Oleh Dr. Muryali
Revisi Undang – Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang kini masuk agenda nasional bukan sekadar urusan hukum. Bagi rakyat Aceh, ia adalah bagian dari sejarah panjang perdamaian yang ditandai dengan penandatanganan MoU Helsinki pada 2005.
UUPA lahir sebagai pengejawantahan dari kesepakatan itu, memberi ruang otonomi khusus bagi Aceh untuk mengatur rumah tangganya sendiri setelah puluhan tahun dilanda konflik bersenjata. Karena itu, setiap upaya revisi tidak boleh dipandang ringan, akan tetapi ia harus diuji sejauh mana memperkuat otonomi Aceh, bukan sekadar polesan politik yang indah di kertas, namun hampa dalam praktik.
Selama hampir dua dekade, implementasi UUPA jauh dari ideal. Banyak kewenangan Aceh yang telah diatur dalam undang-undang ternyata dikalahkan oleh undang-undang sektoral milik pusat. Ambil contoh pengelolaan sumber daya alam, meskipun UUPA menegaskan kewenangan Aceh, faktanya izin-izin strategis tetap dipegang kementerian di Jakarta. Akibatnya, Aceh tetap menjadi penyedia sumber daya, namun minim kuasa menentukan arah pemanfaatannya. Begitu juga dengan qanun, yang seharusnya menjadi instrumen hukum khas Aceh, sering diposisikan setara dengan perda biasa, padahal ia adalah pilar kekhususan yang dijamin undang-undang.
Kondisi ini membuat banyak rakyat bertanya-tanya apakah otonomi Aceh nyata atau sekadar simbol? Jika simbol, maka UUPA tidak lebih dari kosmetik politik, yaitu cantik di permukaan, tetapi tidak menyentuh substansi. Risiko inilah yang mengintai revisi UUPA saat ini. Apabila revisi hanya mengubah redaksi pasal tanpa mempertegas posisi Aceh dalam bingkai NKRI, maka ia akan menjadi sekadar formalitas untuk meredam tuntutan politik.
Bahaya kosmetik politik ini semakin nyata karena adanya pasal-pasal kunci yang rawan multitafsir. Misalnya Pasal 7, 11, 235, dan 270 yang membicarakan kewenangan Aceh, NSPK, serta kedudukan qanun. Jika dirumuskan kabur, pusat tetap memiliki ruang besar untuk mengendalikan Aceh melalui norma, standar, prosedur, dan kriteria yang dibuat sepihak. Di sinilah rakyat Aceh harus berhati-hati, jangan sampai revisi yang diharapkan memperkuat otonomi justru memberi ruang legal bagi pusat untuk semakin mengendalikan.
Karena itu, rakyat Aceh tidak boleh menjadi penonton. Mengawal revisi UUPA adalah tanggung jawab kolektif untuk menjaga martabat dan janji damai. Ada beberapa hal konkret yang dapat dilakukan. Pertama, memastikan partisipasi publik. Draft revisi tidak boleh hanya dibicarakan di ruang sempit elite politik. Akan tetapi pihak Ormas, akademisi, mahasiswa, ulama, dan masyarakat adat harus terlibat aktif memberi masukan, jika tanpa partisipasi, revisi berisiko jauh dari aspirasi rakyat.
Kedua, mengawal pasal-pasal krusial, misalnya, rakyat perlu menuntut agar pasal tentang kewenangan Aceh dirumuskan tegas, bukan multitafsir. Jangan ada lagi ruang untuk UU sektoral pusat mengerdilkan UUPA. Begitu juga soal posisi qanun tentu harus ditegaskan juga bahwa ia bukan perda biasa, melainkan peraturan yang mendapat pengakuan khusus dalam sistem hukum nasional.
Ketiga, memanfaatkan media sebagai ruang kritik dan edukasi. Media Aceh punya peran penting menjadi penjaga demokrasi lokal. Opini kritis, investigasi independen, dan diskusi publik harus digerakkan agar rakyat memahami betul arti revisi ini. Jangan sampai isu penting ini redup karena rakyat tidak tahu apa yang sedang dipertaruhkan.
Keempat, menyiapkan jalur hukum. Jika nantinya revisi disahkan dengan muatan yang melemahkan otonomi, rakyat Aceh tidak boleh berhenti di kekecewaan. Jalur judicial review di Mahkamah Konstitusi dapat menjadi ruang perlawanan hukum untuk menegakkan kembali hak Aceh. Ini bukan semata soal undang-undang, tapi soal konsistensi negara terhadap perjanjian damai.
Kelima, membangun gerakan sipil yang berkelanjutan. Revisi undang-undang hanyalah pintu awal. Namun yang lebih penting adalah mengawal implementasi. Di sini peran masyarakat sipil, LSM, mahasiswa, komunitas adat, ulama menjadi vital. Mereka harus menjadi pengawas agar kewenangan yang sudah diberikan benar-benar dijalankan, bukan diselewengkan oleh birokrasi atau elite politik lokal.
Pada akhirnya, revisi UUPA adalah ujian bagi pemerintah pusat dan daerah. Apakah mereka serius memperkuat otonomi Aceh, atau hanya mencari jalan aman dengan kosmetik politik? Rakyat Aceh tidak boleh tertipu oleh bahasa indah dalam pasal-pasal yang ternyata kosong dalam implementasi. Otonomi bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang rakyat Aceh. Ia adalah harga diri yang tidak boleh ditukar dengan polesan formalitas.
Jika revisi ini benar-benar ingin membawa makna, maka ia harus memberi Aceh ruang nyata untuk mengatur sumber daya, fiskal, serta hukum lokalnya tanpa diganggu tafsir sepihak dari pusat. Jika tidak, maka rakyat Aceh akan kembali kecewa, dan luka lama akan terasa terulang. Karena itu, mari kita jaga bersama UUPA bukan kosmetik, melainkan instrumen nyata otonomi sejati.
Dosen Administrasi Publik Universitas Malikussaleh