Oleh: Dr.H.Ikhsan Lubis,S.H.,SpN.,M.Kn
Pengantar
Peringatan Hari Agraria ke-65 menjadi momentum strategis untuk merefleksikan arah pembaruan hukum agraria Indonesia pasca enam dekade Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. Artikel ini mengusung gagasan Ius Integrum Nusantara sebagai kerangka konseptual dalam membangun sistem hukum agraria yang futuristik, determinatif, dan responsif. Ius Integrum Nusantara merupakan paradigma hukum integral yang mengharmoniskan hukum tanah, hukum adat, tata ruang, dan prinsip keberlanjutan ekologis dalam satu sistem yang utuh dan berkeadilan. Dalam konteks menuju Indonesia Emas 2045, transformasi ini menuntut pergeseran dari pendekatan legal-formal menuju hukum transformatif yang berpihak pada rakyat, terutama masyarakat adat dan petani kecil sebagai subjek utama. Melalui digitalisasi, desentralisasi tata ruang, serta penguatan kelembagaan dan profesi hukum yang berbasis nilai keadilan substantif, sistem hukum agraria diharapkan mampu menjawab tantangan konflik agraria, ketimpangan penguasaan tanah, dan krisis ekologis secara holistik. Dengan demikian, Ius Integrum Nusantara bukan sekadar wacana hukum, tetapi visi kolektif menuju tatanan agraria yang adil, lestari, dan bermartabat bagi generasi mendatang.
Selanjutnya, dalam rangka merefleksi 65 tahun Hari Agraria adalah saat tepat untuk merenungkan perjalanan panjang hukum agraria Indonesia sejak lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. UUPA bukan sekadar dokumen hukum, melainkan simbol perjuangan bangsa untuk menegakkan keadilan sosial dan kedaulatan atas tanah sumber kehidupan yang tak tergantikan. Namun, dalam perjalanan enam dekade, tantangan struktural dan kebijakan yang kurang berpihak pada rakyat masih membayangi implementasi cita-cita tersebut.
Hari Agraria ke-65 mengingatkan kita akan pentingnya transformasi sistem hukum agraria yang tidak hanya legal-formal, tetapi juga filosofis dan substansial. Menuju tahun 2045, Indonesia membutuhkan Ius Integrum Nusantara sistem hukum agraria integral yang menyatukan hukum tanah, hukum adat, tata ruang, dan prinsip keberlanjutan ekologis secara harmonis. Digitalisasi, desentralisasi, dan penguatan kelembagaan harus berjalan beriringan dengan pemberdayaan masyarakat adat dan petani kecil sebagai subjek utama hukum agraria.
Kesadaran kolektif dan keberanian politik menjadi kunci agar hukum agraria tidak sekadar menjadi alat administratif atau instrumen pasar, melainkan wahana peradaban yang memastikan distribusi keadilan, pelestarian lingkungan, dan keberlanjutan antar generasi. Hari Agraria bukan hanya seremonial, melainkan panggilan untuk bertindak nyata menyatukan visi dan kerja keras seluruh elemen bangsa dalam mengelola sumber daya agraria demi kemakmuran bersama.
“Tanah adalah akar kehidupan; menjaga keadilannya berarti menanam masa depan yang berakar pada kejujuran dan keberlanjutan.”
Mari bersama membangun Ius Integrum Nusantara 2045 sebagai warisan abadi, bukan hanya untuk kita, tetapi untuk generasi yang akan datang.
Arah Pembaruan Hukum Agraria Indonesia
Setiap tanggal 24 September, Indonesia merayakan Hari Agraria dan Tata Ruang , yang jadi momentum kebanggaan bangsa ini. HANTARU adalah singkatan dari Hari Antariksa yang pertama kali dirayakan pada 1990 dan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Perayaan tersebut bukan sekadar ritual seremonial, akan tetapi harus dipahami sebagai momen reflektif untuk menilai pencapaian dan tantangan dalam hukum agraria negara ini. UUPA didirikan dari kesadaran yang revolusioner. Spirit dari UUPA adalah memberikan kedaulatan kepada rakyat atas tanah mereka, menghentikan pikiran kolonialisme, dan mewujudkan kedaulatan sosial. Sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 ayat 3 yang artinya tanah ialah alat produksi yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya dan yang berhak menguasai tanah ialah rakyat. HANTARU, sebagai momentum penting, harus menjadi pijakan sekaligus untuk membingkai ulang pengaruh pembangunan hukum agraria.
UUPA muncul sebagai jawaban atas kebutuhan rekonstruksi sistem hukum nasional pasca-kolonial dengan landasan nilai hukum adat yang pluralistik. Dengan pencabutan Agrarische Wet 1870, tanah tidak lagi diperlakukan sebagai objek kapital semata, melainkan sebagai entitas sosial-ekologis yang harus dikelola demi kemaslahatan seluruh rakyat. UUPA menjadi fondasi sistem hukum agraria yang futuristik, deterministik, dan responsif; sebuah sistem hukum yang mampu membaca perubahan sosial, menjamin kontinuitas keadilan antar generasi, serta memberdayakan masyarakat melalui hukum transformatif dan berkeadaban. Namun, selama lebih dari enam dekade, implementasi UUPA masih mengalami hambatan, terjebak dalam tarik-menarik antara kepentingan hukum, ekonomi, dan politik kekuasaan.
Selain dari masalah penguasaan tanah, masalah agraria di Indonesia juga berakar pada sudut pandang yang tidak konsisten oleh negara yang diberikan oleh konstitusi. Mulai dari era orde baru hingga reformasi, kebijakan pertanahan memihak pada modal sementara mengorbankan hak-hak masyarakat adat, petani kecil, dan integritas ekosistem lokal. Gantinya, baik institusi bertawar dan mesin sosial demokrasi plural, dari Departemen Agraria hingga menjadi Kantor Pertanahan Nasional hingga menjadi Kementrian Agraria dan Tata Ruang menyoroti kekurangan dalam konsensus atas mandat sejarah ini. A shift dari land administration ke land governance di dasarkan pada hak dan keadilan sosial contohnya hasil daripada rekolonisasi teritorial melalui instrument hukum modern mesti mendapat pemahaman utama.
Selanjutnya, dalam kerangka teoritis hukum yang futuristik dan responsif, sistem hukum agraria Indonesia harus mengintegrasikan pendekatan interdisipliner yang mampu menjembatani norma, nilai, dan realitas sosial. Reformulasi hukum agraria ke depan harus mengadopsi konsep Ius Integrum sistem hukum integral yang tidak terfragmentasi oleh sektoralitas kebijakan, melainkan mampu menjalin sinergi antara hukum tanah, hukum lingkungan, hukum adat, dan hukum tata ruang. Dengan demikian, hukum tidak hanya menjadi alat rekayasa sosial (law as a tool of social engineering) tetapi juga wahana peradaban yang menjamin distribusi keadilan yang berkelanjutan. Ini juga menuntut pembaruan sistem pendidikan dan profesi hukum, termasuk kenotariatan, yang selama ini lebih banyak beroperasi dalam kerangka formalistik tanpa menggali substansi keadilan sosial agraria.
Kemudian, dalam menghadapi Indonesia Emas 2045 sebenarnya yang paling menantang adalah keberanian negara menggagas politik hukum agraria yang visioner, pluralistik, dan berpihak pada kepentingan rakyat. Desentralisasi tata ruang, perlindungan masyarakat hukum adat, digitalisasi pertanahan yang akuntabel, serta pembentukan lembaga peradilan agraria yang independen merupakan gubahan prasyarat membangun sistem hukum yang deterministik dan berdaya prediktif atas konflik sosial. Ini bukan lagi masalah efisiensi administratif, melainkan rekonsiliasi sejarah bangsa dengan tanahnya.
Memahami HANTARU sebagai momentum epistemik, bukan sekadar seremoni birokratik, mengajak kita meneguhkan komitmen terhadap cita-cita keadilan agraria berkelanjutan. Saatnya hukum agraria Indonesia tidak lagi menjadi medan kompromi politik yang kabur arah, melainkan pilar utama mewujudkan Ius Integrum Nusantara 2045 sistem hukum nasional yang tidak hanya sah secara legal, tetapi juga adil secara moral, lestari secara ekologis, dan luhur secara filosofis.
Meneguhkan UUPA Sebagai Pilar Sistem Hukum Agraria Nusantara
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 merupakan tonggak utama dekonstruksi dan rekonstruksi sistem hukum agraria nasional pasca-kolonial. UUPA bukan sekadar instrumen hukum, melainkan artikulasi kehendak kolektif bangsa untuk melepaskan diri dari warisan hukum kolonial yang diskriminatif dan eksploitatif. UUPA menggantikan sistem hukum ganda Belanda yang menempatkan hukum adat sebagai hukum subordinatif di bawah domein verklaring dengan sistem tunggal yang berlandaskan Pancasila, UUD 1945, dan nilai-nilai lokal.
