Oleh Shohibul Anshor Siregar
Sejarah menunjukkan barbarisme politik bukan penyimpangan, melainkan bagian inheren proses peradaban. Maka kekuasaan hegemonik mengonsolidasi posisi mereka dengan mengesahkan kesewenang-wenangan melalui legitimasi ideologis, narasi demokrasi dan peradaban (termasuk hukum) sebagai pembenaran
Scroll Untuk Lanjut MembacaIKLAN
Sabtu sore (16/11/2024) jurnalis senior Chairuddin Pasaribu meminta tanggapan penulis tentang laporan Yance Aswin, Ketua Tim Hukum Pasangan Calon Gubernur Edy Rahmayadi-Hasan Basri Sagala, yang menuduh Rektor USU dan ‘lingkaran terdalamnya’ terlibat kegiatan mendukung Bobby Nasution-Surya.
Yance Aswin mengklaim memiliki bukti dari relawan bahwa Rektor USU diduga mengadakan beberapa kali pertemuan dengan pejabat Bupati dan Wali Kota di ruang kerjanya, yang dianggap berkaitan dengan strategi pemenangan calon tertentu. Rektor USU juga diduga terlibat dalam persiapan debat kandidat untuk pasangan calon nomor urut 1.
Yance Aswin mengingatkan bahwa Rektor USU seharusnya bersikap netral dan tidak terlibat dalam politik praktis. Yance Aswin meminta klarifikasi dari Rektor dalam waktu 3 x 24 jam, dan jika tidak ada tanggapan, akan mempertimbangkan langkah hukum lebih lanjut.
Atas pertanyaan ini penulis menjawab singkat ‘Tim Hukum harus mengajukan bukti-bukti valid dan akurat, agar tidak berakhir dengan tuduhan balik fitnah’. Mengapa sedemikian singkat jawaban yang penulis berikan? Pasalnya, sepanjang sejarahnya demokrasi memang dirancang untuk perlindungan optimum penguasa dengan berbagai cara.
Pertama, agar rakyat sebagai determinan kunci demokrasi dapat merasa tetap beroleh penyaluran, termasuk pelampiasan kemarahan yang ditakar, dan harapan perbaikan yang meski sedari awal sebetulnya hanya dimaksudkan untuk tujuan akhir membangun kepalsuan akomodasi harapan yang bersifat ilusi belaka.
Demokrasi digembar-gemborkan menjanjikan ruang bagi rakyat untuk bersuara, menyalurkan aspirasi, dan bahkan melepaskan amarah. Namun, ruang-ruang ini menyerupai panggung yang dirancang dengan hati-hati oleh para penguasa untuk menjaga stabilitas kekuasaan. Elemen-elemen seperti pemilu, demonstrasi yang diatur, dan kebebasan media massa sejatinya menjadi katup pengaman. Tekanan sosial yang seharusnya meledak dapat dilepaskan perlahan, tanpa mengguncang fondasi status quo.
Rotten Boroughs di Inggeris adalah sistem pemilu berbasis wilayah pemilihan kecil dengan jumlah penduduk minim, bahkan hanya segelintir orang, namun tetap memiliki hak suara setara dengan daerah besar berpenduduk padat untuk menjamin elit lokal mendominasi politik nasional (Simon Schama, A History of Britain: Volume III (2002), hlm. 248–249; E. A. Smith, The Reform of Parliament: Britain 1780–1832 (1989).
Inggris pada era yang sama juga memperkenalkan konsep property qualification, yakni pembatasan hak suara hanya untuk elit yang memiliki properti dengan nilai tertentu sebagaimana dijelaskan oleh R. H. Tawney, Equality (1931); Boyd Hilton, A Mad, Bad, and Dangerous People? England 1783–1846 (2006).
Konsep lain ialah House of Lords. Hak Istimewa bagi elit Dewan Bangsawan yang dirancang memiliki wewenang besar memveto undang-undang yang disahkan oleh Dewan Rakyat. House of Lords menolak reformasi yang mengancam kepentingan aristokrat (A. V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution, 1885); George Dangerfield, The Strange Death of Liberal England, 1935).
Sistem ini tidak hanya melindungi kepentingan kelas penguasa tetapi juga memperlambat reformasi sosial yang sangat dibutuhkan. Gerakan buruh yang menginginkan upah layak dan kondisi kerja manusiawi diabaikan, karena tak memiliki daya tawar di parlemen. Demokrasi yang tampak inklusif sebenarnya dirancang untuk membatasi kekuatan mayoritas dan dalam praktiknya, sangat berbeda dengan teriakannya karena amat tidak inklusif. Meski rakyat diberi harapan perubahan, sistemnya justru disusun untuk memperpanjang dominasi elit. Sebagai alat yang tampaknya membebaskan, demokrasi menjadi sarana untuk menenangkan keresahan tanpa mengubah akar masalah.
