Oleh: Farid Wajdi
Air jatuh dari langit bukan sekadar hujan. Ia menjelma gelombang murka, membentuk arus deras, menyeret rumah, menelan sawah, memutus jalan, merenggut nafkah, bahkan nyawa.
Di Tapanuli Tengah dan Sibolga, banjir bandang bukan sekadar peristiwa meteorologis, melainkan kisah panjang relasi timpang antara manusia dan alam. Lumpur menutup pintu rumah, tangis menggema di balik reruntuhan, hidup mendadak berhenti pada jeda paling sunyi.
Bencana tak lahir dalam ruang hampa. Ia tumbuh pelan dari keputusan-keputusan kecil: izin dikeluarkan di atas kawasan resapan, lereng dipreteli demi proyek instan, sempadan sungai disempitkan demi kepentingan komersial, hutan dibiarkan gundul tanpa pemulihan serius. Setiap tindakan meninggalkan jejak. Jejak menjadi luka. Luka berubah menjadi musibah.
Firman Ilahi memberi makna tegas: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia agar Dia membuat mereka merasakan sebagian akibat perbuatan itu supaya mereka kembali ke jalan benar” (QS. Ar-Rum [30]: 41).
Ayat ini menghadirkan bingkai moral atas tragedi ekologis. Musibah tampil sebagai cermin kolektif, bukan sekadar fenomena alamiah. Kerusakan mengambil rupa banjir, longsor, kekeringan, polusi, krisis air bersih, kehilangan biodiversitas.
Petuah tajam mengiris kesadaran: “Ketika pohon terakhir ditebang, ketika sungai terakhir dikosongkan, ketika ikan terakhir ditangkap, barulah manusia menyadari uang tak dapat dimakan,” dituturkan Eric Weiner dalam The Geography of Bliss.
Kalimat tersebut bukan slogan kosong. Ia menjelma nubuat sosial. Pembangunan kehilangan keseimbangan, pertumbuhan ekonomi berdiri di atas kehancuran fondasi ekologis. Keuntungan jangka pendek hadir memikat, namun meninggalkan kehampaan jangka panjang.
Pada titik ini, hukum lingkungan seharusnya tampil sebagai pelindung. Indonesia memiliki kerangka normatif relatif lengkap. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memandatkan prinsip keberlanjutan, pencegahan, kehati-hatian, partisipasi publik, serta pencemar membayar.
Instrumen seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), izin lingkungan, analisis risiko bencana, hingga sanksi administratif, perdata, dan pidana telah dirancang sebagai benteng perlindungan.
Namun hukum sering terperangkap dalam simbolisme. Regulasi tebal berakhir sebagai prosedur administratif tanpa roh substansi. Persetujuan lingkungan lebih sering menjadi stempel formalitas dibanding instrumen pengendali. Penataan ruang dikalahkan lobi politik. Pengawasan redup, penindakan tumpul. Ketika pelanggar bertarung melawan warga adat dan komunitas kecil, keberpihakan mudah bergeser.
Pasal 69 UU Lingkungan Hidup tegas melarang perusakan, pencemaran, pembukaan lahan dengan cara membakar, pembuangan limbah sembarangan, eksploitasi berlebih.
Pasal 98 hingga 103 mengatur sanksi pidana berat. Namun keberanian menegakkan hukum sering goyah saat berhadapan dengan modal besar. Keadilan selektif melukai legitimasi hukum, memperdalam krisis ekologis.
Ironi muncul saat tanggap darurat berjalan cepat, sementara pencegahan stagnan. Sirene menyala, bantuan datang, pernyataan simpati bertebaran, kamera menyorot penderitaan, lalu suasana perlahan senyap. Pola lama kembali berulang. Bencana berikutnya seakan telah dijadwalkan.
Perspektif Islam menghadirkan dimensi etik lebih dalam. Manusia bukan pemilik mutlak bumi, melainkan khalifah, penjaga titipan Ilahi. Al-Qur’an memosisikan alam sebagai ayat, tanda kebesaran Tuhan. Setiap kerusakan berarti pengkhianatan amanah. Fikih lingkungan menekankan prinsip la dharar wa la dhirar, larangan menimbulkan bahaya bagi makhluk lain maupun generasi mendatang.