Secara yuridis-normatif, UUPA menjadi antitesis Agrarische Wet 1870 yang melanggengkan penguasaan tanah oleh modal asing dan menyingkirkan masyarakat lokal dari akses sumber daya agraria. Sistem kolonial berakar pada dualisme hukum yang memisahkan kepentingan kapitalisme kolonial dan hukum adat yang terpinggirkan. UUPA memutus rantai subordinasi ini melalui Pasal 5, yang menegaskan hukum agraria nasional berbasis hukum adat yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, sosialisme Indonesia, dan peraturan perundang-undangan lain. Pendekatan ini merupakan selective legal transplantation yang mengadopsi nilai lokal secara aktif sekaligus menyaringnya melalui semangat konstitusional nasionalisme dan keadilan sosial.
Secara historis dan filosofis, UUPA mencerminkan implementasi sila kelima Pancasila dan alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan agraria bukan sekadar kepastian hukum formal, melainkan diwujudkan melalui redistribusi hak atas tanah, pengakuan komunitas adat, dan jaminan keberlanjutan ekologis. Dalam istilah teori keadilan distributif John Rawls, institusi sosial harus diatur agar memberikan manfaat terbesar kepada kelompok paling rentan. Dengan demikian, petani kecil, masyarakat adat, dan komunitas pesisir menjadi subjek utama kebijakan agraria, bukan sekadar objek pembangunan.
Selanjutnya, dalam kerangka Ius Integrum Nusantara 2045 keberadaan UUPA menjadi bagian dari sistem hukum deterministik yang mampu memproyeksikan perubahan sosial dan ekologis. Hukum agraria bukan lagi instrumen statis, melainkan sistem responsif terhadap krisis pangan, perubahan iklim, migrasi penduduk, dan urbanisasi. Paradigma ini menuntut hukum yang menjamin kepemilikan sekaligus keberlanjutan fungsi ekologis tanah (intergenerational equity) serta mendorong partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan agraria (legal empowerment). Negara berperan sebagai public trustee, bukan pemilik absolut, yang menjaga dan mendistribusikan sumber daya agraria untuk kemakmuran rakyat secara adil.
Secara komparatif, UUPA menampilkan karakteristik unik di antara sistem hukum agraria negara post-kolonial lain. Misalnya, program penghapusan Zamindari di India berhasil menghilangkan perantara feodal namun gagal memberikan kepastian hukum pada petani kecil akibat lemahnya administrasi dan korupsi. Di Afrika Selatan, Restitution of Land Rights Act 1994 menargetkan ketimpangan struktural apartheid, tetapi proses restitusi terhambat oleh ketimpangan ekonomi. Indonesia melalui UUPA menawarkan pendekatan integratif yang menegaskan hak milik rakyat, menghapus hukum kolonial Barat, serta mengintegrasikan hukum adat dalam sistem nasional manifestasi legal pluralism yang unik dan khas Nusantara.
Secara konseptual, UUPA unggul pada lima pilar utama: pertama, pengakuan hukum adat sebagai living law yang dinamis, tidak sekadar budaya beku; kedua, pembangunan sistem hukum agraria yang unifikatif dan egaliter, menghapus dikotomi antara hak Barat dan hak adat; ketiga, kepastian hukum melalui sistem pendaftaran hak atas tanah; keempat, penerapan asas fungsi sosial hak atas tanah yang menempatkan tanggung jawab sosial dan ekologis; kelima, prinsip keberlanjutan yang mengintegrasikan keseimbangan ekonomi, ekologi, dan sosial (eco-social justice).
Meskipun UUPA memiliki keunggulan dalam penciptaan normativitas, implementasinya menghadapi kendala berat. Konflik agraria tetap menjadi masalah struktural yang belum terselesaikan. Sebagai contoh, Komnas HAM melaporkan bahwa hingga akhir 2023, Komnas HAM telah mencatat lebih dari 680 kasus konflik agraria, dengan banyak kasus melibatkan masyarakat adat mendapat tekanan dari korporasi dan aparat negara. Hal ini menunjukkan adanya jarak antara teori yang tercantum dalam undang-undang dan praktik pelaksanaannya. Fakta ini membuktikan gagalnya pemulihan institusi dalam menciptakan undang-undang agraria berkeadilan.
Rekonstruksi Agraria untuk Keadilan Sejati
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 lahir dari rahim sejarah yang sedang mencari bentuk keadilan pasca-kolonial. UUPA menjadi jawaban atas warisan hukum agraria kolonial yang eksploitatif, diskriminatif, dan tidak mencerminkan kepribadian bangsa. Melalui Pasal 2, UUPA menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Amandemen ini bukan sekadar deklarasi hukum, melainkan cerminan dari mandat konstitusional Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan sila kelima Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam posisi ini, negara bertindak bukan sebagai pemilik mutlak, tetapi sebagai public trustee yang harus menjaga, mengatur, dan melindungi kepentingan rakyat dalam pengelolaan agraria.
Namun, idealisme tersebut belum sepenuhnya menjadi kenyataan. Sistem hukum kolonial yang dualistik antara westerse rechten yang melayani kepentingan kapitalis asing dan hukum adat yang disubordinasi baru dibongkar secara yuridis oleh UUPA. Pasal 5 UUPA mengukuhkan hukum adat sebagai dasar hukum agraria nasional sepanjang sesuai dengan kepentingan nasional dan tidak bertentangan dengan prinsip negara kesatuan. Prinsip redistributif agraria diperkuat oleh Pasal 7 yang menolak penguasaan tanah secara berlebihan. Namun, norma tersebut belum mampu membendung ekspansi kekuasaan modal yang difasilitasi negara, dan belum memberi ruang penuh kepada komunitas adat yang hidup dalam struktur sosial dan hukum yang berbeda dari logika negara modern.
Masalah laten dalam sistem agraria Indonesia terletak pada ketimpangan antara lex lata (hukum tertulis) dengan lex vivenda (hukum yang hidup). Salah satunya tampak pada pelaksanaan pendaftaran hak milik sebagaimana diwajibkan Pasal 23 ayat (1) UUPA. Sistem Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) memang sedang digalakkan pemerintah, namun hingga kini masih menghadapi kendala struktural: tumpang tindih klaim, konflik antar-lembaga, dan ketidakterpaduan basis data. Belum lagi, sistem pendaftaran tanah berbasis digital yang tengah dikembangkan oleh Kementerian ATR/BPN belum sepenuhnya sensitif terhadap keragaman lokal dan hukum adat. Banyak komunitas adat tidak terakomodasi dalam skema formal pendaftaran tanah ini, mengakibatkan maraknya konflik horisontal maupun vertikal. Pada 2023, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat 347 konflik agraria di Indonesia, mayoritas melibatkan komunitas adat versus korporasi dengan konsesi negara [1].
Ketimpangan itu diperparah oleh dominasi logika kapitalisme yang menjadikan tanah sebagai commodity, bukan commons. Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) kerap diberikan dalam skala luas tanpa memperhatikan keseimbangan ekosistem sosial, ekologis, dan hak historis masyarakat adat atau petani kecil. Fungsi sosial tanah, sebagaimana ditegaskan Pasal 6 UUPA, seringkali dikesampingkan demi kepentingan investasi dan pembangunan infrastruktur. Ironisnya, hukum agraria yang seharusnya menjadi pelindung keadilan sosial justru menjadi instrumen legitimasi bagi ekspansi oligarki tanah [2].
Selain itu, dalam dimensi filosofis, tanah dalam masyarakat Indonesia tradisional tidak dipandang sebagai objek hukum semata, tetapi sebagai bagian dari struktur etis dan kosmologis kehidupan. Di Tapanuli, dikenal konsep “tano ni debata” (tanah titipan Tuhan) yang menempatkan tanah sebagai entitas sakral yang harus dijaga dan diwariskan, bukan sekadar diperdagangkan. Di banyak komunitas adat, tanah adalah ruang hidup yang mengandung memori kolektif, sejarah, dan identitas. Penguasaan tanah yang hanya berbasis sertifikat administratif tanpa pengakuan terhadap sejarah relasional masyarakat dengan ruangnya telah melahirkan epistemic injustice terutama terhadap pengetahuan lokal dan hukum adat. Dalam logika hukum negara, hak milik diakui hanya jika didaftarkan, tetapi dalam logika masyarakat adat, legitimasi tanah bersumber pada warisan leluhur dan penguasaan turun-temurun yang tidak selalu tercatat secara formal. Hal ini menghasilkan ketimpangan epistemologis yang meminggirkan komunitas tradisional secara sistematis [3].
Di sinilah pentingnya visi Ius Integrum Nusantara 2045, yaitu sistem hukum agraria Indonesia yang transformatif, pluralistik, dan berkeadaban. Ius Integrum bukan sekadar harmonisasi antara hukum adat dan hukum negara, melainkan rekonstruksi total atas paradigma hukum agar mampu merespons dinamika sosial, prediksi perubahan ekologis, dan menjamin keberlanjutan keadilan antargenerasi. Dalam kerangka ini, digitalisasi pertanahan harus dilihat bukan semata modernisasi administratif, melainkan alat pemberdayaan masyarakat akar rumput. Sistem informasi pertanahan digital yang dikembangkan negara harus mengintegrasikan basis data masyarakat adat dan pola penguasaan tanah tradisional. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip legal empowerment yang menekankan partisipasi komunitas dalam menentukan masa depan ruang hidupnya.
Kelembagaan hukum agraria juga perlu direformasi secara struktural dan ideologis. Profesionalisme para aktor hukum, termasuk Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), harus diperkuat dengan pendekatan interdisipliner yang tidak hanya memuat aspek hukum positif, tetapi juga etika, ekologi, dan antropologi hukum. Di sisi lain, hukum agraria nasional juga harus menyesuaikan diri dengan norma global seperti Voluntary Guidelines on the Responsible Governance of Tenure of Land, Fisheries and Forests (VGGT) yang mengutamakan hak komunitas, keberlanjutan, dan transparansi. Negara-negara seperti Ekuador dan Bolivia telah mengadopsi prinsip rights of nature ke dalam sistem hukumnya. Bahkan Skandinavia, dengan model pendaftaran tanah digital yang transparan dan berbasis hak komunitas, memberikan pelajaran penting bagi Indonesia dalam membangun sistem agraria yang demokratis dan adil [4].
Dengan demikian, memperingati Hari Agraria ke-65 bukan hanya soal mengenang keberanian politik masa lalu, tetapi soal merefleksikan kembali janji keadilan yang tertunda. UUPA bukan sekadar teks hukum, melainkan proyek etis dan politik bangsa yang harus terus diperbarui, dipertajam, dan dijalankan secara konsekuen. Dalam semangat Ius Integrum Nusantara 2045, hukum agraria Indonesia harus menjadi instrumen transformasi sosial yang menjamin kedaulatan rakyat atas ruang hidupnya, memperkuat hak komunitas adat, dan melindungi ekosistem sebagai warisan bersama antar-generasi. “Tanah bukan hanya warisan dari leluhur, tetapi titipan dari anak cucu. Maka hukum harus menjaga, bukan menjualnya.”
Menyatukan Keadilan Agraria dan Kedaulatan Fiskal Bangsa
Tinjauan analis yuridis dalam kerangka besar pembangunan menuju Indonesia Emas 2045, rekonstruksi sistem hukum agraria harus secara mendasar terhubung dengan desain ulang arsitektur fiskal negara. Relasi antara struktur agraria dan strategi fiskal tidak dapat dianggap sebagai dua domain yang terpisah, sebab pada hakikatnya keduanya menyasar akar problem struktural yang sama: ketimpangan distribusi kekuasaan atas sumber daya dan marginalisasi kelompok rentan dari akses terhadap manfaat pembangunan. Dengan kata lain, pengelolaan tanah dan keuangan negara memiliki titik temu dalam mandat konstitusional untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jika reforma agraria dilihat sebagai instrumen rekognisi dan redistribusi aset produksi utama berupa tanah, maka strategi fiskal harus menjadi instrumen pembiayaan dan perlindungan bagi transformasi sosial tersebut. Sayangnya, hubungan antara keduanya masih berlangsung dalam sistem yang sektoral dan belum terintegrasi dalam satu narasi kebijakan publik yang kohesif. Kelemahan inilah yang menjelaskan mengapa alokasi anggaran untuk mendukung reforma agraria struktural dan penguatan hak masyarakat adat masih bersifat parsial, insidental, dan sering kali terganjal oleh persoalan teknokratik birokrasi fiskal[5].
Dari sisi filosofis, keterpaduan agraria dan fiskal merupakan cerminan dari asas distributive justice sebagaimana dirumuskan oleh John Rawls dalam Theory of Justice (1971), di mana pengaturan sumber daya harus menjamin keadilan terutama bagi kelompok yang paling tidak diuntungkan. Maka, fiskal bukan semata-mata kalkulasi angka dan neraca negara, tetapi ekspresi moral negara dalam menjamin hak dasar warganya, termasuk hak atas tanah dan ruang hidup yang layak. Oleh karena itu, tax policy dan budget allocation harus diposisikan sebagai instrumen untuk mendukung reforma agraria dan penguatan hak kolektif atas sumber daya, terutama dalam konteks komunitas adat dan petani kecil yang selama ini termarjinalkan dalam sistem kapitalisme ekstraktif[6].
Selanjutnya, dalam konteks yuridis normatif keberadaan integrasi ini mensyaratkan adanya legal harmonization antara regulasi pertanahan, pengelolaan keuangan negara, dan pembangunan berkelanjutan. UUPA No. 5 Tahun 1960, Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan UU Penataan Ruang serta UU Lingkungan Hidup harus diletakkan dalam satu kerangka tafsir hukum yang koheren dan sinergis. Pendekatan systemic interpretation menjadi penting untuk memastikan bahwa asas fungsi sosial tanah, pengelolaan sumber daya untuk kemakmuran rakyat, dan keadilan antargenerasi tidak hanya menjadi slogan normatif, melainkan mampu diwujudkan dalam tata kelola negara yang konkret dan terukur[7].
Sebagai pilar utama dalam formulasi Ius Integrum Nusantara 2045, hukum agraria yang bersinergi dengan kebijakan fiskal menjadi desain kelembagaan masa depan yang mampu merespons kompleksitas tantangan struktural Indonesia. Paradigma ini menolak dikotomi antara state versus market, dan mengusulkan model governance yang berbasis pada rekonsiliasi antara keadilan distributif dan efisiensi struktural. Dalam kerangka tersebut, alokasi anggaran untuk reforma agraria bukanlah beban fiskal, melainkan investasi jangka panjang dalam stabilitas sosial, ketahanan pangan, dan pembangunan berkelanjutan.
Sebagai catatan akhir, keberhasilan pembangunan hukum agraria yang transformatif dan integratif tidak mungkin dicapai hanya melalui perubahan regulasi. Ia membutuhkan kemauan politik (political will), keberanian etis, serta komitmen epistemologis untuk merombak cara pandang terhadap tanah bukan sebagai komoditas semata, melainkan sebagai pondasi kedaulatan bangsa dan instrumen pemerataan keadilan sosial. Melalui pendekatan futuristic, deterministic, dan responsive ala Ius Integrum Nusantara 2045, hukum agraria Indonesia dapat tumbuh menjadi sistem hukum nasional yang berakar pada nilai, bertumpu pada keadilan, dan menjawab tantangan zaman dengan prinsip keberadaban yang kuat.
Sebagaimana kata mutiara dari Bung Hatta yang hingga kini tetap relevan: “Indonesia tidak akan besar karena obor di Jakarta, tapi karena nyala lilin di desa-desa.”
Demikian pula halnya dengan hukum agraria: keadilannya tidak diukur dari pasal-pasal di ibu kota, tetapi dari rasa aman dan kepastian hukum yang dirasakan petani di lereng gunung, nelayan di pesisir, dan komunitas adat di pelosok negeri.
Rekonstruksi Sinergi Hukum Agraria-Fiskal
Kehendak historis dan normatif konstitusi Indonesia yang tercermin dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun, hingga hari ini, mandat tersebut masih terfragmentasi dalam implementasi hukum dan kebijakan negara, khususnya dalam sektor pertanahan dan kebijakan fiskal. Ketimpangan penguasaan tanah, konflik agraria yang berulang, serta kegagalan negara dalam menjadikan reforma agraria sebagai instrumen keadilan sosial merupakan konsekuensi langsung dari lemahnya integrasi antara norma hukum agraria dan desain kebijakan fiskal nasional. Dalam konteks ini, pembaruan hukum agraria tidak dapat dilepaskan dari rekonstruksi struktur fiskal negara, karena keduanya menyasar problem yang sama: ketidakadilan struktural yang bersumber dari kolonialisasi sumber daya dan marjinalisasi rakyat atas ruang hidup mereka.
Selanjutnya, melalui pendekatan Ius Integrum Nusantara 2045 yang berpijak pada paradigma hukum yang futuristic, deterministic, dan responsive, sistem hukum tidak cukup sekadar menanggapi peristiwa sosial, tetapi harus mampu memprediksi arah perubahan sosial, menjamin keberlanjutan keadilan, serta memberdayakan masyarakat dalam kerangka hukum yang pluralistik dan berkeadaban. Dalam konteks ini, reforma agraria bukan sekadar proyek redistribusi aset, tetapi bagian dari rekayasa sosial (social engineering) melalui hukum yang menjawab ketimpangan struktural secara sistemik. Maka, hukum agraria tidak bisa berdiri sendiri sebagai cabang hukum sektoral, melainkan harus diintegrasikan ke dalam sistem hukum fiskal sebagai pilar utama penyusunan kebijakan pembangunan nasional yang berorientasi pada keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis.