Media massa memainkan peran kunci pembentukan opini publik, menjadi perpanjangan tangan kekuasaan, membingkai narasi bahwa demokrasi adalah puncak peradaban. Rakyat diyakinkan bahwa suara mereka dihargai, meskipun kebijakan tetap mengacu kepentingan segelintir orang.
Sejarah menunjukkan bahwa perbaikan hanya mungkin terjadi jika ada perjuangan untuk memperluas partisipasi dan akuntabilitas dalam sistem politik. Ironisnya, bahkan revolusi juga kerap dikooptasi elit baru, rakyat tetap berada di posisi yang sama (Marx,The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte, 1852).
Kedua, merasionalisasi pola-pola kegagalan rakyat sebagai bagian untuh dari daur perjuangan dengan batasan tertentu dan dengan alternatif mahal revolusi sebagai sebuah pilihan akhir yang sebetulnya juga dipalsukan, karena keterwujudannya dalam semua sejarah umat manusia hanyalah sebagai bentuk kepalsuan lain dari kepentingan elit yang dibungkus dengan wajah rakyat marah.
Pola-pola kegagalan perjuangan rakyat dianggap sebagai siklus alami. Kekalahan dan kompromi dalam perjuangan dirasionalisasi sebagai batasan wajar capaian gerakan rakyat. Dalam narasi besar sejarah, revolusi dipromosikan sebagai alternatif terakhir ketika sistem dianggap gagal total. Namun, studi sejarah menunjukkan bahwa revolusi dimanfaatkan oleh elit untuk mengonsolidasikan kekuasaan baru, alih-alih menjadi alat transformasi sejati bagi rakyat.
Revolusi hanyalah fasad elit sebagaimana dalam Revolusi Prancis dan Revolusi Rusia. Bukti perubahan radikal yang digerakkan oleh rakyat berakhir dengan dominasi elit baru yang menggantikan kekuasaan lama.
Revolusi Prancis (1789-1799) dianggap sebagai tonggak perubahan monarki absolut ke sistem yang lebih egaliter. Namun, setelah kekuasaan diambil alih dari kaum aristokrasi, kekuatan baru muncul melalui dominasi borjuasi. Pemerintahan Revolusioner di bawah Robespierre dengan cepat berubah menjadi kediktatoran, dan akhirnya Napoléon Bonaparte mengambil alih kekuasaan, menjadikan dirinya kaisar. Revolusi yang diawali semangat rakyat justru berakhir konsolidasi kekuasaan elit baru (Albert Soboul, The French Revolution, 1787–1799, 1974).
Revolusi Bolshevik menjanjikan pemerintahan rakyat melalui “soviet” (dewan rakyat), berakhir dengan kekuasaan absolut di bawah Partai Komunis. Vladimir Lenin dan penerusnya, Joseph Stalin, menciptakan struktur negara yang sangat terpusat. Pemberontakan rakyat melawan ketidakadilan Tsar justru melahirkan rezim otoriter yang lebih represif (Sheila Fitzpatrick, The Russian Revolution, 2008).
Ilusi perubahan melalui revolusi, sebagai yang dianggap inisiatif kemarahan dengan determinan kerakyatan, dalam babakan sejarah yang ajeg sesungguhnya berhenti sebatas ukuran kepentingan elit belaka. Revolusi dimanfaatkan segelintir elit untuk membangun struktur kekuasaan baru yang tak kalah eksploitatif dibandingkan rezim sebelumnya, diiringi pemasaran ideologi revolusioner untuk melegitimasi kekuasaan baru sambil tetap melestarikan ketidaksetaraan structural (Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, 1971).
Dalam gerak sejarah dan misi demokrasi untuk perjuangan kepentingan rakyat tidak ada yang lebih bermanfaat untuk dikenang selain ‘Rasionalisasi Kegagalan Perjuangan Kerakyatan’ yang diperkuat melalui ‘Bahasa Ideologis’ ketika elit mewacanakan “pengorbanan” dan “perjuangan panjang” untuk meredam kritik terhadap kegagalan gerakan rakyat.
