Opini

Jam Malam Bagi Pelajar: Sinar Di Atas Kertas, Bayang-bayang Di Lapangan

Jam Malam Bagi Pelajar: Sinar Di Atas Kertas, Bayang-bayang Di Lapangan
Kecil Besar
14px

Oleh Dr. Muryali

“Aturan adalah cahaya. Tapi cahaya yang tak dijaga akan padam bahkan sebelum sempat menerangi tertiup angin, redup di tengah diam, dan hilang dalam kebiasaan pura-pura patuh.”

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Ketika malam turun di tanah Aceh, dan lampu-lampu jalan mulai menyala temaram, tidak sedikit dari kita para orang tua, guru, bahkan aparat pemerintah bertanya-tanya: di mana anak-anak kita malam ini? Apakah mereka di rumah bersama keluarga?

Ataukah mereka berada di sudut-sudut kota, dikelilingi gawai, kopi, dan candaan tanpa arah? Ataukah mereka tersesat dalam riuh malam yang menawarkan kebebasan semu, jauh dari buku, jauh dari doa, dan kian jauh dari masa depan yang mereka impikan?

Pertanyaan itu kini coba dijawab lewat kebijakan jam malam bagi pelajar aturan yang di beberapa kabupaten mulai diterapkan, dan di daerah lain mulai dibahas. Kebijakan ini melarang pelajar berada di luar rumah pada malam hari, umumnya setelah pukul 22.00 WIB.

Sebuah ikhtiar untuk melindungi generasi muda dari gelapnya malam yang tak hanya menghadirkan sunyi, tetapi juga potensi bahaya moral dan sosial. Secara prinsip, kita semua sangat mendukung kebijakan ini.

Karena betapa pun derasnya wacana kebebasan remaja yang mengagungkan ruang tanpa batas, pendidikan sejatinya bukan hanya tentang sekolah dan nilai ujian, melainkan tentang pembentukan karakter, penanaman disiplin, dan pengenalan batas antara hak dan tanggung jawab.

Sebab di sanalah masa depan anak-anak kita ditempabukan di ruang tanpa aturan, tetapi di ruang yang membimbing dengan kasih dan kejelasan arah.

Namun, di balik dukungan tersebut, tak bisa kita tampik rasa pesimis yang perlahan menyusup, seperti kabut yang merayap tanpa suara. Pesimis bukan karena idenya keliru, tapi karena sejarah kita di Aceh telah terlalu akrab dengan aturan-aturan mulia yang hanya hidup di lembar kertas, bersinar di ruang rapat, tapi mati di jalanan terbentur realita, terhempas di antara retaknya komitmen, dan lemahnya pengawasan.

Syariat Islam: Cermin yang Retak

Aceh, sebagaimana kita banggakan, adalah satu-satunya provinsi dengan kekhususan syariat Islam.

Tapi kita juga tahu, tak sedikit masyarakat bahkan pelajar yang merasa syariat hanya seperti pajangan hukum, tajam ke bawah, tumpul ke atas, semarak dalam simbol, namun sepi dalam penghayatan. Banyak yang melihatnya hadir dalam spanduk, baliho, dan razia musiman, tapi absen dalam keadilan sosial, keteladanan pejabat, dan pendekatan yang membina.

Syariat berjalan, tapi seringkali tanpa jiwa dipatuhi karena takut, bukan karena paham dan mencintai.

Kita melihat qanun ditegakkan, tapi juga melihat celah. Razia pakaian, pemisahan laki-laki dan perempuan, larangan khalwat semuanya ada, namun berapa banyak yang benar-benar menyentuh nurani dan kesadaran anak muda kita?

Inilah ketakutan kita semua, jangan sampai jam malam ini mengikuti jejak yang sama aturan yang hidup hanya di permukaan, tapi mati di kedalaman. Ramai di media, tegas dalam surat edaran, bahkan mungkin disambut dengan seremonial yang mengesankan.

Tapi begitu malam benar-benar datang, aturan itu longgar dalam pengawasan, tumpul dalam tindak lanjut, dan yang lebih gawat adalah tidak menyentuh akar masalah. Ia menjadi pagar yang tak menjangkau tanah, membatasi tubuh tapi tak menyentuh jiwa, dan akhirnya dilangkahi diam-diam oleh mereka yang tak pernah diajak memahami mengapa aturan itu hadir.

Menjaga Anak Muda: Bukan Hanya Melarang, Tapi Mengasuh

Pelajar yang berkeliaran malam hari bukan hanya soal “tidak disiplin”. Ia adalah gejala dari sesuatu yang lebih dalam ketiadaan ruang aman di rumah, kosongnya kegiatan bermakna di sekolah, dan hilangnya peran sosial yang membimbing. Ia mencerminkan kelelahan batin anak-anak muda yang tak menemukan arah, tak merasa didengar, dan tak lagi punya tempat untuk pulang secara emosional.

Ketika rumah menjadi ruang penuh tekanan, sekolah sekadar tempat menghafal, dan masyarakat kehilangan sentuhan pengasuhan kolektif, maka malam menjadi pelarian bukan karena mereka ingin memberontak, tapi karena tak ada yang menarik untuk mereka perjuangkan di siang hari.

Kita tak bisa membayangkan anak-anak akan patuh hanya karena dilarang keluar malam. Kita juga harus bertanya: apa yang membuat mereka lebih betah di luar rumah daripada di dalam rumah? Apakah rumah kita masih menjadi tempat yang mendidik? Apakah sekolah cukup memberi inspirasi? Apakah desa dan kota kita punya tempat bagi anak muda untuk tumbuh tanpa takut dihakimi?

Jam malam memang bisa menjadi pagar, tapi apa artinya pagar tanpa rumah yang hangat di dalamnya?

Kepada Pemerintah Daerah dan Para Pelajar

Kepada para pemangku kebijakan jangan berhenti pada kebijakan. Sebab kebijakan tanpa pelibatan, hanyalah gema yang menguap di udara.

Bekerjalah lebih keras bukan hanya dalam membuat aturan, tetapi dalam menghidupkannya. Perkuat pengawasan, libatkan sekolah, gampong, dan keluarga dalam semangat kolaboratif. Hadirkan juga suara para psikolog, pendidik, tokoh adat, dan komunitas kreatif agar pendekatan tak melulu represif, melainkan juga edukatif dan menyentuh nurani.

Jangan biarkan pelajar Aceh tumbuh dalam rasa diawasi tapi tidak dipahami, dihukum tapi tak pernah dibimbing. Dunia mereka bukan hanya butuh batas, tapi juga butuh pelukan, ruang bicara, dan arah yang penuh empati. Dan kepada para pelajar aturan ini bukan belenggu, tapi undangan untuk berpikir lebih dalam tentang siapa kalian hari ini, dan mau jadi apa kalian esok.

Dunia ini tak kekurangan orang pintar, tapi kekurangan mereka yang tahu waktu, tahu tempat, dan tahu arah. Jam malam bukan sekadar larangan keluar, melainkan ajakan untuk pulang kepada diri sendiri, kepada keluarga, dan kepada cita-cita yang membutuhkan disiplin dan kesadaran. Karena masa depan bukan ditentukan oleh seberapa keras kalian menantang batas, tapi seberapa bijak kalian memilih jalan.

Jam malam bukan tujuan, ia hanyalah alat. Jika tidak diiringi dengan keteladanan, cinta, dan ruang ekspresi yang sehat, maka ia akan bernasib sama seperti banyak aturan di negeri ini menjadi cahaya yang padam sebelum menyinari. Maka mari jaga cahaya itu, bersama-sama. Karena yang kita jaga bukan sekadar waktu malam mereka, tapi masa depan mereka yang kini sedang bertumbuh di bawah cahaya yang kita nyalakan atau kita padamkan sendiri.

Penulis adalah Dosen Administrasi Publik dan kebijakan Publik Universitas Malikussaleh

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE