Opini

Ironi Harga Diri Dan Paradoks Indonesia

Ironi Harga Diri Dan Paradoks Indonesia
Kecil Besar
14px

Oleh: Farid Wajdi

Indonesia sedang mempertontonkan sebuah ironi yang sulit dijelaskan dengan akal sehat: negara yang tidak ragu meminjam triliunan rupiah dari luar negeri, tetapi menolak bantuan kemanusiaan dengan dalih harga diri dan kemampuan nasional.

Paradoks ini kembali mencuat saat bencana besar melanda Sumatera. Di tengah kerusakan luas, korban berjatuhan, dan distribusi bantuan yang terseok, pemerintah memilih sikap defensif: menutup pintu solidaritas global sambil meyakinkan publik bahwa negara mampu menangani semuanya sendiri.

Di atas kertas, pernyataan itu terdengar gagah. Di lapangan, ia terdengar sinis.

Banjir, longsor, dan krisis kemanusiaan di berbagai wilayah Sumatera tidak hadir sebagai perdebatan konseptual. Ia hadir sebagai dapur umum yang kekurangan pasokan, wilayah terisolasi tanpa akses, serta warga yang menunggu bantuan lebih lama dari batas wajar.

Namun di tengah kondisi itu, pemerintah justru sibuk merawat simbol. Bantuan asing diperlakukan seolah ancaman, bukan peluang menyelamatkan nyawa.

MinangkabauNews (2025) mencatat paradoks ini secara gamblang: negara meminjam dana luar negeri untuk pembangunan dan menutup defisit, tetapi menolak bantuan kemanusiaan yang bersifat darurat dan tidak membebani fiskal.

Dua sikap ini sulit dipertemukan dalam satu kerangka berpikir yang konsisten. Jika utang dianggap wajar demi stabilitas ekonomi, mengapa bantuan dianggap memalukan ketika nyawa manusia menjadi taruhannya.

Narasi resmi pemerintah berulang: Indonesia mampu, Indonesia berdaulat, Indonesia tidak membutuhkan bantuan asing. Tempo (2025) mengutip pernyataan Ketua DPD yang menekankan harga diri bangsa sebagai alasan utama.

Masalahnya, harga diri semacam ini lebih sering hidup dalam pidato ketimbang di lokasi bencana. Di tenda pengungsian, harga diri tidak menghangatkan tubuh, tidak mengisi perut, dan tidak memulihkan trauma.

Sikap ini menuai kritik keras. Aceng Syamsul Hadie, dalam Siaran-Berita (2025), menyebut penolakan bantuan internasional di tengah krisis kemanusiaan sebagai tindakan mengkhianati rakyat. Pernyataan itu memang terdengar tajam, tetapi justru relevan. Negara dibentuk bukan untuk menjaga gengsi abstrak, melainkan untuk melindungi warga, terutama saat mereka paling rentan.

Klaim “Kita Mampu”

Paradoks Indonesia semakin mencolok ketika klaim “kita mampu” dihadapkan pada realitas. Distribusi bantuan berjalan lambat. Koordinasi antarwilayah tidak selalu sinkron. Infrastruktur rusak memperparah keterlambatan.

Fakta-fakta ini menunjukkan negara bekerja keras, tetapi kapasitas sistem tidak sebanding dengan skala bencana. Dalam situasi semacam itu, menolak bantuan bukan tanda kekuatan, melainkan pertaruhan berisiko tinggi.

Komisi V DPR bahkan secara terbuka meminta pemerintah tidak menolak bantuan luar negeri, sebagaimana diberitakan Detik (2025). Permintaan ini menjadi sinyal penting. Ketika lembaga negara sendiri meragukan narasi kemampuan nasional, berarti ada masalah serius dalam pengambilan keputusan. Klaim mandiri kehilangan legitimasi saat ia tidak dipercaya oleh wakil rakyat.

Sebagian pihak berkilah dengan alasan kehati-hatian geopolitik. Bantuan asing dikhawatirkan membawa agenda tersembunyi. Argumen ini sering dipakai, tetapi jarang diuji secara jujur.

Law-Justice (2025) mencatat kontroversi ini sebagai cerminan negara yang lebih sibuk mengelola citra ketimbang mengutamakan kebutuhan korban.

Negara-negara lain mampu menerima bantuan internasional tanpa kehilangan kendali. Bantuan diatur, diawasi, dan disesuaikan dengan kepentingan nasional. Kedaulatan tetap berada di tangan negara penerima.

Masalah utama bukan pada bantuan itu sendiri, melainkan pada cara memaknai kedaulatan. Di Indonesia, kedaulatan kerap diperlakukan sebagai simbol yang rapuh, mudah runtuh hanya karena uluran tangan.

Padahal, menurut banyak analis kebijakan, kedaulatan justru diuji saat negara mampu mengelola krisis secara terbuka dan rasional. Menutup diri bukan bukti kemandirian, melainkan ketakutan mengakui keterbatasan.

Kedaulatan dan Kemanusiaan

Tulisan di Kompasiana (2025) menggambarkan dilema ini sebagai pertentangan semu antara kedaulatan dan kemanusiaan. Keduanya seolah dipaksa berhadap-hadapan, padahal tidak saling meniadakan.

Kemanusiaan merupakan fondasi moral kedaulatan. Negara berdaulat karena mampu melindungi kehidupan warganya. Ketika fungsi itu terganggu, simbol kedaulatan kehilangan makna substantif.

Ironi harga diri ini juga berdampak pada kepercayaan publik. Warga menyaksikan negara menutup pintu bantuan sambil meminta mereka bersabar.

Kesabaran dijadikan kebajikan, sementara penderitaan diperlakukan sebagai konsekuensi yang harus diterima. Dalam jangka panjang, pola ini merusak hubungan negara dan warga. Kritik mengeras, simbol protes bermunculan, dan legitimasi kebijakan melemah.

Indonesia sebenarnya tidak kekurangan sumber daya, baik manusia maupun institusional. Yang kurang adalah keberanian politik untuk jujur. Mengakui keterbatasan bukan tanda kelemahan. Ia justru cermin kedewasaan.

Negara besar tidak diukur dari seberapa keras menolak bantuan, melainkan dari seberapa cerdas mengelola solidaritas global demi kepentingan rakyatnya.

Jika paradoks ini terus dipelihara, Indonesia akan berulang kali jatuh pada kesalahan yang sama. Setiap bencana direspons dengan retorika kemampuan nasional, setiap tawaran bantuan ditanggapi dengan kecurigaan, dan setiap penderitaan warga dibalas dengan pidato tentang harga diri. Nasionalisme semacam ini tidak melindungi siapa pun. Ia hanya merawat ilusi.

Pada akhirnya, pertanyaan paling jujur tidak berkaitan dengan gengsi bangsa, melainkan dengan keberpihakan negara. Harga diri siapa yang sedang dijaga, negara sebagai simbol, atau rakyat sebagai manusia nyata.

Jika jawabannya bukan rakyat, maka ironi ini bukan sekadar salah kebijakan. Ia telah berubah menjadi kegagalan moral yang serius. Lalu, di situlah paradoks Indonesia hari ini berdiri telanjang: bangga pada sikap menolak, tetapi kedodoran menanggung akibatnya.

Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE