Scroll Untuk Membaca

Opini

Kegamangan Negara Hukum

Kegamangan Negara Hukum
Kecil Besar
14px

Negara hukum (Rechtsstaat)
Dalam UUD 1945 secara eksplisit dalam pasal 1 ayat 3, Indonesia adalah negara hukum. Ini artinya hukum menjadi pondasi utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tata Kelola dan manajemen pengelolaan negara dan pemerintahan baik berkaitan dengan rekrutmen orang-orang yang menduduki kelembagaan negara, menjalankan manajemen pemerintahan dan lainnya, hukum menjadi pedomannya. Dengan kata lain, hukum menjadi norma dasar dalam penyelenggaran kehidupan berbangsa dan bernegara. Lalu pasal 27 ayat (1) secara jelas pula mengatur setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta menjunjung tinggi hukum tanpa terkecuali. Selanjutnya pasal 28D ayat (1) setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang serta serta perlakuan yang salam di hadapan hukum. Ayat (2) terkait dengan kesempatan. Lalu pasal 28I ayat (1), terkait pengakuan hal sebagai pribadi dihadapan hukum serta hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang tidak berlaku surut. Di luar dari pasal-pasal tersebut, seluruh pasal yang ada pada UUD 1945 menjadi norma dasar untuk pelaksanaan Indonesia sebagai negara hukum.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Menjadi negara hukum adalah pilihan dari pada pendiri bangsa dan rakyat Indonesia untuk menyatakan bahwa Indonesia bukan negara kekuasaan (Machtsstaat) sebaliknya negara Indonesia dalah negara hukum (Rechtsstaat), dimana kekuasaan diatur melalui pembatasan dan pelarangan oleh hukum. Kekuasaan dikelola dan dilaksanakan secara demokratis berbasis pada hukum, memastikan kesewenangan-wenangan, otoriter, dan koruptif adalah tindakan dan perilaku yang dilarang serta berbagai perilaku lain seperti intimdatif, diskriminatif, rasis dan berbagai hal lainnya sebagaimana telah diatur secara eksplisit dalam UUD 1945.

Hukum yang tidak berfungsi

Sayangnya, jika melihat perjalanan dan realitas yang sedang terjadi justru negara ini tidak lagi menunjukkan dirinya sebagai negara hukum. Hukum hanya dijadikan retorika kosong. Lihat saja, ada putusan yang sudah inkrah oleh Mahkamah Agung sejak tahun 2019 terkait dengan kasus Silfester Matutina, hingga saat ini belum di eksekusi oleh Kejaksaan. Sudah lebih dari 5 tahun namun belum ada upaya eksekusi, dan ironisnya desakan publik tidak berdampak apapun. Justru yang muncul adalah retorika-retorika yang justru menimbulkan pertanyaan publik “mengapa hingga kini belum di eksekusi?

Sampai saat ini tidak jelas kapan eksekusi akan dilaksanakan, padahal jelas-jelas sudah ada putusan final, bahkan yang menyedihkan perintah eksekusi oleh Kepala Kejaksaan Agung juga tidak bisa mempercepat eksekusi. Menjadi semakin aneh, ketika tidak ada satupun di republik ini yang menjamin eksekusi terjadi, padahal hukum sudah menghendaki eksekusi. Realitas ini semakin mengkonfirmasi bahwa hukum saat ini memang patut dipertanyakaan. Menyedihkan dan tragis sekali. Ini juga jelas-jelas pelanggaran atas pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang secara jelas telah mengatur bahwa setiap warga negara bersamaaan kedudukannya di dalam hukum, tanpa terkecuali. Dalam negara hukum tidak boleh ada pengecualian apalagi perlakukan khusus maupu berkaitan dengan kepentingan politik tertentu. Sementara pada sisi lain, kasus-kasus hukum dari masyarakat khususnya masyarakat kurang mampu atau miskin yang di vonis oleh pengadilan begitu cepat di eksekusi. Adagium hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas sedang diperlihatkan dan sedang berlangsung di negeri ini.