Kekuasaan baru menulis ulang sejarah untuk menggambarkan kegagalan rakyat sebagai bagian dari proses “alami” menuju kemajuan. Sistem tak setara yang lahir dari struktur politik dan ekonomi yang tetap dirancang meminimalkan partisipasi rakyat setelah revolusi selesai, adalah bentuk pengabadian kekerasan struktural dan kekerasan budaya yang dengan begitu baik dijelaskan oleh bapak studi perdamaian Johan Galtung yang meninggal 17 Februari lalu pada usia 93 tahun.
Ketiga, mengesahkan pola-pola barbarisme politik dan kekuasaan sebagai kontinum etape pertumbuhan peradaban untuk mengesahkan hegemoni kekuatan-kekuatan yang tampil memukau sebagai pihak paling tak tertandingi dalam menentukan siapa yang tetap harus tinggal dalam penderitaan akibat penjajahan dan siapa yang wajib diglorifikasi sebagai kampiun demokrasi dan kiblat peradaban. Perancangan legitimasi geopolitik untuk pengesahan tindakan sewenang-wenang atas kepalsuan demokrasi akan terus dipupuk untuk memastikan keberlakuan ukuran standar ketertiban dunia yang cacat karena dibangun berbasis standar ganda.
Sejarah dan teori politik sering menunjukkan bahwa pola barbarisme politik bukanlah penyimpangan, melainkan bagian inheren dari proses peradaban. Dalam kerangka ini, kekuasaan hegemonik mengonsolidasi posisi mereka dengan mengesahkan tindakan sewenang-wenang melalui legitimasi ideologis, menggunakan narasi demokrasi dan peradaban (termasuk hukum) sebagai pembenaran. Kekerasan bukan hanya alat kekuasaan, tetapi juga perangkat legitimasi. Di bawah naungan hukum dan ketertiban, kekerasan menjadi instrumen untuk memperkuat otoritas dan membentuk apa yang disebut sebagai “peradaban” (Walter Benjamin,Critique of Violence, 1978).
Periksalah pikiran Antonio Gramsci dalam Selections from the Prison Notebooks (1971) yang menjelaskan bagaimana hegemoni bekerja melalui dominasi budaya dan konsensus. Barbarisme politik dikemas sebagai “pertumbuhan peradaban,” yang di dalamnya tindakan kekerasan negara atau kekuatan hegemonik dilegitimasi dengan retorika modernitas dan demokrasi. Ini menghasilkan glorifikasi kampiun demokrasi seperti Amerika Serikat atau Eropa Barat, sedangkan negara-negara berkembang atau yang selalu direndahkan dengan julukan dunia ketiga tetap dipaksa menderita akibat penghisapan struktural.
Institusi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), memang mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia. Namun, dalam praktiknya, standar ganda diterapkan. Invasi militer ke Irak pada 2003 dilakukan dengan dalih “membawa demokrasi,” sedangkan dukungan terhadap Arab Saudi terus berlanjut (Barbara F. Walter, Civil Wars and the International Order, 2022).
Perancangan legitimasi geopolitik amat diperlukan oleh keabadian kepalsuan demokrasi dalam hegemoni global. Samuel Huntington (The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, 1996) menjelaskan, demokrasi liberal dipromosikan sebagai “standar peradaban,” tetapi sebenarnya bertujuan mengkonsolidasikan dominasi Barat atas dunia non-Barat.
Investasi besar-besaran membangun narasi peradaban untuk justifikasi ketidakadilan sekaligus untuk membenarkan kolonialisme dan dominasi geopolitik dijelaskan oleh Edward Said (Orientalism, 1978) yang memperkuat pandangan bahwa dunia Timur atau Selatan adalah barbar dan membutuhkan intervensi Barat untuk “membawa peradaban.” Kolonialisasi adalah jalan utama peradaban Barat menjajakan demokratisasi.
Tentu sangat diperlukan pengekoran seluruh dunia atas standar ganda ketertiban yang dikritik John Mearsheimer (The Tragedy of Great Power Politics, 2002) yang sekaligus membentur kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan NATO yang rajin mengecam pelanggaran hukum internasional oleh negara lain sembari melakukan intervensi militer tanpa mandat internasional yang menguntungkan mereka.
Jika Yance Aswin dapat membuktikan pelanggaran hukum yang merendahkan integritas demokrasi dan pemilihan yang dilakukan Rektor USU Prof. Dr. Muryanto Amin, itu hanyalah sekelumit data amat hilir di permukaaan belaka tentang kesesatan demokrasi yang terlanjur dipuja.
Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).