Rasulullah menanamkan teladan ekologis sejak awal. Hadis riwayat Ahmad mengajarkan penanaman pohon sebagai sedekah meski kiamat hampir tiba. Larangan menebang pohon di kawasan suci, larangan membunuh hewan tanpa kebutuhan sah, ajaran menjaga keseimbangan air, semua mengukuhkan etika ekologis sebagai bagian integral iman.
Musibah di Sumatera Utara memperlihatkan realitas pahit relasi manusia-alam. Alih fungsi hutan menggantikan akar penyangga. Lereng kehilangan penahan alami. Sungai tersumbat sedimentasi dan sampah. Material runtuh bukan hanya batu, melainkan juga logika kelola ruang yang cacat. Alam bereaksi melalui hukum sebab-akibat biologis dan geologis, bukan melalui amarah simbolik semata.
Hukum positif perlu bertransformasi dari sekadar teks normatif menjadi instrumen hidup. Penelitian lingkungan wajib menjadi prasyarat mutlak pembangunan. Moratorium izin pada kawasan rawan longsor bukan pilihan, melainkan keniscayaan. Rehabilitasi hutan harus berjalan bersamaan dengan pemberdayaan ekonomi lokal agar konservasi tak memicu konflik sosial.
Pola pikir lama mengkultuskan pertumbuhan ekonomi sebagai indikator tunggal keberhasilan. Padahal keberlanjutan hidup jauh lebih fundamental. Ekonomi tanpa ekologi menjelma paradoks bunuh diri. Hukum lingkungan seharusnya menjadi rem moral atas nafsu eksploitasi, bukan sekadar aksesoris birokrasi.
Transformasi juga menuntut dimensi budaya. Kesadaran ekologis perlu berakar pada laku sehari-hari. Konsumerisme liar membutuhkan koreksi etis. Spiritualitas lingkungan wajib ditanamkan dalam pendidikan, kebijakan, kepemimpinan, serta ruang publik. Alam diperlakukan sebagai mitra hidup, bukan objek dominasi.
Banjir bandang di Sibolga, longsor di Tapanuli Tengah, serta tragedi ekologis lain membentuk mozaik peringatan keras. Setiap korban bukan angka statistik, melainkan kisah manusia, kehilangan, masa depan terenggut. Alam menyuarakan kritik melalui luka kolektif. Kritik ini menuntut koreksi total terhadap paradigma pembangunan.
Penegakan hukum lingkungan tidak cukup berhenti pada pasal. Ia memerlukan keberanian politik, integritas moral, partisipasi publik, transparansi, serta kontrol sosial kuat.
Tindakan korektif wajib menyentuh akar, bukan sekadar permukaan. Pembenahan tata kelola lahan, transparansi izin, audit lingkungan berkala, serta sanksi proporsional menjadi fondasi regenerasi kepercayaan.
Kesadaran spiritual memperkukuh fondasi itu. Alam tidak layak ditaklukkan, melainkan dihormati. Kesalehan ekologis bukan retorika, melainkan praksis keberlanjutan. Setiap pohon dilindungi berarti napas masa depan terjaga. Setiap sungai dipulihkan berarti denyut kehidupan diperpanjang.
Bencana mengajarkan keheningan reflektif. Tangis menyibak tirai kesombongan. Reruntuhan membuka kesadaran rapuhnya kuasa manusia di hadapan hukum alam dan hukum Tuhan. Jalan perubahan masih terbuka lebar sebelum bumi menarik diri sepenuhnya.
Alam masih memberi ampun. Sungai masih mengalir. Hutan masih berdenyut. Kesempatan koreksi tersedia. Pilihan berdiri di tangan nurani kolektif: tunduk pada keserakahan atau kembali pada keseimbangan kosmis.
Semoga jeritan bumi menjadi panggilan pertobatan ekologis. Semoga hukum menemukan keberaniannya kembali. Semoga amanah khalifah dipikul penuh tanggung jawab. Semoga kehidupan kembali terjaga, selaras, bermartabat. (Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU).












