Oleh Muhammad Thariq
DUNIA kini berdiri di tepi jurang ketidakpastian yang semakin curam saat menyaksikan ledakan roket dan retorika lantang para jenderal.
Ketegangan geopolitik terbaru antara Iran dan Israel yang memuncak sejak 2024-2025 bukan lagi sekadar konflik dua negara. Ini telah menjelma menjadi titik api yang rawan memicu reaksi berantai berskala global, menuntun umat manusia menuju skenario yang dulu hanya hidup dalam kisah-kisah apokaliptik yaitu Perang Dunia III.
Lalu bagaimana filsafat ilmu membantu kita memahami kondisi ini? Apakah dunia benar-benar sedang melaju ke arah “kiamat perang”, bukan cuma kehancuran fisik, melainkan juga ambruknya rasionalitas manusia?
Pemikiran dalam tulisan ini berusaha menelusuri pertanyaan itu melalui sudut pandang epistemologi, ontologi, dan aksiologi perang di lanskap global masa kini.
Dekonstruksi Nalar Strategis
Kita tahu bahwa pengetahuan dan strategi perang bertumpu pada prinsip rasionalitas. Kerangka filsafat ilmu, Clausewitz, misalnya, menyatakan bahwa “perang adalah kelanjutan politik dengan cara lain”, sebuah pandangan yang mencerminkan nalar strategis bangsa-bangsa modern.
Namun, konflik Iran-Israel hari ini tampaknya telah melampaui batas kalkulasi rasional. Serangan rudal, balasan drone, hingga ancaman nuklir, kini bukan lagi cara mencari solusi, tapi menjadi ajang mempertontonkan kekuatan eksistensial. Filsafat kontemporer menyebutnya ini bisa sebagai irasionalisasi rasionalita, yakni ketika logika strategis kalah oleh dorongan identitas, ideologi, dan mitos kekuasaan.
Apakah Perang Kodrat Manusia?
Filsuf seperti Thomas Hobbes memandang manusia secara alami hidup dalam konflik, “bellum omnium contra omnes” (perang semua melawan semua) secara ontologisnya. Di sinilah negara berperan sebagai Leviathan yang menertibkan kekacauan.
Pertanyaannya sekarang: siapa yang bisa berperan sebagai Leviathan dalam konflik Iran-Israel? Ketika Dewan Keamanan PBB lumpuh oleh veto-veto politik, dan ketika AS, Rusia, serta China justru ikut terlibat, maka sistem global kehilangan otoritas penyeimbang. Perang tidak lagi menjadi urusan negara semata dalam situasi ini, melainkan manifestasi dari kekacauan sistem kekuasaan global yang saling berbenturan.
Perang, dengan kata lain, berubah menjadi entitas yang berdiri sendiri, tidak lagi dipicu oleh kebutuhan atau sengketa konkret, melainkan hadir karena sistem global mengandung benih kehancuran.
Perang dan Tanda-tanda Kiamat
Dalam tradisi Islam, Kristen, dan Yudaisme, konsep akhir zaman atau Armageddon sangat berkaitan dengan konflik di Timur Tengah. Banyak pihak memaknai perang Iran-Israel sebagai bentuk konkret dari nubuat akhir zaman. Bahkan, beberapa kelompok ekstremis di kedua sisi justru meromantisasi konflik ini sebagai pembuka jalan kemenangan eskatologis.
Namun, pendekatan filsafat kritis seperti yang digagas oleh Adorno dan Horkheimer, melihat fenomena ini sebagai mitologi modern, yakni bentuk takhayul lama yang tampil dalam balutan modernitas.
“Kiamat perang” tidak hanya berarti kehancuran spiritual dalam perspektif ini, melainkan keruntuhan nalar manusia saat berhadapan dengan kompleksitas global. Ini mencerminkan keputusasaan rasional ketika umat manusia lebih memilih kehancuran karena telah kehilangan keyakinan akan damai.
Harga dari Sebuah Perang
Secara aksiologi mempertanyakan nilai dari tindakan manusia. Di sini kita perlu bertanya apa makna dari sebuah perang yang bisa menghancurkan kota, negara, bahkan peradaban?
Perang tak lagi soal duel antar prajurit di medan tempur di era nuklir dan drone. Ia bisa dimulai dari satu tombol yang ditekan di ruang kendali dan dalam hitungan detik, ratusan ribu nyawa bisa lenyap. Nilai-nilai kemanusiaan dikorbankan atas nama “keamanan nasional”, “kedaulatan”, atau bahkan “kehormatan agama”.
Immanuel Kant dalam Perpetual Peace membayangkan dunia yang tunduk pada prinsip-prinsip rasional universal. Namun, konflik hari ini justru menunjukkan bahwa nilai lebih ditentukan oleh siapa yang berkuasa. Yang kuatlah yang menetapkan siapa benar dan siapa layak dimusnahkan. Nilai menjadi korban pertama pada sistem seperti ini.
Fiksi atau Takdir?
Apakah Perang Dunia III tak bisa dihindari? Filsafat ilmu menolak gagasan determinisme sempit. Perang global bukanlah takdir, tapi hasil akumulasi dari keputusan politik, kesalahan strategis dan pembiaran kolektif.
Ancamannya nyata. Berbagai kejadian yang mulai dari pemboman fasilitas nuklir Iran, serangan balasan Israel, blokade Selat Hormuz, hingga intervensi proksi oleh Rusia dan AS, semua memberi sinyal bahwa perang besar bisa meletus hanya karena satu insiden tak terkontrol sejak memuncak secara signifikan tahun 2020-an.
Seperti Perang Dunia I yang dipicu oleh satu peluru di Sarajevo yang menewaskan Franz Ferdinand. Untuk itu kilas balik sejarah menunjukkan bahwa konflik global kerap berawal dari gesekan kecil yang dibiarkan.
Etika Global
Filsafat memberi secercah cahaya saat dunia yang nyaris gelap. Salah satunya adalah upaya membangun kembali rasionalitas global bukan semata-mata logika kekuasaan atau kepentingan nasional tetapi rasionalitas etis yang bersifat lintas bangsa. Ini menuntut lahirnya etika perdamaian global yang mampu melampaui agama, negara, dan ideologi.
Berbagai inisiatif diplomatik, mediasi independen, hingga gerakan masyarakat sipil lintas negara bisa menjadi harapan. Bukan karena mereka kuat, melainkan karena mereka adalah sisa-sisa nalar manusia yang belum menyerah pada kekacauan.
Penutup
Kiamat perang tak hanya soal kehancuran fisik. Ia mencerminkan hancurnya akal sehat, runtuhnya nilai, dan tenggelamnya kemanusiaan dalam kekerasan yang tak lagi masuk akal. Dalam konteks ketegangan Iran-Israel dan gejolak global hari ini, filsafat mengingatkan kita bahwa perang bukan takdir, melainkan hasil dari kegagalan berpikir.
Jean-Paul Sartre pernah berkata, “Manusia dikutuk untuk bebas”, dan dalam kebebasan itu, kita dihadapkan pada pilihan yaitu menyalakan bara perang atau menyalakan kembali api nalar dan etika global. Kini, pilihan itu ada di tangan kita.(**)
Penulis adalah Pengajar di Fisip Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU)