Opini

Keadilan Ekologi

Keadilan Ekologi
Kecil Besar
14px

Oleh: Farid Wajdi

Keadilan ekologi berangkat dari sebuah kesadaran sederhana tetapi kerap diabaikan: kerusakan lingkungan tidak pernah bekerja secara netral.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Ekologi tidak menyebar secara adil, tidak pula menimpa semua orang dalam kadar yang sama. Setiap kali hutan ditebang, sungai tercemar, atau tanah digerus tambang, selalu ada kelompok tertentu yang lebih dahulu menanggung akibatnya.

Masyarakat adat kehilangan ruang hidup, petani kecil kehilangan lahan produktif, nelayan kehilangan laut yang bersih, perempuan memikul beban sosial berlapis, dan generasi mendatang mewarisi krisis yang tidak mereka pilih.

Pada titik inilah keadilan ekologi menjelma bukan sekadar isu lingkungan, melainkan persoalan keadilan sosial yang paling konkret dan mendesak.

Dalam kerangka hukum Indonesia, keadilan ekologi berupaya menata ulang relasi manusia dengan alam agar tidak lagi bersifat eksploitatif.

Hukum menuntut keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya dan perlindungan daya dukung lingkungan. Sejumlah kajian hukum menempatkan konsep ini sebagai jembatan antara amanat konstitusi, khususnya Pasal 33 UUD 1945, dan praktik pembangunan yang selama ini cenderung mengorbankan aspek ekologis demi pertumbuhan ekonomi jangka pendek (Hukumonline, 2019).

Negara diberi mandat untuk menguasai sumber daya alam bukan untuk menyerahkannya kepada logika pasar semata, melainkan untuk memastikan kemakmuran rakyat secara adil dan berkelanjutan.

Namun realitas menunjukkan jarak yang lebar antara norma dan praktik. Pembangunan terlalu lama dipersempit menjadi angka pertumbuhan, realisasi investasi, dan ekspansi industri.

Alam direduksi menjadi objek ekonomi yang dapat “dioptimalkan”, bukan sistem kehidupan yang memiliki batas. Dalam situasi ini, hukum lingkungan sering kehilangan daya kritisnya.

Alih-alih menjadi instrumen pengendali, hukum justru berfungsi sebagai alat legitimasi eksploitasi. Penerbitan izin usaha di kawasan rawan bencana, pengabaian daya dukung lingkungan, dan pelemahan analisis dampak lingkungan menjadi praktik yang berulang.

WALHI (2023) menyebut fenomena ini sebagai bentuk legalisasi bencana ekologis.

Rangkaian bencana ekologis di Sumatera memperlihatkan wajah nyata dari kegagalan tersebut. Banjir bandang, longsor, kebakaran hutan, dan krisis air tidak hadir sebagai kejadian alamiah yang berdiri sendiri.

Berbagai laporan menyebutnya sebagai isyarat dari lanskap yang terluka: hutan yang kehilangan tutupan, gambut yang dikeringkan, dan sungai yang dipersempit oleh aktivitas manusia (Kompas.id, 2025).

Alam, dalam kondisi demikian, hanya merespons kerusakan yang telah ditanamkan jauh hari sebelumnya. Ironisnya, dampak terberat justru ditanggung masyarakat di hilir kebijakan, bukan para pengambil keputusan di pusat kekuasaan.

Di sinilah urgensi keadilan ekologi menjadi tak terelakkan. Keadilan ini menuntut pengakuan terhadap hak-hak masyarakat lokal dan adat atas wilayah hidupnya.

Tanpa pengakuan tersebut, hukum lingkungan akan selalu timpang: kokoh di atas kertas, rapuh di lapangan. Epistema Institute (2012) menegaskan perampasan ruang hidup yang dilegalkan melalui izin formal negara sering kali menjadi akar konflik ekologis dan sosial.

Ketika tanah ulayat dialihfungsikan tanpa persetujuan yang bebas, didahului, dan diinformasikan, pembangunan berubah menjadi proses peminggiran yang sistematis.

Persoalan ini semakin kompleks ketika dilihat dari perspektif gender. Berbagai studi menunjukkan perempuan kerap menanggung dampak krisis ekologis secara tidak proporsional.

Kesulitan akses air bersih, meningkatnya beban kerja domestik, hingga kerentanan ekonomi pascabencana menjadi pengalaman yang berulang (Jurnal Perempuan, 2023).

Meski demikian, suara perempuan jarang hadir dalam proses pengambilan keputusan lingkungan. Keadilan ekologi, karenanya, menuntut demokratisasi ekologis: kelompok yang paling terdampak harus dilibatkan secara bermakna.

Perdebatan mengenai keadilan ekologi kembali menguat seiring mengemukanya wacana perluasan perkebunan sawit sebagai strategi kemandirian energi nasional.

Pernyataan Presiden Prabowo Subianto mengenai potensi Papua sebagai basis pengembangan sawit untuk mendukung bioenergi menempatkan isu ini di pusat perhatian publik (Kompas.com, 2025).

Dari sudut pandang ekonomi-politik, argumen kemandirian energi memiliki dasar rasional. Ketergantungan pada impor memang menjadi kerentanan struktural. Namun, rasionalitas ekonomi tidak dapat dilepaskan dari konsekuensi ekologis dan sosial yang mengikutinya.

Papua bukan ruang kosong yang menunggu diisi pembangunan. Wilayah ini menyimpan salah satu hutan tropis tersisa dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, sekaligus menjadi rumah bagi ratusan komunitas adat dengan relasi spiritual dan kultural yang kuat terhadap alam.

Menjadikannya frontier baru sawit berarti menempatkan kawasan dengan nilai ekologis tinggi sebagai penopang ambisi energi nasional. Pengalaman di Sumatera dan Kalimantan menunjukkan ekspansi monokultur skala besar kerap meninggalkan jejak deforestasi, konflik agraria, dan kemiskinan struktural (WALHI, 2023).

Argumen sawit sebagai energi terbarukan juga perlu dibaca secara kritis. Biofuel memang dapat diperbarui secara teknis, tetapi proses produksinya sering melibatkan deforestasi dan degradasi ekosistem.

Dalam konteks krisis iklim, energi yang diperoleh dengan mengorbankan hutan primer justru mempercepat kerusakan ekologis (Mongabay, 2025). Energi yang diklaim hijau di atas kertas bisa berubah menjadi beban ekologis di lapangan.

Keadilan ekologi menuntut perubahan paradigma kebijakan. Negara tidak cukup berperan sebagai fasilitator investasi, tetapi harus tampil sebagai penjaga keseimbangan. Ini berarti berani membatasi, bukan hanya mendorong.

Tidak setiap proyek layak dijalankan jika harga yang dibayar adalah kehancuran ekosistem dan hilangnya hak masyarakat lokal. Persetujuan masyarakat adat harus menjadi proses substantif, bukan formalitas administratif.

Memang pada akhirnya, keadilan ekologi adalah ujian keberanian moral negara. Keberanian untuk menolak pembangunan yang merusak, menegakkan hukum terhadap pelaku perusakan lingkungan tanpa pandang bulu, dan mendengar suara dari pinggiran, dari hutan, sungai, dan komunitas yang hidup bersamanya.

Tanpa keberanian itu, hukum akan tetap menjadi arsip regulasi yang rapi, sementara alam terus runtuh perlahan.

Setiap bencana yang datang kelak akan selalu mengajukan pertanyaan yang sama: apakah ini benar-benar musibah alam, atau akumulasi kegagalan keadilan ekologis yang dibiarkan berlangsung terlalu lama? Keadilan ekologi bukan agenda ideologis sempit. Ekologi adalah syarat keberlanjutan bangsa.

Tanpanya, pembangunan hanya akan tercatat sebagai kisah singkat tentang pertumbuhan, rangkaiannya diikuti kehancuran yang jauh lebih panjang.

Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE