikan negara dan bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi.
Penegakkan Hukum
Yang dibutuhkan oleh BUMN bukanlah kekebalan hukum, melainkan penegakan hukum yang kuat, tegas, dan adil. Koruptor BUMN harus dihukum seberat-beratnya, karena mereka tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga menghancurkan kepercayaan publik. Vonis ringan terhadap pelaku korupsi di BUMN hanya akan memperkuat kesan bahwa hukum di Indonesia tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.
Selain penegakan hukum, BUMN juga harus menerapkan prinsip good corporate governance secara konsisten. Prinsip-prinsip seperti transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, independensi, dan fairness harus menjadi pedoman utama dalam operasional BUMN. Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas tidak boleh hanya menjadi stempel, tapi harus aktif dalam pengawasan. Audit internal dan eksternal harus diperkuat, dan laporan keuangan yang diaudit secara independen harus terbuka kepada publik.
Reformasi SDM juga penting dilakukan, termasuk rekrutmen berbasis meritokrasi, jangan lagi berbasis katabelece dan bagi-bagi jabatan karena balas jasa politik para relawan. Pembinaan integritas bagi seluruh jajaran pegawai harus sering dilakukan. Pengawasan melekat dari kementerian teknis juga harus dilakukan secara profesional, bukan sebagai intervensi politis, melainkan sebagai upaya menjaga akuntabilitas.
Penutup
UU BUMN yang baru ini seolah mengubah wajah BUMN dari entitas publik menjadi entitas privat, padahal secara substansi, BUMN tetaplah milik negara. Jangan sampai BUMN benar-benar menjadi “Badan Usaha Milik Nenek” yang tidak jelas milik siapa, tidak bisa disentuh hukum, dan bebas dari pertanggungjawaban. Jika itu terjadi, maka bukan hanya kerugian finansial yang harus ditanggung negara, tetapi juga kerugian moral dan sistemik yang sangat besar.
Negara harus bersikap tegas: BUMN adalah milik negara, dan oleh karenanya harus tunduk pada prinsip negara hukum, akuntabilitas publik, serta perlindungan terhadap kekayaan negara dari praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Reformasi BUMN adalah keniscayaan, yang harus dimulai sekarang, sebelum semuanya merugi dan akhirnya bangkrut. Kembalikan BUMN kepada khitahnya sebagai lembaga yang mengelola kekayaan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jangan biarkan BUMN menjadi Badan Usaha Milik Nenek, yang bebas dari hukum dan tanggung jawab.
Penulis adalah Advokat dan Konsultan Hukum, Ketua DPC Federasi Advokat Rebuplik Indonesia (FERARI) Kabupaten Bogor, Senior Fellow Research Institute for Ethical Business and Political Leadership Development (Rebuild).