Sejarah pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 menandai titik awal pergeseran paradigma dari hukum tanah kolonial menuju sistem hukum nasional yang berbasis pada nilai-nilai keadilan sosial dan pengakuan atas hak-hak masyarakat hukum adat. Namun, semangat ini tidak secara organik terhubung dengan kerangka fiskal negara, yang hingga kini masih didominasi oleh pendekatan sektoral dan teknokratis. Padahal, dalam tradisi negara kesejahteraan modern, instrumen fiskal seperti APBN adalah alat utama dalam pelaksanaan prinsip redistributive justice, yang tidak terpisah dari kebijakan sosial termasuk pertanahan1. Di sinilah letak ironi struktural Indonesia: hukum agraria didorong untuk menyeimbangkan relasi kuasa atas tanah, tetapi tanpa dukungan fiskal yang memadai dan terencana, mandat tersebut gagal diwujudkan secara nyata dalam kehidupan masyarakat.
Ketidaksinkronan antara norma hukum dan realitas kebijakan fiskal ini memperlihatkan apa yang disebut sebagai normative dissonance, yakni ketegangan sistemik antara idealisme hukum dan praktik kebijakan. Dalam konteks agraria, ini tercermin dalam banyak proyek pembangunan seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) dan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang justru memperbesar disparitas agraria, mengabaikan hak masyarakat adat, dan menciptakan konflik struktural baru. Tanpa adanya kerangka fiskal yang mampu merespons dinamika sosial secara adil, reforma agraria justru terelegitimasi sebagai proyek administratif semata. Belanja negara tidak diarahkan sebagai katalis keadilan, tetapi sebagai sarana percepatan pertumbuhan ekonomi yang bersifat elitis dan eksklusif. Padahal, keadilan agraria sebagai prinsip hukum harus menjadi acuan utama dalam alokasi fiskal, sebagaimana telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 35/PUU-X/2012, yang menegaskan pengakuan atas hutan adat sebagai bukan bagian dari hutan negara, sekaligus mengafirmasi prinsip keadilan spasial dan hak ulayat masyarakat adat.
Formulasi hukum pertanahan yang integratif dengan kebijakan fiskal menuntut pendekatan systemic integration dalam desain hukum dan kelembagaan. Pertama, dibutuhkan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pertanahan, kehutanan, tata ruang, dan pengadaan tanah, dengan prinsip lex superior derogat legi inferiori dan lex specialis derogat legi generali yang dipahami dalam konteks keadilan substantif. Kedua, perlu adanya earmarking anggaran negara untuk program reforma agraria, termasuk pemetaan wilayah adat, legalisasi tanah rakyat, dan penyelesaian konflik agraria melalui mekanisme non-litigatif. Ketiga, negara perlu membangun sistem informasi pertanahan yang terbuka, akuntabel, dan berbasis teknologi, seperti pemanfaatan blockchain untuk pendaftaran tanah dan pelacakan klaim atas lahan secara transparan. Dengan cara ini, negara tidak hanya berperan sebagai regulator, tetapi juga sebagai facilitator of justice yang menjamin keadilan substantif melalui instrumen hukum dan fiskal secara bersamaan.
Paradigma responsive fiscalism yang mengedepankan fungsi sosial dari belanja negara harus menjadi fondasi utama perencanaan APBN 2026 sebagai titik awal integrasi kebijakan fiskal dengan agenda reforma agraria. Jika Indonesia serius menuju transformasi struktural dalam rangka Indonesia Emas 2045, maka keadilan agraria harus ditempatkan sebagai core value dalam kebijakan fiskal, bukan sebagai pelengkap administratif. Ini berarti bahwa keadilan agraria tidak hanya diperjuangkan melalui revisi regulasi atau penguatan kelembagaan, tetapi juga melalui komitmen fiskal yang nyata, konsisten, dan berbasis data. Sebab tanpa dukungan fiskal yang adil, hukum agraria akan terus terjebak dalam idealisme normatif yang tak tersentuh oleh kenyataan sosial.
Melalui pendekatan Ius Integrum Nusantara 2045, tulisan ini menegaskan bahwa relasi antara hukum pertanahan dan kebijakan fiskal bukanlah relasi antara dua instrumen negara yang berdiri sendiri, tetapi merupakan satu kesatuan sistem hukum nasional yang harus berjalan secara sinergis dan saling memperkuat. Sebab, hanya melalui sinergi tersebutlah cita-cita luhur konstitusi dapat dijalankan secara substantif: bahwa tanah dan sumber daya alam harus benar-benar digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat bukan hanya dalam tataran hukum, tetapi juga dalam realitas kehidupan rakyat itu sendiri.
Menata Ulang Hukum Agraria Nasional
Visi Indonesia Emas 2045 menandai sebuah momentum strategis dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Ia tidak hanya merepresentasikan ambisi untuk menjadi kekuatan ekonomi global, tetapi juga membawa mandat moral dan konstitusional untuk memastikan bahwa seluruh rakyat Indonesia menikmati hasil pembangunan secara adil dan merata. Dalam kerangka ini, keadilan agraria tidak dapat dipandang sebagai isu sektoral semata, melainkan sebagai fondasi utama dari cita-cita keadilan sosial yang telah diamanatkan oleh konstitusi sejak 1945. Tanpa pembaruan struktural dalam sistem hukum pertanahan dan integrasinya dengan kebijakan fiskal negara, visi Indonesia Emas berisiko menjelma menjadi slogan tanpa substansi.
Secara yuridis-normatif, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 telah dengan tegas menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun dalam praktiknya, struktur hukum agraria yang masih bercorak dualistik mengakomodasi sistem hukum kolonial sekaligus mengakui hukum adat belum mampu mewujudkan cita keadilan substantif. Konfigurasi normatif yang diatur dalam UUPA 1960 seringkali berkonflik dengan regulasi sektoral seperti UU Kehutanan, UU Minerba, dan UU Penataan Ruang, yang lebih menekankan pada pendekatan administratif dan teknokratis daripada asas keadilan. Ketidaksinkronan ini tidak hanya melemahkan efektivitas hukum agraria, tetapi juga membuka ruang tumpang tindih kewenangan, ketidakpastian hukum, dan eskalasi konflik agraria.
Dari pendekatan historis-filosofis, kegagalan negara dalam menjamin distribusi tanah secara adil merupakan manifestasi dari lemahnya kehendak politik untuk membebaskan sistem hukum dari warisan kolonial yang eksploitatif. Konsep “tanah sebagai komoditas” masih mendominasi perumusan kebijakan pembangunan, sehingga pertanahan lebih sering diposisikan sebagai instrumen investasi, bukan sebagai hak dasar warga negara. Dalam kerangka Ius Integrum Nusantara 2045, pendekatan hukum yang futuristic, deterministic, dan responsive harus mampu membaca arah perubahan sosial sekaligus menjamin keberlanjutan keadilan bagi generasi kini dan mendatang. Hukum agraria tidak cukup hanya berfungsi sebagai mekanisme redistribusi aset, melainkan harus menjadi instrumen transformasi sosial yang kontekstual, pluralistik, dan berkeadaban.
Keadilan agraria dalam konteks visi Indonesia Emas 2045 tidak dapat dilepaskan dari fakta empirik ketimpangan kepemilikan tanah yang masih mencolok. Data dari Bappenas menunjukkan bahwa 0,2 persen penduduk menguasai lebih dari 50 persen lahan produktif di Indonesia, sementara mayoritas rakyat miskin, terutama di pedesaan dan wilayah adat, tidak memiliki akses yang memadai terhadap sumber daya agraria. Ketimpangan ini bukan hanya berdampak pada ekonomi, tetapi juga menjadi sumber ketidakstabilan sosial dan ekologis. Situasi ini diperparah oleh lemahnya komitmen fiskal negara. Alokasi anggaran untuk reforma agraria dalam APBN masih sangat terbatas dan bersifat proyek jangka pendek, bukan berbasis hak (rights-based budgeting)
Lebih jauh, fragmentasi hukum antara regulasi agraria dan fiskal menjadi akar masalah ketidakefisienan kebijakan pembangunan. Misalnya, tidak ada mekanisme earmarking anggaran khusus untuk pemetaan wilayah adat, penyelesaian konflik tanah, atau legalisasi hak rakyat secara sistemik. Ini menunjukkan lemahnya integrasi antara desain hukum dan kebijakan fiskal sebagai satu kesatuan sistem hukum nasional. Tanpa sinergi antara keduanya, pembangunan hanya akan memperbesar ketimpangan struktural yang telah berlangsung lama. Keberadaan proyek-proyek strategis nasional, termasuk Ibu Kota Nusantara (IKN), jika tidak dilandasi pada prinsip keadilan agraria dan perlindungan hak masyarakat adat, justru berpotensi mereproduksi pola eksklusi yang telah menjadi warisan kolonialisme sumber daya.
Selanjutnya, dalam konteks Ius Integrum Nusantara 2045, pendekatan responsive fiscalism harus menjadi paradigma baru dalam pengelolaan APBN. Belanja negara tidak lagi semata-mata ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi makro, melainkan harus difungsikan sebagai instrumen afirmatif untuk memperkuat hak atas tanah, terutama bagi kelompok yang terpinggirkan. Dalam hal ini, keadilan agraria harus menjadi core value dalam perencanaan fiskal jangka panjang, bukan sekadar pelengkap administratif. Sebagaimana ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 35/PUU-X/2012, pengakuan terhadap hutan adat bukan hanya soal identitas budaya, tetapi juga bagian dari keadilan spasial dan kedaulatan rakyat atas ruang hidupnya.
Urgensi integrasi hukum dan fiskal dalam sektor agraria juga semakin mendesak seiring dengan tantangan perubahan iklim dan tekanan ekologis. Tanah sebagai sumber daya tidak hanya memiliki nilai ekonomi, tetapi juga fungsi ekologis dan sosial. Oleh karena itu, sistem hukum pertanahan yang responsif harus mampu menjawab tantangan tersebut melalui prinsip intergenerational justice dan environmental equity. Reformasi hukum agraria tidak bisa dilepaskan dari prinsip pembangunan berkelanjutan yang menempatkan manusia, lingkungan, dan keadilan sebagai satu kesatuan. Dalam konteks ini, teknologi dapat menjadi katalisator. Implementasi blockchain dalam sistem pendaftaran tanah, sebagaimana telah dicoba di Georgia dan Estonia, membuktikan bahwa teknologi dapat memperkuat transparansi, mempercepat legalisasi, dan mencegah manipulasi data. Indonesia harus mengadopsi inovasi ini secara kontekstual, terutama untuk mendukung wilayah adat dan komunitas rentan yang selama ini terpinggirkan oleh sistem hukum formal.
Pada akhirnya, menata ulang hukum agraria nasional dalam kerangka Indonesia Emas 2045 memerlukan langkah-langkah strategis yang tidak sekadar simbolik. Pertama, diperlukan harmonisasi peraturan perundang-undangan melalui pendekatan lex superior dan lex specialis yang berorientasi pada keadilan substantif. Kedua, perlu adanya integrasi kelembagaan antara otoritas fiskal dan agraria dalam satu kerangka kerja hukum nasional yang koheren dan inklusif. Ketiga, pembangunan sistem informasi pertanahan berbasis teknologi harus diarahkan pada partisipasi publik, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap hak-hak komunitas lokal.
Kesimpulannya, keadilan agraria adalah prasyarat utama bagi keberhasilan transformasi struktural menuju Indonesia Emas 2045. Ia bukan hanya agenda sosial, tetapi agenda konstitusional yang menuntut reformasi hukum secara menyeluruh dan berorientasi masa depan. Tanpa sinergi antara hukum agraria dan kebijakan fiskal, pembangunan nasional akan kehilangan arah moralnya. Oleh karena itu, tulisan ini mengajukan kerangka legal-fiscal-techno integration sebagai pendekatan baru yang tidak hanya menjawab ketimpangan agraria, tetapi juga memperkuat legitimasi hukum negara sebagai pelindung hak rakyat atas tanah, ruang hidup, dan masa depan yang berkeadilan.
Reforma Agraria Menuju Indonesia Emas
Sebagai ikhtiar bersama, terutama dalam kerangka mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045, agenda keadilan agraria menjadi isu sentral yang tidak dapat dikesampingkan. Tanah sebagai sumber daya strategis tidak hanya memegang fungsi ekonomi semata, melainkan merupakan pondasi sosial-kultural dan ekologis yang menyatu dengan hak-hak masyarakat, khususnya masyarakat adat dan kelompok marginal. Pendekatan yuridis-normatif dalam menelaah persoalan agraria menuntut paradigma hukum yang transformatif, bukan sekadar normatif formal, melainkan juga responsive terhadap perubahan sosial dan dinamika pluralitas hukum yang ada. Dalam kerangka Ius Integrum Nusantara 2045, hukum agraria harus didesain sebagai sistem yang deterministic dan futuristic, mampu memprediksi perubahan sosial dan menjamin kesinambungan keadilan di tengah kompleksitas tantangan pembangunan dan globalisasi.
Ketimpangan penguasaan tanah yang diwariskan dari rezim kolonial masih menjadi batu sandungan utama. Sistem hukum agraria nasional yang lahir dari Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 memiliki spirit progresif melalui pengakuan fungsi sosial tanah dan hak ulayat masyarakat adat, namun dalam implementasinya seringkali terjerat dalam fragmentasi regulasi dan norm conflicts dengan undang-undang sektoral seperti UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 dan UU Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007.
Konflik ini menimbulkan vakum hukum dan ketidakpastian yang berdampak pada marginalisasi masyarakat adat dan petani kecil, sekaligus memperkuat konsentrasi kepemilikan tanah oleh elit ekonomi. Dari perspektif filosofis, hal ini mencerminkan ketimpangan antara ius constitutum hukum yang berlaku dan ius constituendum hukum yang dicita-citakan sebagai instrumen keadilan sosial. Nilai utilitarian yang dominan dalam kebijakan agraria nasional menggantikan prinsip keadilan distributif yang adil dan berkeadaban.
Selain itu, dalam kerangka ius integrum, pembaruan hukum agraria harus mencakup integrasi multidimensi, yaitu harmonisasi norma hukum nasional dengan hukum adat, penguatan mekanisme pelibatan masyarakat, dan penggabungan instrumen teknologi terkini seperti blockchain untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pendaftaran tanah. Transformasi digital ini berpotensi mengikis discretionary power yang selama ini menjadi sumber korupsi dan konflik agraria. Namun, teknologi bukan solusi tunggal. Reformasi hukum harus berpihak secara nyata melalui kebijakan fiskal yang afirmatif, memberikan dukungan anggaran yang cukup dan terarah dalam APBN 2026 guna mendukung redistribusi tanah dan penyelesaian konflik secara sistemik. Alokasi anggaran negara harus menjunjung asas keadilan sosial substantif dengan prioritas kepada masyarakat adat, petani kecil, dan perempuan yang selama ini terpinggirkan.
Penguatan regulasi agraria yang inklusif juga harus memperhatikan dimensi pluralisme hukum dan keadilan gender. Pengakuan hukum terhadap sistem hukum adat harus diwujudkan secara nyata, tidak hanya melalui legitimasi normatif, tetapi juga dalam praktik kelembagaan yang efektif. Hal ini sekaligus menuntut penyesuaian regulasi sektoral agar tidak menimbulkan diskriminasi dan eksklusi sosial. Ketimpangan gender dalam akses tanah masih menjadi persoalan struktural yang menuntut integrasi prinsip non-diskriminasi dalam seluruh kebijakan agraria. Dalam konteks Visi Indonesia Emas 2045, penguatan keadilan gender bukanlah opsi, melainkan keharusan konstitusional yang harus diwujudkan untuk mencapai keadilan sosial yang utuh dan berkelanjutan.
Lebih jauh, tantangan fragmentasi kebijakan dan regulasi agraria yang tersebar di berbagai sektor pemerintahan harus segera diatasi dengan pendekatan multi-sectoral governance yang menyelaraskan peraturan lintas kementerian dan tingkat pemerintahan. Pembentukan lembaga koordinasi nasional seperti National Land Governance Council yang melibatkan partisipasi publik dapat menjadi solusi struktural untuk memperkuat harmonisasi kebijakan dan memastikan akuntabilitas pengelolaan sumber daya agraria. Ini adalah implementasi konkrit dari prinsip ius integrum yang menuntut hukum tidak hanya sebagai instrumen kontrol sosial, tetapi juga pemberdayaan masyarakat secara inklusif dan berkeadaban.
Dengan demikian, pembaruan hukum agraria dan kebijakan fiskal dalam konteks Visi Indonesia Emas 2045 harus didasarkan pada kerangka hukum yang integratif dan filosofis, mengutamakan social-ecological justice, dan dirancang secara futuristik serta responsif terhadap dinamika sosial. Pendekatan ini menjadikan hukum pertanahan sebagai instrumen transformatif yang tidak hanya menjamin kepastian hukum dan perlindungan hak, tetapi juga mengoptimalkan fungsi sosial tanah sebagai penopang keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan kesejahteraan bersama. Reformasi ini merupakan upaya kolektif negara dan masyarakat untuk menghapuskan warisan kolonialisme agraria dan mewujudkan Indonesia yang adil, makmur, dan beradab.
Sinergi Fiskal-Hukum Agraria Wujudkan Keadilan
Dalam kerangka pembangunan nasional yang berkelanjutan, keterkaitan strategis antara kebijakan fiskal nasional dan reformasi hukum agraria memegang peranan sentral dalam mewujudkan keadilan sosial yang autentik dan pembangunan yang inklusif. Kebijakan fiskal bukan sekadar instrumen ekonomi makro, melainkan mekanisme normatif yang harus mencerminkan tanggung jawab negara sebagai regulator dan pelindung hak atas tanah yang menyimpan nilai sosial, ekologis, serta kultural mendalam. Pendekatan yuridis-normatif dalam analisis ini menegaskan bahwa hukum agraria, sebagai bagian dari sistem hukum nasional, tidak dapat berdiri sendiri tanpa dukungan struktur fiskal yang kuat dan terarah, yang sejalan dengan mandat konstitusional Pasal 33 UUD 1945 dan grand design pembangunan Indonesia Emas 2045.
Realitas ketimpangan struktural dalam penguasaan tanah yang menunjukkan dominasi segelintir kelompok atas mayoritas rakyat menjadi persoalan mendasar yang menghambat prinsip keadilan distributif. Data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) tahun 2024 mengungkap bahwa 56% tanah Indonesia dikuasai oleh 1% populasi, sebuah fakta yang mencerminkan kegagalan sistem hukum agraria dalam menegakkan keadilan substantif dan kebijakan fiskal yang belum memadai dalam mengatasi disparitas tersebut. Fragmentasi regulasi agraria yang diwarnai konflik norma antara Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 dengan regulasi sektoral lain, serta disharmoni antara pusat dan daerah, menimbulkan ketidakpastian hukum yang berujung pada ketidakadilan sosial. Oleh sebab itu, rekonstruksi sistem hukum agraria yang mengintegrasikan ius constitutum dan ius constituendum harus menjadi prioritas, dengan memperkuat hierarki norma berdasarkan asas lex superior derogat legi inferiori agar tercipta kesinambungan regulasi yang harmonis dan responsif terhadap perubahan sosial.
Kebijakan fiskal dalam APBN 2026 harus dipandang sebagai instrumen vital dalam menata ulang akses atas tanah yang berkeadilan, bukan hanya dilihat dari perspektif efisiensi ekonomi makro. Dalam perspektif fiscal jurisprudence, alokasi anggaran harus selaras dengan prinsip keadilan distributif yang berakar pada pemikiran Aristoteles dan John Rawls, khususnya prinsip difference principle yang menuntut intervensi negara untuk memperbaiki ketimpangan struktural. Oleh karena itu, prioritas belanja negara perlu diarahkan pada peningkatan akses tanah bagi petani kecil, masyarakat adat, serta kelompok rentan, dengan mempertimbangkan aspek land tenure security dan dampak redistributif yang mengatasi kemiskinan multidimensi secara efektif dan berkelanjutan.
Pendekatan filosofis menguatkan urgensi integrasi antara asas utilitas publik dan intergenerational equity dalam pengelolaan tanah yang merupakan sumber daya tak terbarukan (non-renewable resource). Land stewardship harus berlandaskan prinsip kehati-hatian hukum (precautionary principle) dan keadilan ekologis (environmental justice) guna melindungi fungsi ekologis lahan sekaligus menjamin keberlanjutan sumber daya untuk generasi mendatang. Kebijakan fiskal yang efektif harus memberikan insentif untuk konservasi lahan produktif, serta mekanisme disinsentif terhadap alih fungsi lahan yang merugikan lingkungan dan masyarakat. Implementasi teknologi transparansi seperti blockchain-based land registry system, sebagaimana berhasil diterapkan di negara-negara maju, menjadi contoh konkret bagaimana inovasi hukum dan fiskal dapat memperkuat tata kelola agraria yang akuntabel dan efisien.
Dalam konteks yuridis normatif, konflik norma antara ius publicum dan ius privatum seringkali menimbulkan ketegangan antara kepentingan pembangunan publik dan perlindungan hak-hak individu maupun komunitas adat. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013 menegaskan kedudukan hak ulayat masyarakat hukum adat setara dengan hak atas tanah lainnya, sehingga kebijakan fiskal dan hukum agraria harus mengakui dan melindungi hak ini secara tegas. Pengingkaran terhadap hak ulayat merupakan bentuk legal disenfranchisement yang bertentangan dengan prinsip non-retrogression dalam hukum hak asasi manusia. Korelasi antara strategi fiskal yang pro-rakyat dan pengakuan hukum atas hak ulayat menjadi indikator penting keberpihakan negara terhadap keadilan sosial dan penghormatan terhadap pluralitas hukum di Indonesia.
Selain itu, tantangan kesetaraan gender dalam kepemilikan tanah tidak boleh diabaikan, mengingat Pasal 3 UUPA menegaskan keadilan dan kesetaraan dalam pemberian hak atas tanah. Oleh karenanya, APBN harus memasukkan alokasi anggaran afirmatif untuk pemberdayaan perempuan di sektor agraria serta penguatan perlindungan hukum kelompok rentan melalui kerangka hukum inklusif. Regulasi yang ketat terhadap investasi asing di sektor pertanahan juga penting untuk menjaga national interest dan menghindari eksploitasi yang merugikan masyarakat lokal dan merusak lingkungan hidup.
Kesimpulannya, sinergi antara kebijakan fiskal dan reformasi hukum agraria merupakan fondasi strategis dalam mewujudkan keadilan sosial dan pembangunan berkelanjutan yang menjadi pilar visi Indonesia Emas 2045. Reformasi hukum agraria tidak hanya menuntut pembaruan normatif, tetapi juga restrukturisasi kebijakan fiskal yang berpihak pada rakyat dan keberlanjutan. Pendekatan fiscal-agrarian justice framework yang mengintegrasikan norma hukum, etika keadilan, dan mekanisme fiskal ini adalah wujud penerapan Ius Integrum Nusantara 2045 yang futuristik, deterministic, dan responsif, sehingga mampu memprediksi arah perubahan sosial, menjamin kesinambungan keadilan, dan memberdayakan masyarakat secara transformatif, pluralistik, dan beradab. Dengan demikian, agenda reformasi hukum dan fiskal agraria harus didukung oleh keberanian politik dan visi jangka panjang untuk menempatkan rakyat sebagai subjek utama pembangunan bangsa.
Rekonstruksi Hukum Agraria Menuju Indonesia Emas
Dalam perspektif yuridis-normatif, pengelolaan pertanahan di Indonesia harus keluar dari jebakan formalitas administratif birokrasi yang parsial dan fragmentaris, menuju sebuah sistem hukum agraria yang berakar pada mandat konstitusional serta instrumen utama pembangunan berkeadilan. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bukan sekadar legitimasi normatif, melainkan merupakan grundnorm yang mewajibkan negara menjalankan fungsi pengelolaan sumber daya alam sebagai trust yang mengutamakan kemakmuran rakyat secara menyeluruh. Dengan demikian, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 seyogianya berfungsi sebagai lex generalis yang menyatukan rezim-rezim hukum sektoral seperti kehutanan, pertambangan, dan investasi yang selama ini menimbulkan disintegrasi hukum agraria. Namun realitas yuridis menunjukkan fragmentasi dan inkonsistensi norma yang menciptakan disonansi antara pengakuan hak rakyat dan dominasi negara sebagai penguasa tanah, terutama ketika prinsip fungsi sosial tanah dalam Pasal 6 UUPA tergerus oleh norma ekonomis sektoral yang memperlakukan tanah sebagai objek kapital semata. Kondisi ini mengindikasikan perlunya rekonstruksi hukum yang mengedepankan prinsip constitutional entitlement pengakuan hak atas tanah sebagai hak konstitusional warga negara yang mengandung kewajiban negara dalam menjamin keadilan distributif dan keberlanjutan sosial-ekologis.
Pendekatan filosofis menuntut pergeseran paradigma ontologis tanah dari sekadar komoditas yang dapat diperjualbelikan menjadi entitas publik yang melekat dengan tanggung jawab ekologi dan sosial, selaras dengan prinsip public trust yang menempatkan hukum sebagai instrumen emansipatif dan transformasi sosial. Inspirasi dari pemikiran progresif Satjipto Rahardjo menegaskan pentingnya hukum agraria sebagai alat pembebasan yang harus mengakomodasi perlindungan hak-hak masyarakat adat, petani kecil, dan kelompok marginal yang selama ini terpinggirkan oleh rezim pengelolaan negara sentris. Dalam konteks pembangunan Indonesia Emas 2045, hukum agraria harus memfasilitasi penguatan land tenure security yang inklusif, melampaui sekadar sertifikasi formal, dengan menegakkan hak atas tanah ulayat, memperkuat agrarian data sovereignty melalui kebijakan one-map policy, serta mengintegrasikan prinsip restorative justice dalam penyelesaian sengketa agraria, mengutamakan keadilan substantif di atas proseduralisme yang kaku.
Secara sistemik, rekonstruksi hukum agraria harus mengakomodasi dinamika sosial-ekonomi dan lingkungan yang semakin kompleks, serta berorientasi pada prediksi perubahan sosial dan kebutuhan masa depan yang berkelanjutan. Penguatan kelembagaan, seperti pembentukan Land Justice Council sebagai organ independen pengawas reforma agraria, menjadi krusial untuk memastikan pelaksanaan kebijakan pertanahan yang demokratis, transparan, dan partisipatif. Integrasi teknologi informasi dalam sistem registrasi tanah menambah dimensi legal certainty sekaligus mengurangi ruang administratif yang rentan korupsi dan manipulasi. Prinsip participatio civium juga harus diwujudkan dalam tata kelola pertanahan, sehingga kebijakan penguasaan dan penggunaan tanah tidak semata-mata top-down, tetapi mencerminkan aspirasi komunitas lokal, memperkokoh legitimasi dan keberlanjutan sosial.
Mengacu pada filosofi hukum agraria yang berakar pada Pancasila dan prinsip-prinsip keadilan sosial internasional, hukum pertanahan nasional harus mampu menyelaraskan kepentingan individu dan kolektif serta menghormati keberagaman budaya, terutama dalam perlindungan hak ulayat masyarakat adat. Pengelolaan tanah yang berorientasi pada keberlanjutan lingkungan, sebagaimana ditegaskan Pasal 14 UUPA, wajib mengimbangi pembangunan ekonomi dengan pelestarian ekosistem, sekaligus menjaga kedaulatan sumber daya alam sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945. Dengan paradigma hukum yang futuristik, deterministic, dan responsif, sistem hukum agraria harus mampu mengantisipasi tantangan globalisasi, perubahan iklim, dan tekanan investasi asing tanpa mengorbankan prinsip keadilan dan kelestarian lingkungan.
Rekonstruksi hukum agraria nasional yang menyeluruh dan transformatif ini bukan sekadar perubahan kosmetik, melainkan langkah strategis untuk menghadirkan sistem hukum yang future-proof, pluralistik, dan berkeadaban, sesuai visi Indonesia Emas 2045. Dengan integrasi prinsip ius naturale, asas social function, dan konsep distributive justice, paradigma baru ini menegaskan tanah sebagai constitutional entitlement sekaligus public ecological asset yang menuntut pengelolaan berbasis keadilan sosial dan keberlanjutan. Reformasi ini tidak hanya memerlukan revisi normatif dan institusional, tetapi juga keberanian politik dan komitmen kolektif untuk membangun tatanan hukum agraria yang demokratis, inklusif, dan berkelanjutan sebuah kerangka hukum nasional yang mampu menjamin kesinambungan keadilan dan memberdayakan masyarakat sebagai subjek utama pembangunan nasional.
Keadilan Distribusi Tanah dalam Paradigma Ius Integrum Nusantara
Postur dan belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2026 seharusnya tidak dipandang sebagai dokumen fiskal teknokratis semata, melainkan sebagai ekspresi konkret dari political will negara yang terintegrasi secara yuridis-normatif dengan prinsip keadilan distribusi tanah dalam hukum agraria nasional. Perspektif yuridis normatif menegaskan bahwa APBN sebagai produk hukum negara harus selaras dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya prinsip keadilan sosial dan pemerataan yang menjadi pilar utama hukum agraria, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Dalam konteks ini, APBN 2026 harus berfungsi sebagai instrumen transformatif yang tidak hanya mengalokasikan sumber daya secara efisien, tetapi juga menjamin distribusi tanah yang adil dan berkelanjutan melalui integrasi skema redistributif, penguatan kelembagaan hukum pertanahan, dan pemberdayaan komunitas adat dan petani kecil.
Namun, analisis historis dan filosofis mengungkap adanya ketidaksesuaian yang signifikan antara norma hukum fiskal dan hukum agraria yang dapat menghambat efektivitas kebijakan redistributif tersebut. Misalnya, tumpang tindih kewenangan dan fragmentasi regulasi sektoral yang mengatur keuangan negara dan pengelolaan agraria, khususnya ketidakkonsistenan antara Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, menciptakan legal dualism yang memicu konflik norma. Dari perspektif yuridis normatif, perbedaan prioritas antara prinsip efisiensi fiskal dan kewajiban negara menjamin keadilan sosial atas tanah mencerminkan krisis integrasi yang memerlukan rekonstruksi normatif secara mendalam. Fenomena ini bukan sekadar persoalan administratif, melainkan manifestasi dari ketidakselarasan filosofi hukum yang mengedepankan ius distributivum dan solidaritas sosial dengan logika budgetary discipline yang mengutamakan akuntabilitas dan efisiensi.
Dalam bingkai filosofis, penting dipahami bahwa anggaran negara harus mencerminkan prinsip substantive equality dan intergenerational equity, yang tidak hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan fiskal jangka pendek, tetapi juga menjamin keberlanjutan hak atas tanah bagi generasi mendatang. Pendekatan ini sejalan dengan paradigma Ius Integrum Nusantara 2045 yang menuntut sistem hukum futuristik, deterministic, dan responsif sistem yang mampu memprediksi perubahan sosial sekaligus menjaga kesinambungan keadilan dan memberdayakan masyarakat dalam kerangka hukum yang transformatif, pluralistik, dan berkeadaban. Dalam konteks ini, APBN 2026 harus berfungsi sebagai living document dari social contract yang mengedepankan rekonsiliasi antara norma hukum tertulis dan hukum adat, serta antara pengelolaan fiskal dan keadilan agraria substantif.
Pendekatan yuridis normatif yang diusung oleh paradigma ini juga menggarisbawahi urgensi reformasi kelembagaan fiskal dan agraria yang menjunjung tinggi prinsip good governance, transparansi, partisipasi publik, dan akuntabilitas. Penerapan mekanisme participatory budgeting menjadi sangat strategis sebagai instrumen demokratisasi fiskal yang tidak hanya meningkatkan legitimasi kebijakan publik, tetapi juga memperkuat perlindungan hak atas tanah komunitas rentan dan adat secara berkeadilan. Dengan melibatkan masyarakat secara langsung dalam perencanaan dan pengawasan anggaran, negara tidak hanya memenuhi aspek legal-formal, tetapi juga aspek legitimasi sosial, sehingga kebijakan redistribusi tanah dapat diterima secara luas dan efektif.
Secara sistemik, integrasi antara hukum fiskal dan hukum agraria yang diusung oleh Ius Integrum Nusantara 2045 membuka peluang bagi rekonstruksi kerangka regulasi yang selama ini terfragmentasi menjadi sistem yang holistik dan berkelanjutan. Hal ini menuntut penyusunan fiscal-agrarian framework yang mampu menjembatani konflik norma melalui harmonisasi peraturan perundang-undangan, serta pengaturan mekanisme earmarked budget yang eksplisit dan terjaga dari intervensi politik jangka pendek. Dengan demikian, APBN bertransformasi menjadi instrumen legal-politik yang mampu merealisasikan keadilan sosial dan redistribusi tanah secara substantif, bukan sekadar alat administrasi fiskal.
Kesimpulannya, postur dan alokasi belanja APBN 2026 memiliki peran strategis sebagai instrumen normative state policy yang mampu mendorong transformasi sistem agraria nasional menuju Indonesia Emas 2045. Penataan ulang kebijakan fiskal yang responsif terhadap prinsip keadilan agraria harus ditempatkan dalam kerangka rekonstruksi institusional yang berorientasi pada inklusivitas, keberlanjutan, dan penghormatan terhadap pluralisme hukum. Dalam kerangka tersebut, APBN bukan hanya cerminan kemampuan fiskal negara, melainkan manifestasi komitmen konstitusional yang berfungsi mengoreksi ketimpangan historis dan membangun masa depan agraria yang adil, demokratis, dan berkeadaban.
Paradigma Ius Integrum Nusantara 2045
Kajian mendalam mengenai dualisme hukum pertanahan pada masa penjajahan Belanda membuka perspektif kritis yang esensial dalam memahami konfigurasi hukum agraria Indonesia saat ini. Secara yuridis-normatif, fenomena dualisme tersebut bukan hanya sekadar jejak historis, melainkan sebuah manifestasi ketidakseimbangan paradigma hukum yang menimbulkan konflik norma (norm conflict) antara prinsip dominium hukum Eropa yang mengedepankan kepemilikan individual dan eksploitasi, dengan prinsip usus fructus hukum adat yang menekankan hak kolektif serta keberlanjutan sosial-ekologis.
Hukum kolonial yang diwadahi oleh aturan seperti Agrarische Wet 1870 dan sistem Erfpacht telah mengukuhkan dominasi ekonomi penjajah sekaligus mengabaikan asas keadilan sosial yang menjadi fondasi hukum agraria nasional pascakemerdekaan. Pendekatan yuridis normatif menegaskan bahwa ketidaksinkronan antara norma kolonial dan hukum adat memicu ketegangan normatif yang terus berlanjut, terutama dalam pengakuan hak masyarakat adat dan upaya redistribusi tanah sebagai instrumen keadilan distributif. Kajian filosofis memperkaya dimensi ini dengan menegaskan bahwa dualisme hukum tersebut merefleksikan pertentangan antara legalitas formal dan legitimasi sosial, yang konseptualnya menuntut rekonstruksi sistem hukum nasional menuju legal pluralism yang inklusif dan responsif. Konsep ini sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045 yang berorientasi pada pembangunan berkelanjutan dan pemerataan kesejahteraan, di mana constitutional entitlement atas tanah sebagai hak fundamental perlu dipertegas dalam perspektif distributive justice. Sinergi normatif antara hukum tertulis dan hukum adat serta harmonisasi regulasi lintas sektor menjadi fondasi untuk mengatasi fragmentasi normatif sekaligus memperkuat legitimasi kebijakan agraria dan fiskal.
Dalam konteks implementasi, data hukum-sosial mengungkap adanya ketidaksesuaian antara aturan fiskal dalam Undang-Undang Keuangan Negara dengan norma agraria dalam UUPA No. 5 Tahun 1960, yang menimbulkan regulatory misalignment dan ketegangan antara efisiensi fiskal dan keadilan sosial. Kajian ini menawarkan analisis tajam bahwa kebijakan fiskal tidak semata-mata harus berfungsi sebagai mekanisme ekonomi, melainkan sebagai manifestasi kehendak normatif negara yang harus menegakkan hak atas tanah secara adil dan berkelanjutan. Oleh karena itu, reformasi tata kelola anggaran yang mengintegrasikan mekanisme partisipatif dan pengawasan demokratis sangat krusial agar anggaran negara secara konkret mendukung program redistribusi tanah dan pengakuan hak masyarakat adat, sejalan dengan tujuan pembangunan nasional yang inklusif dan berkeadilan. Model rekonstruksi sistem agraria yang diusulkan berakar pada prinsip social justice, sustainability, dan keadilan distributif, sekaligus mampu mengatasi dualisme hukum kolonial dan kompleksitas sosial pluralistik Indonesia kontemporer. Dengan demikian, hasil kajian ini memperkuat landasan teoretis dan filosofis hukum agraria nasional serta menawarkan arahan normatif dan aplikatif yang sistemik dalam reformasi regulasi dan kelembagaan, demi mewujudkan visi Indonesia Emas 2045 secara konkret dan terukur.
Secara eksplisit, kajian ini memperkenalkan kebaruan konsep rekonstruksi hukum agraria nasional yang menempatkan paradigma fiskal sebagai instrumen normatif integral dengan prinsip hukum agraria, sekaligus menegaskan pentingnya legal pluralism sebagai kerangka inklusif dalam pengelolaan agraria yang berkeadilan sosial. Rekomendasi kebijakan yang berlandaskan data empiris dan analisis normatif ini mengusulkan desain hukum-fiskal yang koheren dan harmonis, guna menjawab tantangan kontemporer pengelolaan agraria serta memperkuat tata kelola negara yang demokratis dan berkeadilan. Pendekatan ini secara sistemik mendorong transformasi paradigma hukum yang futuristik, deterministic, dan responsive yang mampu memprediksi perubahan sosial, menjamin kesinambungan keadilan, dan memberdayakan masyarakat dalam kerangka hukum transformatif dan berkeadaban. Dengan demikian, kajian ini memberikan kontribusi signifikan dalam membangun sistem hukum nasional yang visioner, memadukan legalitas, legitimasi, dan keberlanjutan menuju Indonesia Emas 2045. Kajian ini bukan hanya menghindarkan pengulangan warisan kolonial, melainkan juga menegaskan bahwa integrasi normatif hukum adat dan hukum negara serta penyelarasan kebijakan fiskal adalah prasyarat fundamental untuk menghadirkan keadilan agraria yang inklusif, pluralistik, dan berkelanjutan sebuah sistem hukum yang responsif terhadap kebutuhan dan dinamika masyarakat Indonesia masa depan[10].
Penutup: Refleksi 65 Tahun Agraria
Kajian mendalam tentang dualisme hukum pertanahan di Indonesia yang berakar dari warisan kolonial Belanda memperlihatkan kompleksitas normatif dan filosofis yang hingga kini mempengaruhi dinamika hukum agraria nasional. Dualisme tersebut bukan hanya permasalahan historis, tetapi juga mencerminkan ketidakseimbangan paradigma hukum antara kepemilikan individual ala hukum Eropa dan hak kolektif berdasarkan hukum adat yang menempatkan fungsi sosial tanah sebagai inti keadilan agraria. Melalui pendekatan yuridis-normatif dan filosofis, kajian ini menegaskan perlunya rekonstruksi sistem hukum agraria yang memadukan legal pluralism, integrasi nilai keadilan distributif, dan sinkronisasi kebijakan fiskal yang responsif terhadap aspirasi sosial dan budaya masyarakat.
Kondisi normatif yang masih menghadirkan konflik aturan antara UU Keuangan Negara dan UUPA menunjukkan perlunya harmonisasi regulasi serta pembaruan kelembagaan yang mampu mengelola anggaran negara secara transparan, partisipatif, dan akuntabel demi menjamin keberlanjutan program reforma agraria. Model tata kelola agraria masa depan harus mengedepankan prinsip social justice, sustainability, dan pluralisme hukum, yang selaras dengan visi Indonesia Emas 2045. Reformasi ini bukan hanya soal kepastian hukum, melainkan juga transformasi sosial yang berkeadilan dan inklusif, khususnya dalam pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat sebagai bagian integral dari identitas nasional.
Dengan demikian, pembaruan hukum agraria yang menyinergikan paradigma hukum adat dan hukum nasional serta kebijakan fiskal yang adaptif merupakan langkah strategis dalam membangun fondasi sistem hukum agraria yang futuristik, deterministic, dan responsive mampu memprediksi perubahan sosial sekaligus memberdayakan masyarakat secara berkeadaban. Ini adalah prasyarat esensial untuk mewujudkan keadilan sosial yang merata dan pembangunan berkelanjutan dalam konteks pluralistik Indonesia.
Sebagai refleksi dalam peringatan 65 tahun agraria, kiranya kata-kata bijak ini menginspirasi perjalanan ke depan: “Tanah adalah jejak leluhur dan warisan generasi, keadilan agraria adalah jembatan yang menyatukan masa lalu dan masa depan, di dalamnya terpatri harapan bangsa untuk hidup beradab dan berkelanjutan.”
Dengan semangat tersebut, reformasi agraria harus terus dijalankan dengan penuh kesungguhan, menjadikan hak atas tanah sebagai fondasi keadilan sosial dan kemakmuran bangsa yang berkelanjutan.
Penulis adalah Ketua Pengwil Sumatera Utara Ikatan Notaris Indonesia
Catatan Kaki
[1] Konsorsium Pembaruan Agraria, Catatan Akhir Tahun 2023: Reforma Agraria dalam Bayang-Bayang Konsesi, Jakarta, 2023.
[2] Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, Pasal 6 dan Pasal 7; Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33 ayat (3).
[3] Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice Against Epistemicide, Routledge, 2014.
[4] FAO, Voluntary Guidelines on the Responsible Governance of Tenure of Land, Fisheries and Forests, Rome: FAO, 2012; Lihat juga Komnas HAM, Laporan Tahunan 2023: Konflik Agraria dan Masyarakat Adat, Jakarta.
[5] Bappenas. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045. Kementerian PPN/Bappenas, 2023.
[6] Rawls, John. A Theory of Justice. Harvard University Press, 1971.
[7] Priyanta, M. (2015). Pembaruan dan Harmonisasi Peraturan Perundang- undangan Bidang Lingkungan dan Penataan Ruang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Reform and Harmonization of Legislation concerning Environment and Spatial Planning towards Sustainable Development.
[8] Barrientos, Armando. Social Protection and the Redistribution of Opportunity. Journal of Development Studies, Vol. 53, No. 12, 2017.
[9] Mahkamah Konstitusi. Putusan MK No. 35/PUU-X/2012. Pengakuan hutan adat sebagai bukan hutan negara. Jakarta: MKRI, 2012.
[10] Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Laporan Kajian Hukum Pertanahan dan Hak Masyarakat Adat di Indonesia, Jakarta, 2023, hlm. 45-67.