Selanjutnya masyarakat kembali dikejutkan dan menyaksikan seorang wakil menteri pada rezim pemerintahan saat ini, di tangkap oleh KPK melalui OTT (Operasi Tangkap Tangan) terkait dengan dugaan korupsi dan saat ini sudah ditetapkan sebagai tersangka. Menjadi miris ketika publik kemudian dibuat tercengang aset yang diamankan oleh KPK terdiri dari berbagai mobil dan sepeda notor. Hanya dalam hitungan 7 bulan telah memiliki berbagai aset yang tentunya menjadi pertanyaan yang di dasarkan pada logika “mungkinkah hanya dalam hitungan bulan berbagai aset tersebut bisa terkumpul”.

Kasus korupsi ini adalah satu dari sebagian banyak kasus korupsi yang melanda negeri ini dengan kerugian negara secara gila-gilaan. Hukum jelas gagal untuk ditegakkan atau hukum kembali kalah dengan dengan berbagai tindakan korupsi yang dilakukan baik oleh pejabat publik maupun para pemilik modal. Kerugian dengan jumlah yang fantastis jelas sangat mencederai negeri ini dan rakyatnya. Situasi ini linear dengan IPK (Indek Persepsi Korupsi) Indonesia tahun 2024 oleh Transparency Internaional Indenesia (TII) yang di luncurkan pada tanggal 11 Februari 2025 skornya 37 Walaupun terjadi kenaikan peringkat dari skor 34 menjadi 37 dengan peringkat 99 dari total 180 negara. Posisi ini masih menempatkan Indonesia dipersepsikan sebagai negara dengan tingkat korupsi yang buruk. Rangking ini sekaligu mengkonfirmasi bahwa hukum belum efektif untuk memberantas korupsi.

Kemudian Adanya slogan no viral no justice yang belakang ini muncul di platform media sosial dengan berbagai kasus menunjukkan bahwa hukum lagi-lagi tidak mampu mengambil alih untuk menegakkan keadilan. Menyedihkan keadilan baru bisa di tegakkan ketika kasusnya menjadi viral dalam berbagai platform media sosial khususnya bagi masyarakat kurang mampu atau miskin. Kasus salah tangkap Pegi Setiawan dalam kasus pembunuhan Vina Cirebon adalah fakta nyata dimana no viral no juctice sangat bekerja. Hukum secara normatif dan formal sepertinya dianggap tidak berfungsi dan tidak efektif.

Berikutnya kasus hukum Thomas Trikasih Lembong atau biasa disapa Tom Lembong dinyatakan bersalah namun dalam persidangan tidak terbukti memiliki memiliki mens rea (niat jahat), serta tidak menikmati keuntungan pribadi dari kebijakan yang ia ambil. Hakim Pengadilan Tindak Jakarta Pidana Korupsi kemudian memvonis 4,5 tahun. Pasal yang disangkakan adalah pasal 2 (1) UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah melalui UU No 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Bagaimana memahami kasus hukum ini, ketika seseorang tidak memiliki niat untuk melakukan kejahatan namun di vonis bersalah, ditambah lagi tidak menikmati keuntungan pribadi. Sebagai pejabat publik beliau sebagaimana pejabat publik lainnya memiliki tanggung jawan untuk melaksanakan tugas-tugas secara administrative atau yang menjadi tupoksinya sebagai Menteri Perdagangan ketika itu dan tentunya menjalankan instruksi dari Presiden. Dalam Hukum Administrasi ini di kenal dengan asas presumptio iustae causa—bahwa setiap keputusan pejabat publik dianggap sah sampai ada pembatalan oleh pengadilan. Berkaca pada kasus ini seharusnya Tom Lembong tidak dapat dipidana sesuai dengan asas Geen straf zonder Schuld yaitu tiada pidana tanpa kesalahan.

Berkaca pada berbagai kasus-kasus tersebut, hukum yang ada di negara ini sedang di pertanyakan. Tujuan hukum yang selalu digaungkan antara lain kepastian hukum, bermanfaat serta mewujudkan keadilan justru sering tidak tercapai. Negara ini sedang menghadapi persoalan sebagai sebuah negara hukum. Negara ini sedang mengalami kegamangan dan mudah-mudahan tidak merubah negeri ini menjadi negara kekuasaan, walaupun indikasi tersebut semakin terlihat sepuluh tahun belakangan ini. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), perasaan takut, ngeri dan khawatir. Artinya, negeri ini sedang menghadapi ketakutan, menghadapi situasi kengerian dan ke khawatiran, sebagai sebuah negara hukum.

Belakangan ini publik dipaksa untuk menyaksikan hukum yang seharusnya bisa dijadikan untuk mewujudkan keadilan, kepastian dan memberi manfaat, justru melihat realitas sebaliknya, hukum di kalahkan oleh adanya kepentingan dan agenda-agenda politik. Adanya slogan no viral no justice adalah realitas yang paling nyata ketika hukum gagal menjalankan fungsi dan perannya. Begitu pula ketika publik melihat secara jelas bagaimana hukum begitu mudah dipermainkan, ketika putusan yang sudah inkrah ternyata tidak mudah untuk di eksekusi. Kasus korupsi yang intensitasnya begitu tinggi dengan tingkat kerugian yang dialami oleh negara dan publiknya angkanya juga begitu mencegangkan.

Selain itu, dua data yang di tampilkan yaitu IPK (Indek Persepsi Korupsi) dan Indek Indonesia hukum Indonesia jelas dan nyata memperlihat kondisi yang bermasalah. Sebagai salah satu negara hukum Republik Indonesia saat ini sedang berada dalam situasi yang gamang antara Rechtsstaat dan Machtsstaat. Realitas sedang memperlihatkan lebih kurang selama lebih dari sepuluh tahun belakangan ini, posisi Indonesia sebagai negara hukum sedang berada dalam status yang gamang ketika kekuasaan dan agenda-agenda politik mengambil alih situasinya.

Selain data IPK dan indek negara hukum yang ada, munculnya penolakan publik terhadap berbagai produk hukum yang dihasilkan oleh Eksekutif dan Legislatif diantaranya UU Cipta Kerja, UU Mineral dan Batu Bara dan yang terkini adanya penolakangn terhadap Rancangan Undang-Undangan Kitab Hukum Acara Pidana (RUUKUHAP) semakin memperlihatkan kegamangan tersebut. Sepanjang tahun 2024, Mahkamah Konstitusi telah melakukan PUU (Pengujian Undang-Undang) terhadap 240 permohonan, angka ini lebih banyak di bandingkan tahun 2023 sebanyak 189 permohonan. Data ini menunjukkan produk hukum yang dihasilkan oleh eksekutif dan legislatif tingkat untuk digugat oleh publik begitu tinggi dengan alasan biasanya berhubungan dengan partisipasi publik dan substansi yanga ada pasa pasal-pasalnya. Ini memperlihatkan produk hukum yang dihasilkan banyak bermasalah.

Menjadi tepat untuk menggambarkan bahwa saat ini, sebagai sebuah negara hukum, negara ini sedang mengalami kegamangan yang seharusnya tidak boleh terjadi. Saat ini, sebagai sebuah negara hukum, justru hukum tidak menjadi panglima. Saat ini, hukum yang di pertontonkan takluk dengan kepentingan politik, saat ini publik sedang melihat adanya perlakuan khusus serta berbagai kondisi-kondisi lainnya. Saat ini, kegamangan sedang melanda hukum di negara ini, dan realitas inilah yang saat ini sedang berlangsung.

Mengapa situasi ini terjadi, setidaknya ada beberapa penyebab antara lain;pertama, reformasi hukum yang selalu dijadikan agenda dan terakhir menjadi salah satu agenda penting reformasi hingga saat gagal dilaksanakan dan selaku dikalahkan oleh adanya agenda dan kepetingan politik penguasa maupun elit partai politik malalui keberadaan partai politik yang ada. Reformasi hukum belum menjadi komitmen, konsistensi dan aksi dari pemegang kekuasaan maupun partai politik. Reformasi hukum selalu dikalahkan oleh adanya agenda-agenda dan kekuasaan oleh penguasa dan partai politik. Kedua sistem politik ketatanegaraan yang meletakkan produk hukum dihasilkan oleh Eksekutif dan Legislatif dalam hal ini Presiden dan DPR sering berakhir dengan adanya deal-deal politik yang mengalahkan agenda hukum yang seharusnya. Situasi ini sering menyebabkan terjadinya kekacauan dalam hukum dan menyebabkan hukum berubah menjad alat stempel kekuasaan.

