Scroll Untuk Membaca

Opini

Ketika Sekolah Melarang Siswa Ujian Karena Tunggakan Biaya — Padahal Ada Dana BOS

Ketika Sekolah Melarang Siswa Ujian Karena Tunggakan Biaya — Padahal Ada Dana BOS
Kecil Besar
14px

Ini menimbulkan pertanyaan serius tentang akuntabilitas dan arah prioritas sekolah: untuk apa sebenarnya Dana BOS yang bersumber dari uang rakyat itu digunakan?

​Fenomena sekolah yang tidak mengizinkan siswa mengikuti ujian hanya karena belum melunasi iuran sekolah kembali menjadi sorotan publik. Ironisnya, praktik diskriminatif ini tidak hanya terjadi di sekolah swasta murni, tetapi juga di lembaga pendidikan yang nyata-nyata menerima Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah. Padahal, esensi dari bantuan tersebut adalah untuk memastikan bahwa tidak ada siswa yang terhambat atau tertinggal dalam proses belajar-mengajar akibat kesulitan ekonomi.

Pendidikan: Hak Dasar, Bukan Komoditas Bisnis

​Pendidikan adalah hak konstitusional yang melekat pada setiap warga negara. Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas menyatakan, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.” Hak ini bersifat universal dan tidak boleh dibatasi oleh kemampuan finansial seseorang atau orang tuanya. Sekolah, baik negeri maupun swasta penerima BOS, seharusnya menjadi garda terdepan yang menjamin akses pendidikan tanpa diskriminasi.

​Namun, realitas di lapangan sering kali mengkhianati semangat ini. Banyak siswa dilarang mengikuti ujian—sebuah hak fundamental dalam proses pendidikan—hanya karena orang tua mereka belum mampu melunasi iuran. Ini menimbulkan pertanyaan serius tentang akuntabilitas dan arah prioritas sekolah: untuk apa sebenarnya Dana BOS yang bersumber dari uang rakyat itu digunakan?

Fungsi Dana BOS dan Pelanggaran Kewajiban Sekolah

​Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 63 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana BOS, dana tersebut jelas dialokasikan untuk mendukung biaya operasional non-personalia dalam penyelenggaraan pendidikan, seperti kegiatan belajar-mengajar, pengadaan kebutuhan siswa, dan pemeliharaan sarana.

​Dengan demikian, ketika sekolah, terutama yang menerima Dana BOS, masih menuntut pembayaran dari siswa untuk kebutuhan dasar pendidikan hingga mengorbankan hak mereka untuk ikut ujian, sekolah tersebut dapat dianggap melanggar prinsip akuntabilitas dan transparansi penggunaan dana publik. Kebijakan diskriminatif semacam ini menunjukkan bahwa bantuan yang seharusnya meringankan beban siswa justru tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Salah Prioritas: Infrastruktur vs. Kesejahteraan Siswa

​Di banyak sekolah swasta, alasan klasik yang digunakan untuk menarik iuran tambahan adalah demi pembangunan atau perbaikan infrastruktur, seperti renovasi gedung, pembangunan aula, atau perluasan lahan. Obsesi terhadap kemegahan fisik ini seringkali membuat kebutuhan dasar siswa justru terabaikan: akses buku yang layak, kegiatan belajar yang memadai, dan yang terpenting, hak untuk mengikuti evaluasi belajar seperti ujian.

​Pembangunan fisik memang penting, tetapi esensi pendidikan bukan terletak pada dinding dan bangunan megah. Pendidikan sejati adalah tentang pemenuhan hak siswa untuk belajar dengan layak tanpa tekanan finansial. Ketika lembaga pendidikan lebih memprioritaskan proyek pembangunan daripada kesejahteraan dan hak dasar siswa, maka nilai moral dan etika pendidikan itu sendiri telah terdegradasi.

Aspek Hukum: Melanggar Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Perlindungan Anak

​Tindakan melarang siswa mengikuti ujian karena tunggakan biaya jelas bertentangan dengan landasan hukum pendidikan nasional:

1.) ​Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas): Pasal 11 Ayat (1) mewajibkan pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Lebih lanjut, Pasal 12 Ayat (1) huruf c menyebutkan bahwa peserta didik berhak mendapatkan bantuan biaya pendidikan bagi yang kurang mampu.

2.) ​Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Perlindungan Anak: Pasal 9 Ayat (1) menegaskan bahwa “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya.”

​Dengan demikian, menahan hak anak untuk ikut ujian dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran serius terhadap hak anak atas pendidikan yang dijamin oleh konstitusi dan undang-undang.

Transparansi dan Pengawasan yang Mendesak

​Pemerintah melalui Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perlu memperketat pengawasan terhadap penggunaan Dana BOS. Laporan keuangan yang tidak transparan berpotensi memicu penyalahgunaan anggaran dan merusak kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan.

​Orang tua dan masyarakat juga memiliki hak dan tanggung jawab untuk mengawasi aliran dana ini. Jika ditemukan indikasi penyimpangan atau ketidaktransparanan, masyarakat harus proaktif melaporkan hal tersebut kepada Dinas Pendidikan setempat atau melalui mekanisme pengaduan publik yang disediakan oleh Kemendikbud.

Menegakkan Kembali Etika Pendidikan

​Ketika pendidikan dimaknai semata dari sudut pandang bisnis, maka hilanglah nilai-nilai kemanusiaan, empati, dan keadilan yang seharusnya menjadi ruh pendidikan. Guru dan kepala sekolah seharusnya menjadi teladan dalam menanamkan nilai-nilai tersebut, bukan justru menjadi pihak yang menekan siswa karena faktor ekonomi.

​Lembaga pendidikan yang sejati harus berdiri di atas prinsip kasih, keadilan, dan kesempatan yang sama bagi semua anak bangsa, bukan hanya di atas dasar kemampuan bayar orang tua.

​Kebijakan menolak siswa ikut ujian karena belum membayar iuran, terutama oleh sekolah penerima Dana BOS, adalah bentuk pengabaian terhadap nilai-nilai dasar pendidikan nasional. Ini bukan hanya melanggar etika, tetapi juga bertentangan dengan Undang-Undang. Pemerintah wajib turun tangan untuk memastikan bahwa setiap rupiah dana BOS benar-benar digunakan untuk kepentingan siswa, karena sejatinya, masa depan bangsa tidak dibangun dari megahnya gedung, melainkan dari cerdas dan merdekanya anak-anak Indonesia.

Penulis: Abdul Afandi

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE
Opini

Oleh: Muhibbullah Azfa Manik Ketika Firaun merasa tahtanya diguncang oleh seruan seorang nabi bernama Musa, ia tidak hanya mengandalkan kekuasaan militer atau kekayaan kerajaan. Ia juga memanggil salah satu orang…