Oleh: Dr. Bukhari, M.H., CM
Dalam sebuah debat calon gubernur dan wakil gubernur Aceh, pasangan nomor urut 02, Muzakir Manaf dan Fadhlullah, mencetuskan ungkapan yang dengan cepat menjadi viral: “Itaufiq ka iwo idayah” (Taufiq pulang dari dayah). Ungkapan ini, meski sederhana, menyimpan pesan mendalam tentang perjalanan, perubahan, dan harapan. Bagi masyarakat Aceh, ini bukan hanya lelucon politik, melainkan simbol bagaimana masyarakat melihat masa depan Aceh: antara refleksi atas masa lalu dan harapan akan kemajuan.
Ungkapan ini seakan menyandingkan perjalanan “Taufiq” yang pulang dari dayah dengan kisah perjalanan Muzakkir Manaf dan Fadhlullah. Keduanya adalah sosok yang telah menempuh perjalanan panjang, baik sebagai mantan pejuang saat konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Indonesia, maupun sebagai bagian dari proses perdamaian setelah MoU Helsinki 2005. Dalam pandangan ini, “Taufiq” menjadi metafora transformasi: dari seorang individu yang belajar dan menempa diri, kini ia siap membawa perubahan untuk komunitasnya.
Narasi perjuangan yang dibawa oleh pasangan nomor urut 02 ini sangat menarik. Muzakkir Manaf, yang pernah menjadi Panglima GAM, adalah simbol perjuangan di masa perang yang kini berubah menjadi pemimpin politik dalam konteks damai. Fadhlullah, dengan semangat muda dan pengalaman manajemennya, melengkapi duet ini sebagai perwakilan regenerasi perjuangan Aceh. Kombinasi keduanya menggambarkan kesinambungan: perjuangan bersenjata telah bergeser menjadi perjuangan melalui kebijakan dan pembangunan.
Namun, dukungan yang diberikan oleh banyak partai kepada Muzakir dan Fadhlullah juga menimbulkan pertanyaan. Apakah ini murni pengakuan atas kapabilitas keduanya atau hanya strategi politik untuk memenangkan kursi kekuasaan? Kolaborasi lintas partai ini tentunya memberikan keuntungan legitimasi politik, tetapi juga menuntut pasangan ini untuk membuktikan diri sebagai pemimpin yang memprioritaskan rakyat, bukan sekadar alat politik.
Aceh saat ini memiliki tantangan besar, mulai dari tingginya angka pengangguran, ketimpangan infrastruktur, hingga kebutuhan untuk menjaga identitas budaya dan nilai ke-Islaman. Ungkapan “Itaufiq ka iwo idayah” seakan menjadi harapan rakyat akan pemimpin yang jujur, berani, dan bertanggung jawab. Sosok yang pulang dari dayah tidak hanya membawa ilmu, tetapi juga niat tulus untuk memperbaiki keadaan.
Kepopuleran ungkapan ini di media sosial menunjukkan bagaimana politik dapat menyentuh hati rakyat jika disampaikan dengan pesan yang relevan dan kuat. Namun, menjadi viral saja tidak cukup. Muzakir Manaf dan Fadhlullah harus mampu mengubah antusiasme ini menjadi langkah nyata untuk membawa perubahan di Aceh.
Ungkapan “Itaufiq ka iwo idayah” adalah refleksi dari harapan masyarakat Aceh. Kini, giliran Muzakkir dan Fadlullah untuk membuktikan apakah mereka dapat menjadi pemimpin yang diimpikan rakyat—pemimpin yang tidak hanya membawa cerita masa lalu, tetapi juga memberikan harapan baru untuk masa depan. Apakah mereka siap menjawab tantangan ini? Waktulah yang akan membuktikannya.
Penulis adalah Advokat dan Mediator Pusat Mediasi Nasional
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.