Ketiga, lembaga Yudikatif yang seharusnya Merdeka dan independensi, sering sekali dipengaruhi oleh adanya kepentingan penguasa, apalagi jika lembaga penegak hukum seperti kejaksaan dan Kepolisian berada dalam kendali langsung eksekutif yaitu Presiden, maka sangat rentan dan mudah dipengaruhi. Adanya pernyataan salah seorang anggota legislative baru-baru ini pada uji kelayakan calon hakim MK pada tanggal 20 Agsutus 2025 yang lalu, dimana anggota DPR mengingatkan agar justru tidak menghantam lembaga tersebut. Pernyataan ini adalah contoh nyata bagaimana kemerdekaan dan independensi rentan dengan intervensi. Keempat, masyarakat hukum belum terbentuk secara subtantif dan strategis. Adanya adagium hukum hanya untuk orang yang berpendikan bukan untuk orang miskin, Hukumnya punya orang yang berkuasa bukan orang yang tidak mampu, orang awal tidak pintar hukum adalah realitas diskriminasi yang selalu menghantui.

Pada akhirnya, kondisi yang sedang dialami saat ini jelas memperlihatkan bahwa negara ini sedang berada dalam kegamangan dan jika situasi ini terus menerus terjadi maka di khawatirkan akan menjadi negara yang gagal sebagai negara hukum. Lebih jauh bisa terjebak pada negara kekuasaan yang potensinya sangat besar dan kembali terjadi, seperti yang pernah terjadi ketika Rezim Orde Baru berkuasa. Untuk itu, usaha untuk memastikan agar negara hukum menjadi fondasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, memerlukan dorongan publik secara kuat untuk terus memperjuagkannnya. Adanya gerakan publik atau masyarakat sipil untuk terus secara kritis mendorong hukum menjadi panglima menjadi sebuah keharusan untuk dilakukan. Di sisi lain memanfaatkan perkembangan teknologi bisa menjadi pendukung kuat untuk mendukung agar negara ini tetap berada dalam kewarasan menjadi negara hukum. Jangan biarkan negara ini menjadi negara hukum yang gagal.

Referensi:
https://sustain.id/2025/02/20/naik-3-skor-indeks-persepsi-korupsi-cpi-indonesia-tahun-2024-masih-tetap-buruk/, di akses pada 1 September 2025, Pukul 21.39 WIB

https://www.hukumonline.com/berita/a/diskresi-menteri-bukan-tipikor–menyoroti-logika-hukum-putusan-tom-lembong-lt68848bca67bce/, di akses 2 September 2025, Pukul 10.04 Wib

https://www.hukumonline.com/berita/a/maqdir-ismail–indonesia-sedang-hadapi-tantangan-besar-dalam-penegakan-hukum-lt6751877de6252/, di akses pada 2 September 2025, Pukul 20.26 Wib

Penulis: Dede Suhendra (Penggiat Hukum dan Demokrasi), Berdomisili di Banda Aceh

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE
Opini

Oleh: Muhibbullah Azfa Manik Ketika Firaun merasa tahtanya diguncang oleh seruan seorang nabi bernama Musa, ia tidak hanya mengandalkan kekuasaan militer atau kekayaan kerajaan. Ia juga memanggil salah satu orang…

Kapolresta Banda Aceh, Kombes Pol Fahmi Irwan Ramli. (Waspada/Zafrullah)
Aceh

BANDA ACEH (Waspada): Polresta Banda Aceh merilis sejumlah kasus yang ditangani sepanjang tiga bulan terakhir periode Juli hingga September 2024. Beberapa di antaranya mulai dari yang terbanyak, kasus dengan presentasi…